Ada anggapan yang menyatakan bahwa teologi Islam
merupakan konsep yang baku dan besifat normatif. Namun
yang perlu dipahami bahwa teologi juga
sebagai ilmu teologi Islam yang
berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Ia bersifat non dogmatik dan
merespon persoalan yang realistis dan dihadapi oleh umat pada masa itu.
Berkembangnya aliran teologi seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah
dan sebagainya merupakan bukti dari perkembangan serta dinamika teologi Islam
dalam merespon persoalan umat pada saat itu. Akhirnya bermunculan doktrin
pengkafiran dan penghalalan pembunuhan terhadap lawan politik. Sehingga umat Islam
terseret pada paradigma yang dapat memicu kekerasan, bahkan terjerumus pada
legalisasi pembunuhan atas nama Tuhan dan merubah wajah Islam menjadi ganas.
Dalam
perspektif ilmu keIslaman, ajaran yang bersifat qath’i (pasti) adalah
ajaran tauhid yang menyangkut enam pokok keyakinan: Iman kepada Allah,
Malaikat, Kitab-Kitab, Rasul Allah, Hari akhir dan Qadha’ dan Qodar Allah.
Persoalan prinsip inilah yang disebut sebagai aqidah
Islamiyah yang berfisat pasti dan tidak dapat dipungkiri lagi.[1] Dalam
catatan sejarah perkembangan pemikiran Islam, teologi Islam (ilmu kalam) semula
disebut al-fiqh yang berarti al-fahmu (paham,
memahami). Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi’i keduanya
menyebut karyanya yang berkaitan dengan teologi dengan nama Al-fiqh
al-Akbar, karena objek yang dibicarakan dalam ilmu tersebut adalah
Allah yang Akbar. Sebaliknya ketika kedua tokoh tersebut menyebut kitab fikih
yang membicarakan tentang ibadah disebut sebagai al-Fiqh al-Ashghar.[2]
Ini berarti
ilmu teologi Islam bukanlah ilmu yang statis, dogmatik, tidak berkaitan dengan
persoalan masyarakat,
akan tetapi justru sebaliknya bahwa teologi Islam adalah ilmu yang dinamis,
progresif, serta berusaha menjawab
persoalan–persoalan yang dihadapi oleh kaum muslimin saat itu. Karenanya
membicarakan teologi Islam dalam konteks kedamaian bukanlah sesuatu yang tabu
dan mengada ada.
Suatu hal yang kontradiktif apabila perdamaian
dipahami sebagai “doktrin langit” yang hanya dimiliki Tuhan belaka. Tuhan
disebut sebagai Pencipta kedamaian, sedangkan manusia adalah makhluk yang
ditakdirkan untuk berperang dan bermusuhan. Ironisnya, berperang atau berjihad
dianggap sebagai perintah Tuhan yang paling otentik untuk menyelesaikan problem
kemanusiaan. Berangkat dari hal
tersebut, maka sekaan Kontradiktif. Di satu sisi Tuhan disimbolisasikan
sebagai pembawa kedamaian, tetapi di sisi lain, Tuhan juga mengajarkan pada
peperangan.[3]
Disadari atau
tidak, sekarang ini umat Islam mengalami krisis paradigmatik. Sejarah Islam
dianggap sebagai sejarah perang hal demikian bisa diperhatikan dengan adanya
buku-buku tentang sirah Nabi Muhammad yang diajarkan di belahan dunia muslim,
terutama di pesantren dan lain-lain, sebagian besar adalah buku yang
menjelaskan tentang sejarah perang Nabi Muhammad. Sedangkan interaksi Nabi
Muhammad dengan masyarakat non-muslim pada saat itu kurang mendapatkan
perhatian. Kenyataan secara tidak langsung membangun teologis bagi masyarakat
sehingga agama sebagai perang.
Selain itu
juga, dengan adanya paradigma bahwa doktrin tentang perdamaian dianggap doktrin
ke-akhirat-an. Konsepsi dar al-salam (tempat kedamaian) dikonotasikan
pada surga, sedangkan dunia dianggap permainan dan kesenangan belaka yang
selalu berakhir dengan krisis kemanusiaan, krisis moral dan kritis etika. Dunia
dianggap sebagai tempat noda dan dosa. Tentu saja, doktrin semacam ini
mendorong pemahaman tentang perdamaian sebagai sebuah impian belaka kalau perang dianggap sebagai
solusi untuk menciptakan perdamaian.
Apabila ingin membangun perdamaian dalam
perbedaan, paradigma yang demikian harus dirubah. Sebagaimana
misi agama sebagai pembawa perdamaian, bukan peperangan.
Secara normatif, ajakan untuk meng-Esa-kan Allah sebagai satu-satunya Tuhan
(Tauhid) berimplikasi bahwa manusia dan alam seisinya memiliki kesamaan yaitu
sama-sama sebagai ciptaan Allah. Disamping itu ajaran hidup berdamai
tidak dapat dipisahkan dari keimanan dan keIslaman itu sendiri. Sebab
lafadz iman yang berarti meyakini secara kebahasaan
memiliki hubungan yang erat dengan lafadz amanah yang berarti
amanat serta lafadz aman yang berarti damai (aman sentosa). Kata Islam juga
tidak dapat dipisahkan dengan lafadz salam yang berarti
selamat dari hal-hal yang segala bahaya yang juga menjadi
unsur perdamaian. Perintah memulai sesuatu dengan membaca bismillah
al-rahman al-rahim (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang) terkandung tujuan supaya seorang dalam melakukan aktifitasnya harus
dilakukan atas dasar kasih sayang bukan kemarahan dan emosional.
Konsep perang
yang sering menjadi justifikasi perilaku kekerasan, anarkis, brutal dan bahkan
pembunuhan hanya diperbolehkan dalam rangka mempertahankan kehormatan Islam dan
orang Islam. Dalam catatan sejarah Nabi Muhammad, beliau mengangkat senjata
setelah Madinah mendapat serangan dari orang Yahudi dan kafir Quraisy Makkah.[4] Selain
itu juga, Nabi berjuang untuk menciptakan keamanan dan kedamaian bagi seluruh
penduduk Madinah tanpa melihat perbedaan suku, bangsa dan agama. Karena itulah
Piagam Madinah ini menjamin hak semua kelompok sosial
dengan prinsip kesetaraan dalam masalah kesejahteraan umum, sosial dan
politik.[5]
Peristiwa besar
yang tidak bisa kita lupakan adalah ketika Nabi di Arafah pada haji wadha’
(haji perpisahan), berkhutbah bahwa sesungguhnya darah kalian dan harta
kalian adalah terhormat sebagaimana terhormatnya hari kalian ini, pada bulan
muliamu ini di negaramu yang mulia ini. Dan ingatlah bahwa tradisi jahiliyah
sudah tidak berlaku lagi, tuntutan balas yang ada dalam masyarakat
jahiliyah juga tidak berlaku
(harus berhenti), begitu pula riba juga harus berhenti.[6]
Berangkat dari
landasan normatif, maka untuk membangun paradigma perdamaian sebagai Teologi Islam
sudah menjadi keharusan bersama. Dengan Teologi Islam yang dapat menjadi driving
force bagi terwujudnya perdamaian dapat diwujudkan dengan cara
mengedepankan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Misi agama
bukanlah kekerasan, namun perdamaian. Ketika ada yang melakukan tindak
kekerasan mengatasnamakan agama atau bahkan Allah, maka sesungguhnya bukan
karena itu ia melakukan. Sebab agama mengajak manusia untuk membumikan
nilai-nilai manusiawi dan juga Allah tidak perlu dibela karena Allah Maha
Besar.
Menarik untuk
direnungkan bersama, yaitu tanggapan Al-Hujwiri terhadap para pelaku yang
melakukan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama atau Allah. Ia mengatakan
”Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya,
hakikatnya engkau sudah menjadi kafir, Allah tidak perlu disesali kalau Dia
“menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya,
yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah dengan
kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.”[7]
[1] Abdul Muhaya, “Teologi Islam dalam Konteks Kedamaain”,
artikel yang diambil pada tanggal 19 Februari 2013 dari www.rasail.wordpress.com.
[2] Ibid.
[3] Zuhairi Misrawi,
“Menggagas Teologi Perdamaian”, artikel ini diakses pada tanggal 19 Februari
2013 dari www.Islamlib.com.
[4] Abdul Muhaya, Loc. Cit.
[5] J. Sayuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam
Madinah, Jakarta: Raja Grafindo, 1996, hal. 32.
[6] Said bin Abd al-Qadir. Al-Mughni
Fi Fiqh al-Hajj wa al-Umrah. Dar Ibn Hazm. Libanon, 2002,
315.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar