Al-Quran
dalam berbagai tempat banyak yang berisi perintah kepada umat Islam untuk
menjalin perdamaian dengan semua umat manusia dengan beragam agama, suku,
maupun budaya. Dalam QS. Al-Baqarah 208 Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً.
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam perdamaian secara
keseluruhan.”
Para mufassir berbeda pendapat dalam
menafsirkan kata “al-silm” dalam ayat tersebut. Setidaknya dapat diringkas
menjadi tiga pendapat; 1) Menurut Mujahid, Qatadah, al-Sudiy, al-Thabari, dan
ulama lain, kata tersebut mengandung arti “Islam”. Jadi kandungan maknanya
adalah perintah untuk masuk ke dalam agama Islam (udkhulu fi al-islam).
2) Menurut al-Rabi’ dan mufassir yang sependapat dengannya, kata tersebut
berarti “kepatuhan”. Sehingga maknanya adalah perintah untuk patuh kepada Allah
(udkhulu fi al-tha’ah). 3) Pendapat yang mengartikannya dengan
“perdamaian.” Dengan demikian ayat tersebut mengandung perintah untuk menjalin
perdamaian dan meninggalkan perang (udkhulu fi al-shulh wa tark al-harb).[1]
Masih berkelindan dengan kata
“al-silm” para ulama juga berbeda pendapat dalam membacanya, apakah dengan
dibaca kasrah sinn-nya (al-silm), atau dengan dibaca fathah
sinn-nya (al-salm). Menurut ulama Kuffah, lafadz tersebut dibaca dengan sinn
yang dibaca kasrah (al-silm). Sedangkan menurut sarjana Hijaz,
Nafi’, Ibnu Katsir, al-Kisa’i, dan Abu Ja’far, huruf sinn kata tersebut
dibaca fathah (al-salm). Menurut Ibnu ‘Atsur, sebagian ulama juga
ada yang membacanya dengan sinn dan lam yang dibaca fathah
(al-salam).[2]
Al-Thabari menjelaskan, kata
tersebut jika huruf sinn-nya dibaca kasrah (al-silm) maka
mengandung dua arti; yakni Islam dan damai. Tapi jika huruf sinn-nya dibaca
fathah (al-salm) maka makna yang dikandung hanya satu, yaitu
perdamaian dan tidak perang.[3]
Namun yang menjadi persoalan andai
kata tersebut dipaksakan menggunakan arti “Islam (masuklah ke dalam agama
Islam)” maka akan memunculkan kontradiksi dengan ayat kebebasan beragama, yakni
QS. Al-Baqarah 256 “La ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan dalam
beragama).”
Di samping itu kandungan ayat
tersebut juga akan rancu, karena yang diseru adalah orang-orang yang beriman (ya
ayyuha al-ladzina amanu). Sehingga tidak mungkin jika orang yang sudah
beriman diseru untuk masuk ke dalam agama Islam. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa kandungan makna yang tepat adalah perintah perdamaian.
Umat Islam diperintah untuk menjalin
dan merawat perdamaian dengan penganut agama lain. Ketika para sahabat meminta
kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengutuk orang musyrik Quraisy yang tidak
henti-hentinya memusuhi umat Islam perdana, Nabi Saw. menyatakan:
إني لم أبعث لعانا،
وإنما بعثت رحمة.
“Aku
diutus bukan untuk mengutuk, tapi aku diutus untuk menebar kasih sayang.”[4]
Bahkan
ketika para sahabat sudah tidak sabar ingin membalas penganiayaan yang
dilakukan musyrik Quraisy, Nabi Muhammad Saw. bersabda:
لا تتمنوا لقاء
العدو، وإذا لقيتموهم فاصبروا.
“Janganlah
kalian berharap bertemu musuh, apabila kalian bertemu dengannya maka
bersabarlah.”[5]
Memang
jika terdapat sekelompok orang yang enggan melakukan perdamaian sebagaimana
Yahudi saat merusak perjanjian damai dan memerangi umat Islam maka umat Islam
diperintahkan untuk mengambil sikap melakukan perlawanan balik. Namun ini pun
hanya sebatas langkah untuk mempertahankan diri dan usaha mengembalikan
permusuhan itu ke dalam perdamaian. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS.
Al- Anfal 61:
وَإِنْ جَنَحُوا
لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ.
“Dan jika
mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Menurut al-Thabari, ayat ini turun
ketika pemeluk agama Yahudi dari Bani Quraidzah meminta damai kepada Nabi
Muhammad Saw. pasca mereka merusak perjanjian damainya.[6]
[1] Muhammad bin
Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, Mu`assasah al-Risalah,
cet. I, 2000, vol. IV, hal. 251-258. Muhammad Rasyid bin Ali Ridla, Tafsir
al-Manar, Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990, vol.
II, hal. 204-206. Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir,
Tunisia: al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984, vol. II, hal. 275-278.
[2] Muhammad bin
Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, Mu`assasah
al-Risalah, cet. I, 2000, vol. IV, hal. 251-258. Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur,
al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunisia: al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984,
vol. II, hal. 275-278.
[3] Muhammad bin
Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, Mu`assasah
al-Risalah, cet. I, 2000, vol. IV, hal. 251-258.
[4] Muslim bin
al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi,
tt. vol. IV, hal. 2006.
[5] Abu Zahrah, Khatam
al-Nabiyyin Shallallah ‘Alaih wa Sallam, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1425
H. vol. II, hal. 515.
[6] Baca Muhammad
bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, Mu`assasah
al-Risalah, cet. I, 2000, vol. XIV, hal. 40-43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar