Manusia diciptakan oleh
Tuhan tidak ada yang sama, bahkan yang lahir kembar dari rahim yang sama pun
pasti memiliki perbedaan. Apakah itu di warna kulit, sifat dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita memiliki perbedaan dalam bertingkah laku
dan berinteraksi dengan sesama, yang tentunya tidak sama dengan yang lain.
Untuk menyamakan persepsi dari berbagai perbedaan yang ada, maka diperlukan
musyawarah dan mufakat untuk mencari sebuah kesepakatan.
Inilah pola yang terjadi
awal terbentuknya negara Indonesia, semenjak nenek moyang bangsa Indonesia menempati
kepulauan ini, dengan budaya, ras, kepercayaan dan suku yang sangat beragam. Bahkan
jumlahnya ratusan, sehingga mereka mampu hidup berdampingan. Saling menghargai
dan membutuhkan, itulah sikap yang diterapkan. Tidak ada ambisi di antara
mereka untuk menyamaratakan budaya ke dalam satu kebudayaan tunggal. Dan akhirnya
terbingkai dalam sebuah dasar negara atau falsafah bangsa yaitu Pancasila.
Sebagai
dasar negara, Pancasila mengakui
keberadaan bermacam-macam agama, suku bangsa, filsafat, dan aliran politik
dalam kehidupan rakyat Indonesia. Kita mengenal semboyan yang terkenal dengan “Bhineka Tunggal Ika”.
Soekarno sendiri mengatakan, “Negara Republik Indonesia bukan milik
sesuatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan
milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang
sampai ke Merauke!” Bahkan, di dalam UUD 1945 disebutkan: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ini
artinya, Negara
Republik Indonesia sejak lahirnya bukan saja toleran, tetapi mengakui
keberagaman itu sebagai dasar pembentuk
negara-bangsa ini. Dengan demikian, bhineka tunggal ika itu justru merupakan raison d’etre lahirnya negara-bangsa bernama
Indonesia.
Tetapi, fenomena tersebut
berubah, yang asalnya harmonis menjadi anarkis. Keberagaman budaya yang selama
ratusan, bahkan ribuan tahun yang telah mampu mengantarkan rakyat Indonesia ke
pulau sejahtera, dirasa hilang ditelan bumi.
Ini dikuatkan dengan
adanya korupsi, pencurian, pemerkosaan, bentrok antarwarga, tawuran antar mahasiswa
dan sebagainya. Bahkan akhir-akhir ini banyak terjadi tindakan kekerasan, perusakan
dan penyerbuan dengan motif beda keyakinan dalam memahami agama, seperti kasus penyerangan
terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, penyerangan terhadap kelompok Syiah di
Sampang, Madura dan sebagainya. Selain itu, konflik antar agama juga sering
terjadi seperti kasus di Gereja GKI Yasmin Bogor, perusakan gereja di
Temanggung dan kasus-kasus yang lain. Bentuk-bentuk berita, termasuk yang
sangat signifikan tentang kasus suku, agama, ras dan antar-kelompok (SARA) itu
seakan menjadi menu utama di media masa. Hal tersebut mencerminkan rasa saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain sudah tak hidup lagi. Diri sendiri lah
yang dipikirkan, tanpa berpikir bagaimana seandainya ia hidup sendiri di sebuah
tempat.
Mewujudkan Kemakmuran
Semua ini akibat dari
masyarakat Indonesia yang telah melupakan akar-akar budayanya sendiri. Serta
melemahnya implementasi nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Bhineka
Tunggal Ika. Dan juga kurangnya sifat kritis dalam proses pengambilan budaya
lain. Seandainya mereka mempunyai sikap menghargai, serta mengkritisi
kebudayaan lain, maka hal itu mungkin tidak akan terjadi.
Dalam rangka berbenah
diri, seperti Indonesia pada sediakala, anti anarkis. Maka rakyat Indonesia
diharapkan mengimplementasikan kembali makna Bhineka Tunggal Ika yang dirasa
telah luntur. Karena keberadaannya tidak dapat diingkari dalam mewujudkan
kesatuan Indonesia dengan keberagaman yang dimiliki. Bahkan keberanian
Indonesia untuk mengumandangkan kemerdekaan didukung penuh oleh persatuan
seluruh kebudayaan Indonesia.
Kesatuan dari keberagaman
adalah sistem yang menjalin hubungan dalam kehidupan. Karena kesatuan akan
bermakna jika ada keberagaman sehingga antara satu dengan yang lain itu saling
membutuhkan. Apabila salah satu unsur menyakiti atau meniadakan. Maka bukan
hanya satu unsur yang akan hancur, tapi keseluruhan kesatuan akan goyah.
Selain itu juga, setidaknya ada terdapat tiga hal yang harus
dilakukan dalam memelihara keberagaman sehingga ia bisa menjadi pemersatu,
bukan sumber masalah. Pertama, memperkuat nilai toleransi. Kadar toleransi
bersumber dari adanya nilai empati yang secara inheren sudah ada dalam
hati setiap orang. Empati merupakan kemampuan hati nurani kita untuk ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Kemampuan untuk ikut bergembira
dan berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain
Kedua, berani mengakui perbedaan. Pengakuan akan ke-bhinneka-an
membuat kita sadar bahwa tidak semua hal dapat diperlakukan dengan sama. Sikap ini akan melahirkan penghargaan
dan saling ketergantungan sehingga pada akhirnya bermuara pada peningkatan
kemampuan adaptasi individu dan kelompok.
Ketiga, memperkuat pendidikan. Pendidikan adalah proses membuat
orang berbudaya dan beradab. Pendidikan yang dibutuhkan adalah proses pendidikan yang dapat mempertahankan dan
meningkatkan keselarasan hidup dalam hubungan antara sesama. Penekanannya
adalah pada cara membangun hubungan antar individu, antar kelompok dan antar
individu dengan kelompok.
Memelihara keberagaman di negara Indonesia dalam kehidupan
bersama, berarti menjadikannya aset yang tidak ternilai. Dengan memeliharanya
kita dapat mengawal kalimat berbeda-beda, tetapi tetap satu menjadi ungkapan
universal bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Ini makin ditegaskan melalui pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni
1945. Inilah momentum kelahiran filosofi bangsa yaitu Pancasila. Di saat itu Bung Karno mengatakan, “Kita hendak mendirikan
suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua
buat semua. Itulah yang melahirkan kita sebagai sebuah “negara nasional”.