MAKALAH
TEORI NASIKH MANSUKH
A. Pendahuluan
Tasyri’ samawi diturunkan
dari Allah kepada para Rasul-Nya untuk memperbaiki umat dibidang akidah,
ibadah, dan mu’amalah. Masalah akidah, semua ajaran samawi itu satu yaitu
mentauhidkan Allah SWT. Sebagaimana firmannya:
وما ارسلنا من قبلك من رسول الا نوحي
اليه أته لا اله الا أنّا فاعبدون [1]
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasul pun
sebelum kamu, melainkan kami mewahyukan, bahwa tidak ada utusan selain aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan aku (Al-Anbiya’ (21): 25)
Sedangkan masalah ibadah dan
mu’amalah yang pada prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu membersihkan jiwa
dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama
dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap terkadang
berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa
mungkin tidak cocok lagi pada masa lain. Di samping itu, perjalanan dakwah pada
taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanan sesudah memasuki
era perkembangan dan pembangunan. Demikian pula hikmatu tasyri’ pada
suatu periode akan berbeda dengan hikmatu tasyri’ pada periode lain.
Oleh karena itu wajarlah jika
Allah SWT menghapus suatu tasyri’ dengan tasyri’ lain untuk
menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali. Allah
SWT berfirman:
ما ننسخ من أية او ننسخها نأت بخير
منها او مثلها [2]
Artinya:
Apa saja ayat yang Kami naskkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya (Al-Baqarah (2):
106).
B. Rumusan
Masalah
1. Pengertian
Nasikh dan Mansukh Menurut Bahasa dan Istilah
2. Perbedaan
Antara Nasikh dan Takhsis
3. Syarat-Syarat
dan Macam-Macam Nasakh
4. Pendapat
Golongan yang Menerima dan Menolaknya.
C. Pembahasan
1. Pengertian
Nasikh dan Mansukh menurut Bahasa dan Istilah.
Lafadz Nasikh dan Mansukh jika melihat dari
asal katanya yaitu:
نَسَخَ يَنْسَخُ نَسْخًا وَ مَنْسَخًا
فَهُوَ نَاسِخٌ وَذَاكَ مَنْسُوْخٌ اَنْسَخْ لَا تَنْسَخْ مَنْسَخٌ- مَنْسَخٌ
مِنْسَاخٌ[3]
Nasikh dan Mansukh berasal
dari satu kata yaitu Nasakha yang artinya menghilangkan atau membatalkan
sesuatu, sedangkan Nasikh adalah isim fail dari fiil madhi Nasakha yang artinya
yang membatalkan, dan Mansukh adalah isim maf’ul dari fiil madhi Nasakha yang
artinya yang dibatalkan.
Namun Lafadz Nasakh
mengandung beberapa makna dari segi bahasa[4]:
Ø Nasakh
dapat bermakna Izalah (menghilangkan), seperti firman Allah swt, “fasunsakhullahu
ma yulqi asy-syaithanu tsumma yuhkimullahu ayatihi” maka Allah
menghilangkan apa yang setan nampakkan kemudian Allah menjelaskan Ayat-Ayat
Nya. (QS. Al-Hijj [22]:52)
Ø Nasakh
dapat bermakna tabdil (menggantikan/menukar) seperti pada firman Allah:
“Wa idza baddalna ayatan manaka ayatin” dan apabila kami mengganti atau
menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang lain” (QS. An-Nahl [16] : 101)
Ø Nasakh
dapat bermakna tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari
seseorang kepada orang lain.
Ø Nasakh
dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat lain seperti pada perkataan
“Nasakhtu al-kitaba”, saya menukilkan isi kitab” yaitu kita menukilkan apa yang
ada di dalam kitab itu meniru lafal dan tulisannya.
Sedangkan pengertian secara
istilah para ulama berbeda pendapat di dalam mendefinisikannya. Perbedaan
pendapat tersebut bersumber pada banyak pengertian Nasakh secara bahasa
sebagaimana yang telah dijelaskan. Diantara beberapa definisi bahasa tersebut,
masih sulit ditentukan secara pasti arti yang mana yang sesuai al-Qur’an
mengenai Nasakh ini. Sehingga tidak mengherankan jika dikalangan para ulama,
baik ulama mutaqaddimin maupun ulama mutaakhirin, terjadi perbedaan pendapat di
dalam mendefinisikannya sesuai dengan pemahaman mereka terhadap arti bahasanya.
Bagi ulama mutaqaddimin
menggunakan term nasakh ini untuk beberapa pengertian, yaitu (1) pembatalan
yang di tetapkan terdahulu oleh hukum yang telah di tetapkan kemudian; (2)
pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian; (3) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang
besifat sama; dan (4) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum
bersyarat. Dengan demikian mereka memandang Nasakh sebagai dalil yang datang
kemudian, sebagai sesuatu pandangan yang lebih umum dari pada arti menggugurkan
atau merubah hukum pertama, yang menjelaskan akhir masa berlakunya dan
menjelaskan bahwa mengamalkan hukum itu tidak diharuskan untuk selamanya oleh
syara’. Atas dasar inilah, mereka memperluas dan menggunakan semua panggilan
Nasakh, sehingga Nasakh menurut mereka bisa mencakup semua bentuk penjelasan,
yakni taqyid terhadap muthlaq, takhshish terhadap ‘am
dan lain sebagainya.
Sementara itu menurut ulama
mutaakhirin bahwa nasakh sebagai dalil yang datang kemudian, berfungsi
untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama. Dengan demikian mereka
mempersempit ruang lingkupnya dengan beberapa syarat, baik yang menaskh maupun
yang di naskh. Hal ini dilakukan untuk membedakan dengan mukhashishah
terhadap yang mutlaq, dimana hal ini tidak diperhatikan oleh para ulama
terdahulu, bahkan mereka tidak terikat dengan masalah-masalah tersebut.
Mengenai hal ini Imam al-Syatibi mengatakan:
Yang tampak dari perkataan
ulama terdahulu (al-mutaqaddimin), bahwa penggunaan nasakh menurut mereka lebih
luas artinya dari pada arti nasakh menurut ulama ushuliyyin, mereka
menggunakan arti nasakh itu untuk makna taqyid terhadap yang muthlaq.
Sebagaimana telah merekapun menggunakan kata nasakh itu untuk menghapus hukum
syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sebab, kesemuanya lafazh
musytarak dalam satu makna, yaitu bahwa nasakh menurut istilah ulama
mutaakhirin berarti bahwa perkara (perintah) yang terdahulu itu tidak
dimaksudkan untuk dikenakan taklif (beban), tetapi yang dimaksud untuk
jadi beban adalah yang datang kemudian. Jadi yang pertama (al-Mansukh) itu
tidak perlu untuk diamalkan, melainkan yang kedualah (al-Nasikh) yang harus
diamalkan.
Atas dasar inilah, kemudian
para ulama muta’akhirin membuat definisi nasakh sebagai berikut:
Menghapuskan hukum syara’
dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Dalil yang demikian ini biasa disebut
dengan al-nasikh (yang menghapus). Sedangkan hukum yang pertama disebut dengan
al-Mansukh (yang terhapus). Sementara itu, penghapusan hukum tersebut dinamakan
al-nasakh.
Definisi di atas menurut Dr.
Subhi al-Shalih di pandang sebagai tahdid istilahi (definisi
terminologis) yang paling tepat, sebab sesuai dengan makna nasakh dalam bahasa
arab; yaitu meniadakan (al-Izalah) dan menghapus (ar-Raf’u). lebih lanjut ia
mengatakan bahwa ketentuan hukum syara’ yang oleh syari’ (Allah dan RasulNya)
di pandang tidak perlu dipertahankan, harus di cabut dan dig anti dengan
dalil-dalil yang kuat dan jelas, serta berdasarkan realitas yang mudah di
mengerti. Sedangkan menurut al-Zarqani, bahwa yang di maksud dengan
menghapuskan dalam definisi diatas adalah terputusnya hubungan hukum yang
dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya substansi hukum itu
sendiri.[5]
2. Perbedaan
Antara Nasikh dan Takhsis
Perbedaan antara Nasakh dan Takhsis ada lima
hal[6]:
Ø Lafadz
‘am setelah ditakhsis akan menjadi samar jangkauannya, karena bentuknya masih
tetap umum, sedangkan lafadz dalil yang telah dimansukh sudah tidak berlaku
lagi, sehingga sudah jelas jangkauannya telah terhenti.
Ø Ketentuan
hukumnya, sejak semula sudah dikecualikan dengan takhsis, sedang ketentuan
hukum yang dimansukh pada mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa
saat, tetapi setelah ada perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka
ketentuan hukumnya dimansukh.
Ø Nasakh
membatalkan kehujjahan hukum yang dimansukh,sedangkan takhsis tidak
membatalkannya melainkan hanya membatasi jangkauannya saja, sedang ketentuan
hukumnya tetap berlaku bagi yang tidak dikecualikan dengan pembatasan.
Ø Nasikh
tidak dapat terjadi kecuali dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang takhsis bisa
saja terjadi dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ataupun dalam hukum lain di luar
hukum keduanya.
Ø Nasakh
itu dalil nasikhnya harus datang kemudian setelah ketentuan dari dalil yang
pertama itu berlaku telebih dahulu, lalu dihapuskan. Sedang dalam takhsis,
dalil yang mentakhsis boleh datang bersamaan dengan dalil yang ditakhsis.
Contoh takhsis QS Al-Asr:
والعصر (1) انّ الانسان لفى خسر (2)
الا الذين امنوا وعملواالصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر (3)[7]
Artinya: “Demi masa (1) sesungguhnya manusia
itu benar-benar berada dalam kerugian (2) kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, dan nasehat-menasihati supaya menaati kebenaran dan
nasihat-nasihat supaya menetapi kesabaran (3)”
3. Syarat-Syarat
dan Macam-Macam Nasakh
a. Syarat-syarat
Nasakh
Adapun syarat-syarat nasakh adalah[8]:
Ø Hukum
yang yang di mansukh adalah hukum syara’
Ø Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari
khitab yang hukumnya mansukh
Ø Khitab
yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu
tertentu, sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut.
b. Macam-macam
Nasakh
Nasakh ada 4 bagian[9]:
1) Nasakh
al-Qur’an dengan al-Qur’an, bagian ini disepakati kelebihannya dan telah
terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adalanya nasakh, Contoh:
قوله ( والذين يتوفون منكم ويذرون
ازواجا وصية لأزواجكم متاعا الى الحولغير اخراج, 240- البقرة ) نسخت بقوله (
والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بأنفسهن اربعة اشهر و عشرا,234- البقرة )[10]
2) Nasakh
al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh ini ada dua macam:
·
Nasakh al-Qur’an dengan hadis
ahad, ada yang berpendapat al-Qur’an tidak boleh di nasakh dengan hadis ahad,
sebab al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukan yakin, sedang hadis ahad
dzanni, bersifat dugaan, disamping pula tidak sah pula menghapuskan sesuatu
ma’lum (jelas diketahui) dengan yang maznun (diduga)
·
Nasakh al-Qur’an dengan hadis
mutawatir, Nasakh demikian dibolehkan oleh Malik, Hanifah dan Ahmad dalam suatu
riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
3) Nasakh
sunnah dengan al-Qur’an, ini diperbolehkan oleh jumhur, contoh:
فالتوجه الى بيت المقدس كان ثابتا
بالسنة, وليس في القران ما يدل عليه, وقد نسخ بالقران في قوله ( فول وجهك شطر
المسجد الحرام,44- البقرة )[11]
4) Nasakh
sunnah dengan sunnah, dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
·
Nasakh mutawatir dengan
mutawatir
·
Nasakh ahad dengan ahad
·
Nasakh ahad dengan mutawatir
·
Nasakh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada
bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh al-Qur’an dengan
hadis ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Para ulama membagi proses nasakh ke dalam tiga bagian berikut ini[12]:
1) Nasakh
yang terjadi pada bacaan al-Quran saja tanpa menasakh hukumnya. Maksudnya
adalah bahwa terdapat ayat al-Quran, yang turun kepada Rasulallah saw, yang
kemudian bacaan dan lafaznya di nasakh tetapi hukum yang terdapat di dalam
lafazh tersebut masih tetap berlaku. Contohnya:
الشيخ والشّيخة اذا زنيا فارجموهما
البتة نكالا من الله, والله عزيز حكيم[13]
Artinya: “orang tua laki-laki dan perempuan
apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai
siksaan dari Allah, dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.”
2) Nasakh
yang terjadi pada bacaan dan juga hukum yang terkandung didalamnya. Maksudnya
adalah bahwa terdapat ayat al-Qur’an yang sebelumnya telah permanen dari sisi
lafazh dan juga makna tetapi kemudian di nasakh, baik itu lafazh maupun makna
(hukum) yang terkandung di dalamnya. Misalnya seperti apa yang telah
diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, Ia berkata:
كان فيما انزل عشر رضعات معلومات يحرمن
فنسخن بخمس معلومات, فتوفى رسول الله صلى الله عليه وسلم ( وهنّ ممّا يقرأ
منالقران )
Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah
sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim, kemudian ketentuan ini di
nasakh oleh lima susuan yang maklum, maka ketika Rasulallah wafat lima susuan
ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca.
Kata-kata Aisyah “lima susuan ini termasuk ayat
al-Qur’an yang dibaca” pada lahirnya menunjukan bahwa tilawahnya masih tetap.
Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf usmani. Kesimpulan
demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah
ketika beliau menjelang wafat.
3) Menasakh
hukum tanpa menasakh lafazh bacaannya, maksudnya adalah proses nasakh yang
terjadi pada isi kandungan yang terdapat dalam ayat al-Qur’an dengan tetap
memelihara dan mengakui keberadaan lafazh bacaannya. Misalnya nasakh hukum ayat
iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai nasakh macam ini
banyak dikarang kitab-kitab yang didalamnya pengarang menyebutkan bermacam-macam
ayat.
4. Pendapat
Golongan yang Menerima dan Menolaknya.
Diantara mujtahidin seperti
asy-Syafi’i dan juga demikian di antara mufassirin, bahkan jumhurnya,
berpendapat bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang masih terdapat didalamnya,
dibaca dan ditilawahkan telah dimansukhkan hukumnya, tidak diamalkan lagi.
Ayat-ayat yang mereka telah dimansukhkan, mereka namai mansukhah. Ayat-ayat
yang mereka anggap pe-nasikhnya mereka namai nasikhah.[14]
Diantara para ahli yang
membantah keras adanya ayat-ayat mansukh dalam al-Qur’an adalah Abu Muslim
al-Ashfahany. Pendapat beliau dikuatkan di masa-masa akhir ini oleh beberapa
ahli ilmu yang terkenal. Diantaranya Muhammad Abduh murid besar Rasyid Ridha,
Dr Taufiq Shidqi dan Khudhary. Mufassir besar Al-Fakhr ar-Razy condong kepada pendapat
Abu Muslim. Asy-Syafi’i dan ulama yang sependapat dengan beliau ber-hujjah
menetapkan adanya ayat-ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an dengan:
Ø Firman
Allah swt:
ما ننسخ من اية او ننسها نأت بخير منها
او مثلها, الم تعلم انّ اللهعلى كل شيءقدير [15]
“ apa-apa yang kami
hapuskan dan sesuatu ayat atau kami jadikan ia dilupakan, niscaya kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sepertinya.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 106)
Ø Firman
Allah swt:
واذا بدلنا اية مكان اية والله اعلم
بما ينزل قالوا انما انت مفتر بل اكثرهم لا يعلمون[16]
“dan apabila kami gantikan suatu ayat di tempat
suatu ayat” (QS. An-Nahl [16]: 101)
Ø Dengan
terdapatnya perlawanan antara lahir beberapa ayat dengan lahir beberapa ayat
yang lain. Contohnya, mereka berkata: “Washiyat dengan ayat Mawaris”
Al-Maraghi menjelaskan hikmah
adanya nasakh dengan menyatakan bahwa: “hukum-hukum tidak diundangkan kecuali
untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan
waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu
waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan
tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di nasakh
dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia
menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk
hamba-hamba Allah.[17]
Di sisi lain, mereka yang
menolak adanya nasakh dalam al-Qur’an, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari
Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan Nya, yaitu: (a) ketidaktahuan,
sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang
lain; dan (b) kesiasiaan dan permainan belaka. Alasan lain yang dapat dianggap
terkuat adalah firman Allah, (QS: Hamim As-Sajdah; 42)
لا يأته الباطل من بين يديه ولا من
خلفه تنزيل من حكيم حميد[18]
Artinya: “Tidak datang kepadanya (al-Qur’an)
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.”
Ayat tersebut di atas menurut
Abu Muslim al-Isfahani menegaskan bahwa al-Qur’an tidak disentuh oleh
“pembatalan”, dan dengan demikian bila nasakh diartikan sebagai pembatalan,
maka jelas ia tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para
pendukung nasakh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang
pembatalan, tetapi “kebatilan” yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan
yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan
penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu
bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu
yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya
adalah hak dan benar, bukan batil.[19]
Muhammad Abduh walaupun tidak
mendukung pengertian kata “ayat” dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai
“ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an”, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut
menyatakan “sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya
mengisyaratkan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat. Tetap berpendapat
bahwa dicantumkannya kata-kata “ilmu Tuhan”, “diturunkan”, “tuduhan
kebohongan”, adalah isyarat yang menunjukan bahwa kata “ayat” dalam surat an-Nahl
ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an.[20]
Kembali kepada Muhammad
Abduh, disana terlihat bahwa dia menolak adanya nasakh dalam arti pembatalan,
tetapi menyetujui adalanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat
hukum di tempat ayat hukum yang lain). Dengan demikian, kita cenderung memahami
pengertian nasakh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah
yang lain”. Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada
kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang
tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak
berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya
sama dengan kondisi mereka semula.[21]
D. Kesimpulan.
·
Nasikh dan Mansukh berasal
dari satu kata yaitu Nasakha yang artinya menghilangkan atau membatalkan
sesuatu, sedangkan Nasikh adalah isim fail dari fiil madhi Nasakha yang artinya
yang membatalkan, dan Mansukh adalah isim maf’ul dari fiil madhi Nasakha yang
artinya yang dibatalkan.
·
Perbedaan nasikh dan takhsis
ada lima hal, salah satunya adalah: Lafadz ‘am setelah ditakhsis akan menjadi
samar jangkauannya, karena bentuknya masih tetap umum, sedangkan lafadz dalil
yang telah dimansukh sudah tidak berlaku lagi, sehingga sudah jelas
jangkauannya telah terhenti.
·
syarat-syarat Nasakh adalah: Hukum
yang yang di mansukh adalah hukum syara’, Dalil penghapusan hukum tersebut
adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya
mansukh, Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi)
dengan waktu tertentu, sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir
dengan berakhirnya waktu tersebut
·
Nasakh ada 4 Bagian, yaitu:
Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, Nasakh al-Qur’an dengan as-Sunnah, Nasakh
as-Sunnah dengan al-Qur’an, dan Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah
·
Diantara mujtahidin seperti
asy-Syafi’i dan juga demikian di antara mufassirin, bahkan jumhurnya,
berpendapat bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang masih terdapat didalamnya,
dibaca dan ditilawahkan telah dimansukhkan hukumnya dan Diantara para ahli yang
membantah keras adanya ayat-ayat mansukh dalam al-Qur’an adalah Abu Muslim
al-Ashfahany. Pendapat beliau dikuatkan di masa-masa akhir ini oleh beberapa
ahli ilmu yang terkenal. Diantaranya Muhammad Abduh murid besar Rasyid Ridha,
Dr Taufiq Shidqi danKhudhary
E. Penutup
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kekurangan dan
kekeliruan dalam pembahasan ini kami mohon maaf karena hal ini adalah proses
awal bagi kami. Dan dalam penulisan makalah ini kami juga mohon kritik dan
sarannya, agar dalam penulisan makalah selanjutnya lebih baik lagi. Dan juga
kami derterima kasih pada semua yang telah membantu dalam penulisan ini.
امثلة
للنسخ
1. قوله تعالى ( ولله المشرق والمغرب
فأينما تولوا فثمّ وجه الله 110-البقره) منسوخة بقوله (فول وجهك شطر المسجد الحرام
44-البقرة )
2.قوله تعالى ( كتب عليكم اذا حضر
احدكم الموت ان ترك خيرا الوصيّة للوالدين والاقربين 180-البقرة) قيل منسوخة بايات
الموارث, وقيل بحديث ( ان الله قد اعطى كل ذى حق حقه فلا وصيت لوارث)
3. قوله ( وعلى الذين يطيقونه فدية
184-البقرة) نسخت بقوله (فمن شهد منكم الشهر فليصمه 175- البقرة)
4.قوله ( يسألونك عن الشهر الحرام قتال
فيه قل قتال فيه كبير 217- البقرة ) نسخت بقوله ( وقاتلوا المشركين كافة كما
يقاتلونكم كافة 36- التوبة )
5. قوله ( والذين يتوفون منكم ويذرون
ازواجا وصية لأزواجكم متاعا الى الحول غير اخراج 240- البقرة) نسخت بقوله ( والذين
يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بأنفسهن اربعة اشهر و عشرا 234- البقرة )
6. قوله ( وان تبدوا ما بانفسكم او
تخفوه يحاسبكم به الله 284 البقرة ) نسخت بقوله ( لا يكلف الله نفسا الا وسعها
286- البقرة )
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan Manna’, Mabahis
Fi “Ulumi al-Qur’an, Dar Ar-Rasyid,
tt.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Bandung: Jumanatul Ali ART (J-ART), 2005.
Hakim M Baqir (ed), Ulumul
Qur’an, Diterjemahkan oleh Nashirul Haq (dkk), dari “Ulumul Qur’an” (Jakarta:
Al-Huda, 2006)
Hasbi Ash-Shiddiqy Teungku
Muhamad, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an), Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
___________________________________,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009.
Nor Ichwan Mohammad, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: Rasail Media Group, 2008.
Shihab M Quraish, “Membumikan
Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung:
Mizan Pustaka, 2013.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab
Indonesia, Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010.
http://pasca-pba.blogspot.com/2013/01/nasikh-dan-mansukh-dalam-studi.html?m=1,
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Bandung: Jumanatul Ali ART (J-ART), 2005.
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010, Hal 449
[4] Teungku Muhamad Hasbi Ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an),
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm 138
[5] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Semarang: Rasail Media Group, 2008, hal 107-110.
[6]
http://pasca-pba.blogspot.com/2013/01/nasikh-dan-mansukh-dalam-studi.html?m=1,
diakses pada hari Selasa, 07 Oktober 2014, pkl 17.00
[7] Departemen Agama RI, Op, Cit.
[8] Manna’ al-Qattan, Mabahis Fi “Ulumi
al-Qur’an, Dar Ar-Rasyid, tt, hal
232
[9] Ibid, hal 236
[12] M Baqir Hakim (ed), Ulumul Qur’an,
Diterjemahkan oleh Nashirul Haq (dkk), dari “Ulumul Qur’an” (Jakarta:
Al-Huda, 2006) cet I, hal 300-302
[14] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009, hal 93-94
[16] ibid
[17] M Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan Pustaka,
2013, hal 224
[19] M Quraish Shihab, Op, Cit
[20] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar