Hadits merupakan sumber pokok kedua dalam hukum Islam setelah
Al-Qur’an yang dijadikan petunjuk dalam menentukan hukum-hukum Allah yang
ditujukan kepada semua umat manusia. Hal tersebut diharapkan dapat menjadikan
manusia bahagia di dunia maupun di akhirat. Karena dengan Al-Qur’an dan hadits
manusia tidak akan salah dalam memaknai hidup.
Namun, berkaitan dengan memaknai Al-Qur’an dan hadits terdapat
ilmu-ilmu tersendiri agar manusia juga tidak salah menafsirkan mana yang benar
dan mana yang salah. Pembahasan lebih inti lagi dalam memahami hadits-hadits
yang bertentangan maknanya. Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa kedudukan hadis terhadap al-Qur’an adalah pertama,
sebagai sumber kebenaran kedua setelah al-Qur’an dalam
memahami ajaran Islam, dan kedua, sebagai penjelas yang menerangkan makna-makna yang
terkandung dalam al-Qur’an.[1]
Ilmu hadits terdapat banyak pokok yang
mempelajarinya yang salah satunya yaitu ta’arudhul adillah yang dikenal
dalam ilmu fiqih, yaitu menyikapi hadits-hadits yang bertentangan
maknanya. Cara-cara yang dilakukan oleh para mujtahid dalam mengatasi hadits-hadits
yang berlawanan itu dapat diklasifikasikan kepada empat langkah yang ditempuh,
yaitu al-jam’u wa al-taufiq (talfiq), nasakh, dan tarjih.
Untuk menyelesaikan
permasalahan hadits-hadits yang bertentangan
sendiri ulama telah menetapkan suatu pokok pembahasan yang juga menjadi obyek kajian Ilmu Hadits berdasarkan kaidah-kaidah
ilmiah yang paling akurat. Kaidah tersebut
secara khusus dibahas dalam suatu cabang Ilmu Hadits yang
oleh sebagian ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan ‘Ilmu Musykil al- Hadits, ‘Ilmu Ikhtilâf al-Hadits,’Ilmu Ta'wil
al-Hadits atau pun ‘Ilmu Talfîq al-Hadits.[2]
Makalah ini
mencoba menjelaskan tentang mukhtaliful
hadits dengan mengutip contoh
hadits yang dianggap bertentangan, dan peran ulama dalam
menjelaskan hadits-hadits mukhtalif . Penyelesaian antara beberapa hadits yang
saling bertentangan dari Mukhtaliful Hadîts dengan berbagai macam metode. Berbagai macam
metode tersebut akan dapat diketahui
dalam uraian makalah ini.
Pengertian Mukhtaliful Hadits
Mahmud ath-Thakhan dalam karyanya Mustalakhul
Hadits mendefinisikan mukhtaliful hadits secara bahasa dan istilah. Secara
bahasa mukhtalif adalah isim fa’il dari kalimat “al-Ikhtilaf”’
kebalikan dari kata “al-ittifaq” yang artinya berselisih atau
bertentangan. Maka arti mukhtaliful hadits adalah hadits-hadits yang
sampai pada kita dalam keadaan bertentangan antara satu dan yang lainnya.[3]
Secara istilah tentang pengertian hadits mukhtalif,
hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang mengalami
pertentangan satu sama lain. Namun boleh jadi di antara pertentangan itu hanya
terdapat pada dhohirnya saja, dan ketika ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan
untuk dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin ‘Itr dalam karyanya Ulumul Hadits, menjelaskan hadits-hadits mukhtalif ialah hadits-hadits yang secara lahiriah
bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna yang
batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain.[4]
Muhammad 'Ajjaj al-Khathib
yang dikutip dari M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik, mendefinisikan mukhtilaful
hadits sebagai hadits-hadits
yang saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau
mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau
dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[5]
Adapun di dalam kitab Juhudul Muhadditsin
karya Muhammad Thahir al-Jawabi, Imam an-Nawawi mendefinisikan muhktaliful
hadits sebagai:
عرفه انووي بقوله : "هو أن يأتي حديثان
متضادان في المعنّى ظاهرا فيوفق بينهما أو
يرجع أحدهما."
An-Nawawi dalam perkataannya: “adanya dua hadits
yang bertentangan dalam makna dhahirnya, kemudian antara keduanya bisa
dikompromikan atau ditarjih salah satunya.”[6]
Imam Syafi’i berkata jika dua hadits mengandung dua
kemungkinan makna yang bisa dipakai secara bersamaan, maka kedua makna itu akan
dipakai secara bersamaan, dan tidak menggugurkan salah satu makna dari
keduanya.[7]
Di samping itu jika diperiksa lebih lanjut, para ulama
yang mendefinisikan hadits mukhtalif seperti di atas pun sebenarnya
hanya menerima hadits maqbûl (Shahih dan Hasan) saja, yang bisa
dipegangi dan dijadikan hujjah, sedangkan hadits mardud (Dha’if)
tidak bisa dipegangi dan dijadikan hujjah. Oleh karena itu, sebagian ulama
menambahkan batasan dengan istilah hadits maqbul atau hadits Shahîh
dalam merumuskan batasan hadits mukhtalif. Di antara definisi tersebut
adalah sebagaimana rumusan yang dikemukakan oleh al-Thahhân, yaitu sebagai
berikut:[8]
“Hadits mukhtalif yaitu hadits maqbul
yang bertentangan dengan hadits yang sepadan dengannya, dan antara keduanya
memungkinkan untuk dikompromikan. Dengan kata lain, hadits mukhtalif itu
merupakan hadits Shahih atau Hasan yang datang bersama-sama
hadits lain yang sepadan kualitasnya serta terjadi pertentangan pada makna
lahiriahnya. Demikian bagi orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang
mendalam memungkinkan untuk mengkompromikan maksud kandungan yang dituju di
antara keduanya dengan cara yang dapat diterima.”
Metode
dalam Penyelesaian Mukhtaliful Hadits
Ulama Ushul Fiqih dan
Ulama Hadits telah membuat metode ata manhaj untuk menyelesaikan dan menolak
adanya kesan kontradiksi antara dua kelompok hadits yang berbeda isinya,
sementara objek pembahasannya sama. Urutan metode yang ditawarkan oleh Ulama’
Syafi’iyah dan Hanafiyyah dalam menyelesaikan kontradiksi hadits berbeda.[9]
a. Manhaj Ulama’ Syafi’iyah
Jika terdapat hadis yang saling
bertentangan dalam pemahaman nash-nya, menurut mazhab syafi’iyyah ditempuh cara
berikut:[10]
1) memprioritaskan
metode jam’u yaitu mengumpulkan pemahaman dari dua nash yang tampak
saling bertentangan.
2) menggunakan
metode naskh al-mutaqaddim. Metode ini digunakan jika terdapat kesulitan dalam melakukan
jam’u, maka harus diketahui sejarah kedua teks tersebut untuk mengetahui mana di
antara keduanya yang lebih dahulu muncul, dan mana yang belakangan muncul.
Setelah diketahui, kemudian dilakukan naskh (penggantian hukum oleh yang
terakhir muncul terhadap yang dahulu muncul) baik kedua hadis tersebut bersifat
qath’i, bersifat dhanni, bersifat ‘am, atau bersifat
khas.
3) menggunakan
metode tarjih. Cara ini digunakan diterapkan jika kedua nash
hadis tersebut tidak ditemukan sejarah wurudnya. Tarjih dilakukan
jika tidak ada kemungkinan mengamalkan kedua nash hadis tersebut. Jika
masih memiliki kemungkinan untuk mengamalkan meskipun dalam satu bentuk, maka
tidak dapat dilakukan tarjih. Alasannya, memberlakukan dalil itu lebih
utama dari pada meninggalkannya, dikarenakan adanya dalil itu untuk diamalkan
bukan untuk mengihmalkan.
4) memilih
salah satu nash hadis. Cara ini dilakukan jika tidak dimungkinkan
melakukan tarjih. Menurut Tajuddin As Subki, jika dihadapkan pada keadaan 50-50
(dalil sama kuatnya), maka hanya terdapat dua kemungkinan, yaitu memberlakukan
salah satunya atau menggugurkan keduanya.
b. Manhaj Ulama’ Hanafiyah
Jika terdapat ta’arrudh di antara
dua dalil (nash hadis) menurut mazhab Hanafiyyah, harus ditempuh
cara-cara berikut:[11]
1) melakukan
naskh atau membatalkan (mengganti) suatu hukum yang terdahulu muncul,
dengan yang terakhir muncul (wurud). Cara ini diterapkan jika dapat
diidentifikasi mana nash yang dahulu muncul dan mana yang muncul
belakangan.
2) dilakukan
tarjih jika dimungkinkan, kemudian mengamalkan dalil yang lebih kuat.
3) dilakukan
kompromi dengan segala cara.
4) menggugurkan
salah satu hadis, jika terdapat kesulitan jika
diterapkan cara kompromi. Cara tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa
mengamalkan salah satu hadis dengan dasar ta’yin (pilihan) merupakan
bentuk tarjih tanpa adanya adanya murajjih.
5) merujuk
pada sumber yang memiliki posisi hukum dibawahnya, misalnya terjadi
pertentangan antar ayat, maka harus merujuk pada sumber hadis. Jika terdapat
pertentangan antara dua hadis, maka harus merujuk pada statement sahabat
atau qiyas.
6) dikembalikan
pada pokok masalah, jika tidak ditemukan dalil yang berada di tingkat bawahnya.
Berdasarkan uraian metode
yang disarankan dalam mengatasi ta’arrudh oleh kedua mazhab di atas,
dapat diketahui bahwa perbedaan keduanya terletak pada dua hal; pertama, pada
urutan dalam memecahkan dua dalil yang bertentangan, dan dalam memberikan
pilihan cara. Mazhab
Syafi’iyyah mengajukan solusi dengan mengutamakan jam’u, sedang Hanafiyyah
memprioritaskan penggunaan naskh. Mazhab syafi’iyyah memberikan empat
solusi, sedangkan Hanafiyyah mengajukan sedikitnya enam solusi.
Secara metodologis penyelesaian hadits mukhtalif dapat dilakukan
dengan beberapa metode, di antaranya yaitu: metode kompromi atau al-Jam’u, metode Nasakh, dan metode Tarjih.[12]
Berikut penjelasan tentang ketiga metode tersebut.
Baca juga:
Pengertian Mukhtalif Hadits dan Metode Penyelesaiannya
Metode al-Jam'u (Kompromi) dalam Memahami Mukhtalif Hadits
Metode Nasikh dan Mansukh dalam Memahami Mukhtalif Hadits
Metode Tarjih dalam Memahami Mukhtalif Hadits
Baca juga:
Pengertian Mukhtalif Hadits dan Metode Penyelesaiannya
Metode al-Jam'u (Kompromi) dalam Memahami Mukhtalif Hadits
Metode Nasikh dan Mansukh dalam Memahami Mukhtalif Hadits
Metode Tarjih dalam Memahami Mukhtalif Hadits
[1] Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Taimiyyah: Hayatuhu wa Ara’uhu, Kairo:
Darrul Fikr al-Arabi, t.t., Hlm. 545.
[2] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushulul Hadîts ‘Ulumuhu wa Mushthalahu, Beirut: Darrul Fikr, 1989. Hlm. 283
[4]
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, Cet. 1, Jilid 2,
penerjemah: Mujiyo, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Hlm. 114.
[5] M. Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafik, Ushulul Hadits:
Pokok-pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998. Hlm. 254.
[6] Muhammad Thahir al-Jawabi asy-Syarifi, Juhudul Muhadditsin fi Naqdi
Matanil Hadits an-Nabawi, Mu’assasat Abdul Karim Ibn Abdullah, t.t., Hlm.
368.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar