MAKALAH
OLEH:
MUHAMAD ZAINAL MAWAHIB (092111127)
MAHASISWA FAKULTAS SYARI'AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
AL-JINAYAT
PENDAHULUAN
Allah telah memuliakan manusia lantaran Allah menciptakan dengan tangan-Nya, meniupkan ruh yang diciptakan-Nya ke dalam dirinya, memerintahkan para malaikat-Nya agar sujud kepadanya, menyediakan apa-apa yang di langit dan bumi semuanya baginya dari-Nya, menjadikannya sebagai khalifah pemegang mandat dari-Nya, dan membekalinay dengan berbagaikekuatan serta potensi agar manusia memimpin di bumi dan agar mencapai kesempurnaan materi dan keluhuran ruhani yang paling tinggi sebagaimana yang telah ditetapkan baginya.
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[1], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”(QS. Al-Isra’: 70).
Manusia tidak mungkin mewujudkan tuhuan-tujuannya dan menggapai harapan-harapannya kecuali jika telah terpenuhi padanya seluruh unsur perkembangan dan mendapatkan hak-haknya secara penuh. Diantara hak yang dijamin oleh Islam ini yang paling utama adalah hak hidup, hak kepemilikan, hak menjaga kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan dan hak mendapatkan pendidikan. Hak-hak ini wajib bagi manusia dari sisi bahwa dia adalah manusia tanpa memandang warna kulit, agama, jenis kelamin, negara atau komunitas sosial.
Dalam pidato saat haji wada’ Rasulullah bersabda:
أيها الناس, إن دماءكم وأموالكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا فى شهركم هذا فى بلدكم هذا. ألا هل بلغت .اللهم فاشهد. كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه.
“Wahai umat manusia sesungguhnya darah kalian dan harta kalian di haramkan atas kalian seperti keharaman hari kalian ini di bulan kalian ini di negeri kalian ini. Ketahuilah, bukan kah aku sudah menyampaikan, ya Allah, saksikanlah. Setiapmuslim atas muslim di haramkan darahnya, hartanya dan kehirmatannya.
Dengan demikian sesama manusia tidak boleh saling melakukan kejahatan, kajahatan itu sendiri yaitu suatu perbuatan yang dicegah dan ditolak oleh syari’at lantaran mengandung bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan atau harta. Para ulama’ sering menyebutnya dengan istilah Al-Jinayat.
PEMBAHASAN
- Pengertian Al-Jinayat.
Al-jinayat bentuk jamak dari al-jinayah, diambil dari kata jana-yajni, artinya mengambil. Misalnya dikatakan: jana ats-tsimar (mengambil buah), jika dia memetik buah dari pohon. Maksudnya di sini adalah malakukan tindakan kejahatan yang dikenai sangsi.
Para ulama fikih sering memakai kata-kata jinayah untuk menyebut tindakan kejahatan (jarimah). Semula, pengertian jinayah adalah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fukaha, yang dimaksud dengan kata-kata jinayah ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa atau harta benda.[2] Akan tetapi, kebanyakan fukaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya.[3]
Adapun Al-jinayat dalam terminology adalah setiap perbuatan yang dilarang. Perbuatan yang dilarang adalah suatu perbuatan yang dicegah dan ditolak oleh syari’at lantaran mengandung bahaya terhadap agama, jiwa , akal, kehormatan atau harta.[4]
Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich, kata jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya.[5] Namun, kebanyakan ulama membatasi jinayah pada semua perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir.[6]
- Hakikat Tindak Kejahatan
Para pakar hukum Islam ada yang berpendapat bahwa tindak kejahatn, bila ditinjau dari segi hukum dikenal tiga macam yaitu: jinayah hudud, jinayah qishash atau diyat dan jinayah ta’zir. Namun ada juga yang menggolongkan empat macam yaitu dengan menambahkan ‘uqubah. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Hudud adalah sanksi hukum yang tertentu dan mutlak menjadi hak Allah. Ketentuan ini tidak dapat diubah oleh siapapun. Sanksi itu wajib dilaksanakan bila syarat-syarat dari tindak pidana sudah terpenuhi. Sanksi ini dikenakan kepada kejahatan-kejahatan berat seperti zina, pencurian, riddah, qadzaf dan lain-lainnya.
b. Qishash dan diyat. Qishash adalah sanksi hukuman pembalasan seimbang, seperti membunuh terhadap si pembunuh. Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi. Jika ahli waris si terbunuh memberi maaf kepada pelaku pembunuhan maka hukuman alternatif adalah diyat. Sanksi hukum qishash dan diyat adalah sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
c. Ta’zir adalah sanksi hukum yang diserahkan kepada keputusan hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti memenjarakan, mengasingkan dan lainnya.
d. Kafarat dan fidyah adalah sanksi hukum dalam bentuk membayar denda yang pelaksanaanya diserahkan kepada si pelanggar. Bentuk denda ini dapat berupa memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, penyembelihan atau memberi makan orang miskin.[7]
Dalam mengatur masalah kejahatan ini, Islam mengemukakan dua macam cara, yaitu: pertama, menetapkan hukum berdasarkan nash al-qur’an dan hadits; kedua, menyerahkan penetapannya kepada penguasa (ulil amri).
Dalam cara yang pertama, Islam tidak memberikan kesempatan kepada penguasa untuk menyimpangkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Qur`an dan sunah. Hukuman untuk tindak kejahatan ini berlaku sepanjang masa dan tidak berubah karena perubahan ruang dan waktu. Bagian yang pertama inilah yang membedakan antara hukuman kejahatan menurut syari’at Islam dengan hukum kejahatan yang berlaku sekarang di berbagai negara. Tindak kejahatan yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya yaitu:
1. Riddah (keluar dari islam)
Murtad merupakan bagian dari perbuatan dosa yang sangat besar. Dia juga layak untuk mendapatkan siksa yang pedih di akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 217:
“…Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
a. Pengertian Riddah
Dalam literatur fiqh, riddah didefinisikan sebagai kembali kepada kekafiran dari Islam atau memutuskan diri dari Islam.[8] Murtad berarti kembali ke jalan yang pertama dilalui. Kata murtad semakna dengan kata irtidad, tapi kat riddah di sini dikhususkan pada makna kafi.[9]As-Sayyid Sabiq menjelaskan lebih rinci bahwa riddah adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa kepada kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain, baik ia laki-laki ataupun perempuan.[10]
Istilah riddah, menurut fuqaha hanya terbatas pada keluarnya seorang Muslim ke agama non-Muslim. Jadi kalau ada non-Muslim yang keluar dari agamanya dan pindah ke agama lain, maka perpindahan tersebut tidaklah dapat dikategorikan riddah. Alasannya adalah bahwa perpindahan dari orang kafir ke agama yang juga kafir itu tidak ada perbedaan, karena sama-sama batil, sedangkan perpindahan Muslim kepada agama kafir itu berarti perpindahan dari hidayah dan din al-haqq kepada kesesatan dan kekafiran.
b. Hukuman Bagi Orang Murtad
حدثنا علي بن عبد الله حدثنا سفيان عن أيوب عن عكرمة أن عليا رضي الله عنه حرق قوما فبلغ إبن عباس فقال لو كنت أنا لم أحرقهم لأن النبى صلى الله عليه وسلم قال لا تعذبوا بعذاب الله ولقتلتهم كما قال النبى صلى الله عليه وسلم من بدل دينه فاقتولوه
“sesungguhnya sahabat Ali ra. membakar suatu kaum, kemudian Ibnu Abbas dating dan berkata kalau aku jadi kamu aku tidak akan membakar mereka, karena sesungguhnya Nabi saw bersabda:” janganlah mengadzab kaum dengan adzabnya Allah”, Dan bunuhlah mereka seperti sabda Nabi saw : “orang yang mengganti agamanya, hendaklah kalian membunuhnya”.
Hadits ini menerangkan tentang hukum mati bagi orang yang keluar dari agama islam atau murtad, ini setelah dia diajak untuk bertaubat kembali masuk islam, akan tetapi jika dia menolak untuk masuk islam lagi maka baru dia dikenai hukum mati.
Sanksi riddah dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sanksi pokok, sanksi pengganti dan sanksi pelengkap. Sanksi pokok riddah menurut fuqaha adalah hukuman bunuh, baik yang melakukan itu laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak boleh dibunuh tetapi dipenjara saja dan setiap hari disuruh bertaubat agar ia kembali muslimah dan kalau ia menolak maka ia tetap dipenjara sampai ia mau bertaubat atau mati. Hujjah yang diberikan- Abu Hanifah adalah bahwa Rasulullah melarang membunuh wanita yang kafir sejak semula (al-kufr al-asli), dan andaikan wanita yang kafir sejak semula saja dilarang untuk dibunuh, tentunya larangan ini lebih layak jika ditujukan kepada wanita yang kafir setelah beriman (al-kafir at-tari`).[11]
Sanksi bunuh terhadap orang yang melakukan riddah didasarkan pada hadis Nabi: “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”. Sebagaimana yang tertuang di dalam hadits di atas.
Hukuman pengganti adalah hukuman yang dijatuhkan setelah gugurnya hukuman asli karena adanya taubat. Dalam hal ini hukuman had berubah menjadi hukuman ta’zir yang penetapannya diserahkan kepada penguasa. Hukuman tersebut dapat berupa hukuman jilid, penjara, denda atau hukuman lain. Sedangkan hukuman pelengkap bagi murtad adalah berupa penahanan terhadap harta kekayaannya dan pembatasan kecakapan murtad dalam melakukan berbagai transaksi. Pembatasan kecakapan terhadap kekayaan, hanyalah yang bersifat aktif, sedangkan kecakapan yang bersifat pasif tetap dianggap sah.[12] Pembatasan kecakapan tersebut hanyalah bersifat sementara, jika murtad kemudian melakukan taubat.
c. Anjuran Untuk Bertaubat Bagi Orang yang Murtad
Rasulullah pernah bersabda yang artinya :” dari Jabir ra. Bahwasannya ada seorang perempuan yang dikenal dengan Ummu Marwan keluar dari islam. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat untuk mengajaknya kembali pada islam. Jika dia bertaubat, dia akan kembali menjdi Muslim. Sedangkan jika menolak, dia dikenai hukuman mati. Namun Ummu Marwan menolak Untuk kembali ke islam. Dia pun dikanai hukuman mati, HR. Daruqutni dan Baihaqi.
Berdasarkan hadits di atas bahwa dianjurkan terlabih dahulu untuk menyuruh bartaubat bagi orang yang murtad. Karena kebanyakan kemurtadan yang terjadi karena sebagai akibat dari keragu-raguan yang mengganggu jiwa dan keimanannya. Karenanya, diperlukan jalur yang tepat untuk melepaskan diri dari keragu-raguan yang disertai dalil dan bukti kuat sehingga dapat mengembalikan keimanannya kembali.
d. Larangan Hukuman Mati dengan Membakar
Dalam pelaksanaan hukuman mati tidak boleh dengan membakar orang yang keluar dari agama islam karena sebagaimana dalam hadits di atas bahwa Rasulullah melarang memberi adzab (hukuman ) dengan adzab Allah dalam artian janganlah memberi hukuman mati bagi orang murtad dengan hukuman yang Allah lakukan untuk menghukum orang kafir besok di hari kiamat, yaitu Allah mengadzab orang kafir yang dimasukkan ke dalam api neraka.
Sebagaiman dalam hadits di atas yang berbunyi: لا تعذبوا بعذاب الله
2. Pencurian
Islam menghargai harta karena dari segi harta sendiri adalah merupakan penompang kehidupan. Islam juga menghormati kepemilikan pribadi terhadap harta. Maka dari itu islam mengharamkan pencurian, penggunaan harta tanpa izin, pencopetan, perampokan, pengkhianatan dan setiap perbuatan yang diharamkan syara’.
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Dalam sebuah hadits juga disebutkan tentang hukuman bagi orang yang mencuri harta benda, haditsnya yang berbunyi sebagai berikut:
حدّثناسعيد بن سليمان حدثنا الليث عن ابن شهاب عن عروة عن عائشة رضي الله عنها أن قريشا أهمتهم المرأة المخزومية التى سرقت فقالوا من يكلم رسول صلى الله عليه وسلم ومن يجترئ عليه إلا أسامة بن زيد حب رسول صلى الله عليه وسلم فكلم رسول صلى الله عليه وسلم فقال أتشفع فى حد من حدود الله ثم قام فخطب قال ياأيها الناس إنما ضل من قبلكم أنهم كانوا إذا سرق الشريف تركوه وإذا سرق الضعيف فيهم أقاموا عليه الحد وايم الله لوأن فاطمة بنت محمد صلى الله عليه وسلم سرقت لقطع محمد
Berdasarkan hadits di atas bahwa islam melarang pencurian[13] secara tegas dan memperberat hukumannya yang berupa potong tangan yang lazimnya terlibat langsung dalam pencurian. Dalam hal ini terdapat hikmah yang jelas, sebab pelaksaan potomg tangan terdapat pelajaran bagi pencuri yaitu pencuri tidak berani menjalurkan tangannnya untuk mencuri. Tujuan adanya potong tangan agar efek jera terhadap pencurian benar-benar dan supaya menjadi behan pertimbangan bagi orang yang hendak melakukan pencurian.
Dan juga bila ada orang yang mencuri barang maka dalam penegakannya seorang penegak hokum harus berbuat adil tanpa memandang status, jangan sampai ada perbedaan dalam pelaksanaan hukuman.
Kriteria yang harus ditetapkan pada pencuri[14]
1. Mukallaf, yaitu seorang pencuri harus baligh dan berakal sehat.
2. Berinisiatif, yaitu seseorang melakukan pencurian dengan inisiatif sendiri tanpa ada paksaan orang lain.
3. Tidak boleh ada kesamaran status terkait barang yang dicuri. Maka dari itu, bapak atau ibu tidak dikenai hukum potong tangan lantaran mencuri harta anaknya. Berdasarkan sabda Rasulullah:
أنت ومالك لأبيك
“ Kamu dan hartamu bagi bapakmu”
Adapun jumlah harta yang ditetapkan sebagai syarat potong tangan menurut jumhur Ulama’ senilai seperempat dinar ini berdasarkan hadits Rasulullah:
لاتقطع يد السارق إلا فى ربع دينار فصاعدا
“Tangan pencuri tidak dipotong kecuali ada seperempat dinar atatu lebih”.
Tempat dan batasan yang harus dipotong tangan adalah sampaim pergelangan telapak tangan. Sebab, bagian tangan itulah yang menjdi sarana utama pelaku untuk melakukan pencurian. Maka, hukuman bagi pelakunya yaitu dengan membuang alat atau sarana yang dipakainya dalam melakukan pencurian. Hal ini cukup dilakukan dengan sampai batasab telapak tangan.[15]
3. Pemberontakan (al-baghyu)
Istilah pemberontak disni adalah orang yang bersikap sewenang-wenang, dzalim dan meyimpang dari keadilan. Keharaman pemberontakan telah ditegaskan oleh Al-Quran dan Hadis. Allah berfirman:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil”.
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan pemberontakan sebagai penentangan terhadap imam dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi dan memiliki pemimpin.[16]
Tentang tersebut juga disinggung dalam sebuah hadits:
حدثنا مسدد حدثنا عبد الوارث عن الجعد عن أبى رجاء عن إبن عباس عن النبى صلى الله عليه وسلم قال من كره من أميره شيأ فليصبر فإنه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة جاهلية
Hadits ini mengindikasikan, ketika seseorang memisahkan diri suatu integritas, tapi tidak melakukan pemberontakan dan peperangan, maka kita pun tidak boleh memeranginya untuk menariknya kembali kepada integrasi bangsa dan tunduk kepada pimpinan, tapi kita harus membiarkan dirinya dan keadaannya, karena Rasulullah tidak memberikan perintah untuk memeranginya justru hanya pemberitaan kondisi kematiannya bahwa dia seperti orang jahiliyah dan dengan itupun dia tidak keluar dari islam.[17]
حدثنا يحيى بن كبير حدثنا الليث عن عقيل عن إبن شهاب أن سالما أخبره أن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أخبره أن رسول صلى الله عليه وسلم قال المسلم أخو المسلم لايظلمه ولا يسلمه ومن كان فى حاجة أخيه كان الله فى حاجته ومن فرج عن مسلم كربة فرج الله عنه كربة من كربات يوم القيامة ومن ستر مسلما ستره الله يوم القيامة
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa sesame orang islam itu tidak boleh saling menganiaya dan saling merusak.
Asumsi ini didukung oleh ucapan Imam Ali ra. kepada orang Khawarij: “ silahkan kalian seperti kondisi kalian. Dan diantara kita janganlah kalian mengalirkan darah yang haram, tidak menghadang jalan, dan tidak berbuat dzalim, kepada siapun. Jika melakukannya, maka aku akan mengumumkan peperangan kepada kalin”.[18]
Para pemberontak bertanggungjawab terhadap tindak kejahatan secara khusus sebelum dan sesudah pemberontakan. Adapun kejahatan sewaktu pemberontakan, dapat dipilah menjadi dua yaitu kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan dan kejahatan yang tidak berkaitan langsung. Kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan, seperti merusak jembatan, membom gudang senjata, membunuh atau menawan para pemimpin, maka semua itu diancam dengan hukuman pemberontakan yang diserahkan kepada ulil amri, yakni bisa diberi hukuman mati bila ulil amri tidak memberi ampunan secara umum. Sedangkan kejahatan yang tidak berkaitan langsung, seperti meminum-minuman keras dan zina yang mereka lakukan pada waktu pemberontakan, tetap harus mereka pertanggungjawabkan sebagai tindak pidana hudud biasa.[19]
C. Tujuan Hukum Islam
Tujuan Hukum Islam (maqashid syari’ah), tercakup dalam tiga macam inti pokok yaitu: pertama, maqashid al-dharuriyyah, yaitu tujuan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia yang meliputi; memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta; kedua, maqashid al-hajjiyah, yaitu tujuan untuk menghilangkan kesulitan atau pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi; ketiga, maqâshid al-tahsiniyyah, yaitu tujuan yang maksudnya agar manusia melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok.[20]
Jika dilihat dari keberadaan hukum pidana dalam al-Qur`an, maka secara universal dapat dinyatakan kegunaannya untuk: [21]
1. Memelihara agama
2. Memelihara kehormatan manusia
3. Melindungi akal
4. Memelihara harta manusia
5. Memelihara jiwa manusia
6. Memelihara ketentraman umum
Keberadaan ayat-ayat al-Qur`an dan Hadits tentang jinayah berusaha dengan segala kekuatan yang ada untuk memebersihkan masyarakat dari sebab-sebab kriminalitas dan mendidik setiap individu agar beristiqomah dalam hidup dan kehidupan. Namun demikian, hal ini tidak cukup hanya dorongan moral, meskipun dorongan moral itu dijaga dengan sebaik-baiknya, juga tidak cukup hanya dengan tarbiyah, meskipun tarbiyah itu kebutuhan yang bersifat religi dan syar’i.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang Al-Jinayat yang bisa kami jelaskan. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan bahan pembelajaran untuk kita semua dalam melangkah ke depan menuju kesuksesan . Dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dari berbagai segi. Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Barkatullah, dkk, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Abdul Hayyie al-Kattani dan dkk, Fiqih sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006). Kitab aslinya, Al-mulakhkhasul Fiqhi karangan Saleh al-fauzan.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal.108.
Abdurrahman dkk, Fiqh Sunnah 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), terjemahan dari kitab asli “Fiqh Sunnah” karangan Sayyid Sabiq.
Achmad Sunarto, Syarah Bulughul Maram Hadits-Hadits Hukum Islam, (Surabaya: Halim Jaya, 2001), hal. 743. Judul Asli Hidayatul Anam Bi Syarhi Bulughil Maram Karangan Dr. Abdurrasyid Abdul Aziz Salim.
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967).
Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000).
Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid yang diterjemahkan oleh M.A. Abdurrahman dan al haris Abdullah, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990).
[1] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
[2] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal. 1.
[3] Ibid.
[4] Abdurrahman dkk, Fiqh Sunnah 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), hal. 378, terjemahan dari kitab asli “Fiqh Sunnah” karangan Sayyid Sabiq.
[5] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam , (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 1.
[6] Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 1.
[7] Abdul Halim Barkatullah, dkk, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 263-264.
[8] Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Bada`i’ as-Sana’i fi Tartib asy-Syara’i (Kairo: Matba’ah al-Jamaliyah, 1910), VII: 134.
[9] Abdurrahman dkk, hal. 301,
[10] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), II: 381.
[11] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t., II: 720-1
[12] Audah., At-Tasyri’ al-Jina`i., II: 728
[13] Pencurian adalah suatu perbuatan mengambil harta orang lain yang pengambilannya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan tertutup serta harta yang diambil berada di tempat penyimpanannya
[14] Abdurrahman dkk, Fiqh Sunnah 4, hal. 356.
[15] Abdul Hayyie al-Kattani dan dkk, Fiqih sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hal. 853. Kitab aslinya, Al-mulakhkhasul Fiqhi karangan Saleh al-fauzan.
[16]Djazuli, hal. 106.
[17] Achmad Sunarto, Syarah Bulughul Maram Hadits-Hadits Hukum Islam, (Surabaya: Halim Jaya, 2001), hal. 743. Judul Asli Hidayatul Anam Bi Syarhi Bulughil Maram Karangan Dr. Abdurrasyid Abdul Aziz Salim.
[18] Ibid.
[19] Djazuli., hal.110
[20] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal.108.
[21] Abdul Halim Barkatullah, dkk, hal. 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar