Islam lahir tidak dalam ruang dan waktu yang kosong, namun ia
lahir dalam suatu peradaan yang berkambang. Jauh sebelum Islam datang, sudah
banyak agama yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat Arab pra Islam.
Agama-agama yang berkembang pada saat itu antara lain al-Watsaniyah
(paganisme), Yahudi, Majusi, Hanifiyah dan Shabi’ah. Sebagai agama yang datang
belakangan, Islam secara tidak langsung terpengaruhi oleh peradaban yang
berkembang dalam masyarakat Arab yang mayoritas menyembah berhala.
Rumah ibadah umat Islam yang dinamakan masjid merupakan salah satu
bukti akulturasi dari kebudayaan pra Islam. Seperti istilah baitullah yang
berarti rumah Allah. Istilah ini digunakan masyarakat pra Islam untuk menyebut
rumah ibadah. Hingga sekarang istilah ini digunakan oleh umat Islam untuk
menyebut Ka’bah. Bahkan istilah Ka’bah itu sendiri bagi masyarakat pra Islam
digunakan untuk menyebut rumah ibadah yang bentuk kubus. Di mana pada masa itu,
para pemuka penyembah banyak yang memiliknya. Namun istilah Ka’bah ini maknanya
dipersempit menjadi bangunan kubus yang ada di Mekkah.
Selain itu, demi menjaga rumah ibadah agar tetap terawat, maka
masyarakat pra Islam memiliki orang-orang khusus yang mengabdikan dirinya untuk
merawat berhala (sadanah). Para penjaga yang bertugas merawat masjid juga ada
di Islam, mereka disebut sebagai ta’mir masjid.
Pada saat umat muslim hijrah ke Madinah, pertama yang dilakukan
oleh Nabi adalah membangun masjid. Nabi memfungsikan tidak hanya untuk shalat
semata. Namun lebih dari itu, fungsi sosial pun menjadi perhatian Nabi, bahkan
masjid seperti bukan tempat yang sakral. Sehingga keberadaan masjid pada masa
Rasulullah menjadi tempat yang sentral dalam umat Islam.
Praktik yang demikianlah tidak terlihat pada masyarakat pra Islam,
sebab mereka mensakralkan rumah ibadah mereka. Jawad Ali menjelaskan keyakinan
yang dimiliki masyarakat pra Islam ini lahir karena bagi mereka bahwa Tuhan
yang mereka sembah bersemayam di dalam rumah ibadah tersebut dan diyakini
sebagai rumah Tuhan (baitullah). Hal ini senada dengan definisi tentang tempat
yang disakralkan menurut Joseph Chelhod. Dia mengartikan tempat yang disucikan
adalah tanah kawasan yang lepas dari alam profan, secara umum manusia dilarang
memasukinya karena ruh yang samar telah menampakkan diri di dalamnya dan menjadikannya
sebagai tempat tinggal.
Diakui atau tidak, fenomena banguan masjid pada masa Rasulullah
sangat berbeda dengan zaman sekarang. Model arsitektur masjid pada zaman
sekarang kemegahannya tampak jelas di tengah-tengah kota. Bentuk fisik yang
menawan semakin hari semakin megah mencerminkan “kemajuan” umat Islam.
Bentuk bangunan masjid pun sangat beragam, bahkan ada yang
menyerupai rumah ibadah agama lain. Menjadi konsekuensi bagi agama Islam ketika
bertemu dengan kebudayaan untuk beradaptasi. Lebih-lebih status agama Islam
sebagai pendatang. Maka tak heran apabila penyesuaian terhadap kebudayaan
tersebut menjadi hal yang wajar. Salah satu adaptasi agama Islam yang tampak
jelas adalah bentuk bangunan masjid.
Kalaupun demikian kondisinya, maka menjadi ambigu ketika
pemerintah Indonesia melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri mengeluarkan regulasi No. 8 tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Di mana dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa “Rumah ibadah adalah bangunan
yang memiliki ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para
pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat
keluarga”.
Di balik kemegahan dan keanggunan masjid pada zaman sekarang
seakan menjadi seperti “topeng belaka” yang menutup keprihatinan. Pasalnya,
umat Islam setengah hati memfungsikan masjid. Alunan adzan dari sudut masjid
yang selalu berkumandang setiap menjelang pelaksanaan ibadah shalat belum
menyentuh hati para jamaah. Sehingga tidak mustahil masjid yang megah menjadi
seperti “kuburan cina” yang sepi dari jamaah. Lebih dari itu, kehadiran jama’ah
yang ke masjid hanya untuk menghilangkan kewajibannya sebagai orang Islam.
Tanpa dilengkapi dengan interaksi sosial yang baik untuk menciptakan
kesejahteraan bersama sebagai wujud tanggung jawab sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar