MAKALAH
PENDEKATAN
HERMENEUTIK DALAM HADIS
Definisi Hermeneutika dan Tokoh Pengguna Hermeneutik
Secara bahasa hermeneutika berasal dari bahasa Yunani: hermeneia (kata
benda), yang berasal dari kata kerja: hermeneuien yang berarti
menafsirkan. Secara terminologi Hermeneutika diartikan sebagai
penafsiran ungkapan-ungkapan dan anggapan dari orang lain khususnya yang
berbeda jauh dari rentang sejarah. Namun pada saat ini Hermeneutika diartikan
sebagai teks tertulis yang berasal dari lingkungan sosial dan historis yang
berbeda dari lingkungan pembaca saat ini (Musahadi HAM, 2000: 139-140).
Hermeneutika memiliki makna yang sangat luas, karena
ia mencakup beberapa aspek yang dapat menjelaskan sesuatu yang belum jelas
(pembicaraan), sesuatu proses penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lain
(penerjemahan), dan mengeplesitkan makna suatu yang samar dengan bahasa yang
lebih jelas (penafsiran) (Musahadi HAM, 2000: 140).
Hermeneutika muncul di tanah Yunani pada awalnya
digunakan sebagai sistem pendidikan yang berkembang pada waktu itu melalui
gerakan yang disebut deregionalisai yang dirintis oleh Schleirmacher. (Afandi, 2007: 2). Dalam perkembangan
hadits yang datang jauh sebelum kita, terkadang untuk memahami teks-teks yang
ada, sulit bagi kita dalam memahami arti dan maksud yang di tuju. Sedangkan
sejarah hermeneutika sebagai teori penafsiran muncul karena terdapat
jarak (jarak bahasa, konsep atau ide, jarak waktu, geografis) dapat membantu
pemahan kita terhadap hadits. Oleh karena itu kemungkinan yang akan terjadi
ialah bermunculan para tokoh hermeneutika, yang siap, mampu menyajikan
hadits-hadits tekstual menjadi hadits-hadits kontekstual sehingga
bisa kita nikmati dalam bergaya hidup di dunia ini.
Para tokoh modernis dan reformis dalam pemikiran islam
mengklaim bahwa penggunaan teori-teori hermeneutik dalam studi hadis sebenarnya
telah digunakan pada zaman ulama terdahulu, dikenalnya asbab al wurud
dan asbab an nuzul merupakan bentuk sederhana dari hermeneutik. Pada masa kontemporer,
tampillah para pemikir muslim yang memberikan nuansa-nuansa hermenutika hadis.
Di antara tokoh tersebut; Yusuf al Qardhawi, Syuhudi Ismail, Muhammad Iqbal,
dan Fazlur Rahman (Musahadi HAM, 2000: 141-142).
Yusuf
al Qardhawi dengan kitabnya Kaifa Nata’amal Ma’a as Sunnah an Nabawiyah memberikan arahan
bagaimana cara memahami hadis dengan benar. Langkahnya; pertama,
mengumpulkan hadis menjadi satu tema tertentu. Kedua, memahami hadis
berdasarkan petunjuk al Quran. Ketiga, memahami hadis berdasarkan latar
belakang kondisi dan tujuannya. Keempat, membedakan antara yang wasilah
dan ghayah. Kelima, menentukan makna kata yang hakiki dan majazi
(Musahadi HAM, 2000: 142-143).
Tokoh
lain yang juga disinyalir mengunakan pendekatan hermeneutika adalah Syuhudi
Ismail. Berangkat dari pemilahan fungsi dan posisi Nabi dalam kehidupan
umatnya, sebagaimana yang dirumuskan oleh al Qarafi, Syuhudi Ismail kemudian mengelompokkan
hadis Nabi menjadi dua kelompok; tekstual dan kontekstual. Pengelompokan
tersebut didasarkan pada analisis linguistik; jawami’ al kalim, tamsil,
simbolik, bahasa percakapan, dan ungkapan analogi.
Fungsi Hermeneutika dan Prinsip Hermeneutika Hadis
Sebagai
pendekatan dalam memahami hadis, setidaknya hermeneutik berfungsi untuk (Afandi, 2007: 4):
v
Membantu
mendiskusikan bahasa yang digunakan teks hadis.
v
Membantu
mempermudah menjelaskan teks, termasuk kitab suci.
v
Memberi
arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Agar sebuah hadis dapat diterima dan memiliki makna-makna yang relevan dengan konteks
historis kekinian sehingga dapat berfungsi dan menjawab problem-problem hukum
dan kemasyarakatan masa kini, maka suatu penafsiran (hermeneutika)
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
v Prinsip konfirmatif, yakni seorang mufasir harus selalu mengkonfirmasikan
makna hadits dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai sumber tertinggi ajaran
Islam.
v Prinsip tematis komprehensif, yakni seorang mufasir mempertimbangkan
hadits-hadits lain yang memiliki tema yang relevan sehingga makna yang
dihasilkan lebih komprehensif.
v Prinsip linguistik, Seorang penafsir memperhatikan prosedur-prosedur
gramatikal bahasa arab, karena hadits-hadit Nabi saw berupa bahasa arab.
v Prinsip historik, prinsip ini memperhatikan pemahaman terhadap latar
situasional masa lampau di mana hadits terlahir baik menyangkut latar
sosiologis masyarakat Arab secara umum maupun khusus yang melatar belakangi
munculnya hadits.
v Prinsip realistik, seorang mufasir selain memahami latar situasi masa lalu
juga memahami latar situasional kekinian dengan melihat realitas kaum muslimin
yang menyangkut kehidupan, problem, krisis dan kesengsaraan mereka.
v Prinsip distingsi etis dan legis, seorang mufasir mampu menangkap dengan
jelas nilai-nilai etis yang hendak diwujudkan oleh sebuah teks hadits dari
nilai legisnya. Karena pada dasarnya Hadits-hadits Nabi saw tidak bisa hanya
dipahami sebagai kumpulan hukum saja, melainkan mengandung nilai-nilai etis
yang lebih dalam.
v Prinsip distingsi instrumental (wasilah) dan intensional (ghayah),
Seorang mufasir mampu membedakan antara cara yang ditempuh Nabi saw dalam
menyelesaikan problematika hukum dan kemasyarakatan pada masanya serta tujuan
asasi yang hendak diwujudkan Nabi ketika memunculkan haditsnya. (Musahadi HAM, 2000: 153-154).
Tawaran konstruksi teori
Hermeneutika dalam memahami hadis Nabi diajukan oleh para modernis, mengingat
ketujuh prinsip di atas dalam metodologinya masih belum terintegrasikan dalam
satu metode yang sistematis. Setidaknya, pendekatan hermeneutika harus
melakukan langkah kritik historis, kritik eidetic, dan kritik praksis. Ketiga
langkah tersebut dimaksudkan; meneliti otentisitas hadis (kritik sanad dan
matan), meneliti redaksional matan hadis kemudian melakukan analisis historis
hadis dan melakukan generalisasi, diakhiri dengan analisis penerapan temuan
dalam konteks terkini. (Musahadi HAM, 2000: 155-162)
DAFTAR PUSTAKA
Mushadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Aneka Ilmu: Semarang, 2000.
Abdullah Khozin Afandi, Hermeneutika,
Alfha: Surabaya, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar