Di Pakistan,
pada tahun 1953 pernah terjadi kerusuhan hebat yang menelan banyak korban, baik
harta maupun nyawa manusia. Kejadian ini berpangkal pada tuntutan dari kalangan
ulama Pakistan agar Menteri Luar Negeri Pakistan, saat itu Muhammad Zafrullah
Khan dikeluarkan dari kabinet. Alasannya karena dia seorang Qadiyani yang harus
diperlakukan sebagai minoritas non-muslim. Oleh karenanya ia tidak
diperkenankan untuk menduduki jabatan pemerintahan Pakistan yang notabenenya
sebagai negara Islam. Tuntutan itu sebatas pemecatan karena Qadiyani dianggap
sebagai kafir dzimmi. Jika saja ia seorang Qadiyani baru dan sebelumnya
orang Islam, maka ia dihukum mati dengan alasan riddah.
Pada saat itu,
Khwaja Nazimuddin sebagai Perdana Menteri Pakistan, ia tidak bersedia begitu
saja tunduk dengan tuntutan tersebut. Ia tetap berpegang pada semangat yang
diwariskan oleh Ali Jinnah, pendiri Pakistan, tentang kewarganegaraan yang
tidak mengenal diskriminasi, baik etnis maupun agama. Namun keadaan memuncak,
akhirnya pemerintah Pakistan memberlakukan hukum darurat militer dan mengambil
tindakan tegas dan pertumpahan darah pun tidak dapat dihindarkan.
Peristiwa
tersebut dimajukan ke sebuah mahkamah untuk melakukan penyelidikan secara
menyeluruh dan mendalam. Dari pihak mahkamah meminta keterangan dari beberapa
tokoh ulama yang mengajukan kasus tersebut. Kepada mereka antara lain diajukan
pertanyaan tentang definisi Islam dan muslim. Yang menarik, jawaban dari mereka
berbeda-beda. Terhadap kenyataan itu hakim mahkamah memberikan komentar,
sebagai berikut:
“Memperhatikan
berbagai definisi yang diberikan para ulama, kita tidak perlu memberikan
komentar kecuali bahwa tidak ada dua ulama yang sepakat dalam masalah yang
fundamental ini. Bila kita membuat definisi kita sendiri sebagaimana masing-masing
ulama itu melakukannya, dan definisi itu berbeda dengan definisi yang diberikan
oleh para ulama, tak ayal lagi kita telah keluar dari lingkungan Islam. Dan
bila kita menerima definisi yang diberikan salah seorang ulama itu, kita akan
tetap dianggap muslim menurut ulama tersebut namun kafir menurut definisi
lainnya.”[1]
Dari cerita dan
kutipan di atas, mungkin bisa menjadi argumen penguat bahwa apa pun namanya,
bukan tanpa alasan. Terbentuknya alasan-alasan tersebut tidak lain berakar dari
latar belakang pengalaman dalam hidup. Karena disadari atau tidak, Tuhan
menciptakan manusia dalam kemajemukan. Bahkan bayi yang lahir kembar sekali pun
pasti memiliki hal yang membedakan antara satu dengan yang lain. Lanjut lagi,
perbedaan tersebut dapat dalam sekala besar seperti perbedaan budaya, adat,
kepercayaan, keyakinan dan bahkan agama. Tantangannya kemudian, ketika setiap
personal tidak dapat menerima perbedaan dalam berinteraksi sosial, maka
ketimpangan dalam kehidupan sosial pun akan terganggu. Tindakan kekerasan,
kerusuhan dan sebagainya pun akan terjadi.
Hal demikian
lah yang sering terjadi pada kehidupan sosial sekarang ini, bahkan ini seperti
sesuatu yang tidak dapat dihindari. Sejarah telah mencatat banyak sekali
kasus-kasus yang timbul akibat dari intoleran dalam menerima perbedaan,
lebih-lebih perbedaan dalam hal keagamaan dan lebih mengerucut lagi
perbedaan antar personal.
Dinamika Politisasi Agama; Memisahkan Politik dan Agama Demi Perdamaian Bersama: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3 dan Bagian 4.
Dinamika Politisasi Agama; Memisahkan Politik dan Agama Demi Perdamaian Bersama: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3 dan Bagian 4.
[1]
Lihat Djohan Effendi, Plurasime dan Kebebasan Beragama, Cet. III,
Yogyakarta: Institut DIAN, 2011, hal. 131. Kuitpan ini dikutib dari Report
of The Court of Inquity Contituted under Punjab Act II of 1954 to Enquire into
Punjab Disturbance of 1953, hal. 218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar