METODE AL-JAM’U
(KOMPROMI)
1. Pengertian al-Jam’u wal-Talfiq
التوفق بين الحديثين المتعارضين للعملل
بهما
menyesuaikan atau
menyetujui antara dua hadits yang bertentangan untuk mengamalkan isi pada
keduanya.
Pengertian di atas dapat diterima (maqbul), tetapi
mungkin diterapkan atau ditambahkan sandaran dalam mengatasi pertentangan
hadits, maka pengertian yang tepat adalah:[2]
التوفق بين الحديثين المتعارضين استنادا
إلى دليل دفع تعارضهما
Mengambil petunjuk di
antara dua hadits yang bertentangan dengan berpijak pada petunjuk tertentu
dalam mengatasi dua hadits yang bertentangan
Pengertian ini merupakan kaidah ushuliyah, yaitu:
أن إعمال الدليلين
أولى من إهمال أحدهما
Pengamalan kedua
dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya.
Sedangkan
al-Qarafi dalam buku Shuhui Islmail,
mengartikan al-jam’u yaitu mengkompromikan hadits-hadits yang tampak bertentangan untuk diamalkan
dengan melihat seginya masing-masing.[3]
Penyelesaian
hadits mukhtalif dalam bentuk ini dilakukan berdasarkan pemahaman dengan
pendekatan kaedah ushul, baik dengan cara takhshîsh (mengkhususkan dalil
lain yang bersifat umum), taqyîd (membatasi dalil lain yang masih
mutlak), takwîl (menjelaskan dan mengarahkan maksudnya) maupun dengan
cara yang lain.[4]
2. Syarat-syarat Metode al-Jam’u
M. Thahir al-Jawabi
menjelaskan adanya syarat-syarat dalam metode al-Jam’u. al-Jam’u
di antara dua hadits yang kelihatannya bertentangan harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:[5]
a. Kedua hadits yang bertentangan harus shahih,
sehingga hadits dha’if tidak berhadapan dengan hadits
shahih, karena yang kuat tidak akan dipengaruhi oleh adanya perbedaan atau
pertentangan hadits dha’if.
b. Ta’arud itu tidak dalam
bentuk berlawanan di mana tidak memungkinkan dilakukan kompromi (al-Jam’u) di antara keduanya.
c. Kompromi (al-Jam’u) itu tidak membatalkan salah satu hadits yang bertentangan. Ketika membatalkan salah satunya otomatis hadits yang satunya tidak
digunakan. Padahal tujuan adanya dalil adalah diamalkan, bukan mengabaikan
kedua hadits tersebut.
d. Kompromi (al-Jam’u) itu harus memenuhi
ketentuan uslub bahasa Arab dan
tujuan syari’at tanpa ada unsur pemaksaan.
3. Kaidah-Kaidah al-Jam’u
Sebagaimana yang telah dikutip dari M. Thahir al-Jawabi,
ringkasan kaidah-kaidah yang diambil dalam Imam Syafi’i sebagai berikut:
a. Hadits yang berasal
dari Rasulullah saw harus diamalkan dalam bentuk umum dan dhahir, kecuali jika
ada petunjuk dari Rasulullah saw bahwa yang diinginkan dari hadits adalah
kekhususannya.
b. Yang dimenangkan
dalam pertentangan adalah mubahnya suatu perkara.
c. Mengkompromikan
diantara yang mujmal dan mufassar dan antara yang ‘amm dan khas.
Kaidah ini berimplikasi agar tidak menggunakan hadits
Rasulullah saw atas makna yang ghairu dhahir kecuali adanya dalil-dalil syara’
atau petunjuk yang menguatkan maksud pensyari’atan.
4. Contoh Penerapan Metode al-Jam’u dalam Hadits-hadits Mukhtalif
Sebagai contoh penerapan hadits mukhtalif dengan
menggunakan metode kompromi, dalam masalah zakat pertanian, ada sebuah hadits
yang berbunyi:
حد ثنا سعيد بن ابي مر يم حد ثنا عبد الله بن وىب قال اخبر ني يونس بن يزيد عن الزهري عن سالم بن عبد الله عن ابيو رضي الله عنو عن النبي ص. م قال : فيما سقت السماء والعيون اوكان عشريا العشر وما سقي بالنضع نصف العشر) رواه البحاري [6](
Sa’id bin Abi Maryam telah
menceritakan kepada kami, ‘Abdillah bin Wahab telah menceritakan kepada kami,
ia berkata Yunus bin Yazid telah mengabari aku, dari Zuhriy dari Salim bin
Abdillah, dari Bapaknya r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda; hasil pertanian
yang diairi dengan air hujan, dengan mata air atau genangan air alami lainnya,
zakatnya sepuluh persen dan yang diairi dengan menggunakan bantuan unta,
zakatnya lima persen‛ (HR. Bukhari).
Dalam hadits yang
lain disebutkan sebagai berikut:
حد ثنا مسدد حدثنا يحي حدثنا مالك قال حدثني محمد بن عبدالله بن عبد الرحمن بن ابي صعصعة عن ابيو عن ابي سعيدالخدري رضي الله عنو عن النبي ص.م قال ليس فيما اقل من خمسة او سق صدقة) رواه البخاري([7]
Musaddad telah
menceritakan kepada kami, Yahya telah menceritakan kepada kami, Malik berkata
bahwa Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah telah
men-ceritakan kepadaku, dari Bapaknya dari Sa’id al-Khudriy r.a, dari Nabi saw,
beliau bersabda; tidak wajib zakat pada hasil pertanian yang tidak mencapai
lima wasaq‛. (HR. Bukhari).
Pemahaman terhadap
kedua hadis di atas, dengan metode al jam’u; hadis pertama mewajibkan
zakat hasil pertanian yang diairi dengan air hujan, dengan mata air atau
genangan air alami lainnya, zakatnya sepuluh persen dan yang diairi dengan
menggunakan bantuan unta, zakatnya lima persen. sedangkan hadis kedua,
meniadakan kewajiban zakat pada hasil pertanian yang tidak mencapai lima wasaq.
Dengan demikian, didapatkan pemahaman al jam’u bahwa zakat hasil
pertanian wajib dikeluarkan sebanyak lima persen jika hasil pertanian telah
mencapai lima wasaq dan diairi dengan unsur usaha. Sedangkan mengeluarkan zakat
sebesar sepuluh persen jika hasil pertanian telah mencapai lima wasaq dan
diarii oleh air hujan atau sumber mata air (tidak ada unsur usaha mengeluarkan
air).
Contoh lain aplikasi dari metode al-jam’u wa
at-taufîq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah saw. Hadis pertama menyatakan bahwa
Rasulullah s.aw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:[8]
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا
الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ،
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ
وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً.
“Ar-Rabi’ telah
bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami,
Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid
ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. berwudhu
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.” (H.R.
asy-Syafi’i)
Sementara dalam
riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan membasuh wajah dan
kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam
hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ
بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.
“Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata
Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah
dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu
dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).” (HR
Asy-Syafi’i).
Kedua riwayat
tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya
diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufiq dengan komentar Imam asy-Syafi’i
dalam kitab Ikhtilaful
Hadîts:[9]
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ
مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ
لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا
يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ.
Imam
asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits
yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah
mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya
tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)”.
Baca juga:
[3]
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Hlm. 14.
[6] Al-Imam Abi
‘Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Mughirah Ibnu Bardazabah
Al-Bukhari Al-Ja’fiyyi, Shahih Bukhari, Juz 1, Beirut-Libanon: Darrul
kutub Ilmiyah, 1992. Hlm. 259
[7] Al-Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Ibnu Ismail
Ibnu Ibrahim Ibnu Mughirah Ibnu Bardazabah Al-Bukhari Al-Ja’fiyyi, Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar