Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Dinamika Politisasi Agama; Memisahkan Politik dan Agama Demi Perdamaian Bersama (Bagian 2)

Dalam perkembangan umat Islam sejak dahulu hingga sekarang timbul dan berkembang berbagai pemahaman tentang agama, baik yang melembaga menjadi sebuah aliran atau mazhab keagamaan, maupun yang berserakan dalam pemahaman individual.
Pergolakan tersebut dalam kancah sejarah Islam selalu terjebak pada apa yang disebut oleh Emert Gellner sebagai kenyataan oposisi biner.[1] Akibatnya, di antara umat Islam sendiri terjebak dalam perdebatan hingga tidak jarang dalam konteks praksis perdebatan itu mengarah pada tindakan nyata dan saling menebar teror, baik teror pemahaman seperti tuduhan kafir, maupun teror dalam bentuk fisik.
Pada masa Nabi Muhammad, segala sesuatu disandarkan kepada beliau, begitu sentralnya di samping sebagai Nabi, Rasul, beliau juga seorang kepala negara dan kepala pemerintahan. Sehingga ketika Beliau wafat, masyarakat Madinah disibukkan memikirkan pengganti sebagai kepala pemerintahan.
Berawal dari sini, yaitu setelah wafatnya Nabi Muhammad, babak awal persoalan politik dalam Islam bergulir. Tidak adanya mekanisme yang diwariskan, terkait dengan kelanjutan pemegang kekuasaan teratas umat Islam menjadi akar perpecahan. Kekuasaan pun menjadi tema yang cukup nyaring diteriakkan oleh para sahabat sehingga menyebabkan titik awal keretakan umat Islam. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan era Khulafa’ al-Rasyidin mengalami dinamika yang cukup kuat, kemudian menyebabkan terjadinya kontestan di internal umat Islam sehingga memunculkan polarisasi sikap dalam memahami kekuasaan.[2] Bahkan seorang sejarawan agama terkemuka al-Syahrastani mengungkapkan “Tidak pernah ada persoalan yang lebih berdarah kecuali tentang kekhalifahan”.[3]
Masa pemerintahan Abu Bakar, Umar, Ustman dan selanjutnya Ali bin Abi Thalib menyimpan persoalan yang bahkan menuai beban psikis bagi umat Islam. Hal ini dikarenakan, dalam proses peralihan kekuasaan di antara mereka diiringi berbagai intrik, bahkan mengarah pada situasi yang berdarah-darah, sekalipun tidak secara langsung. Mengutip pendapat Mahmud Ismail dalam bukunya al-Islam al-Siyasi, bahwa tradisi hukum dan politik yang dibangun era Khulafa’ al-Rasyidin[4] selalu mengalami perbedaan sebab sesuai dengan karakternya bahwa politik adalah persoalan dunia. Dan dunia senantiasa mengarah pada titik perubahan.[5] Perubahan ini sesuai dengan kondisi, situasi dan pemegang kekuasaan.
Pada saat Ali bi Abi Thalib memimpin menjadi khalifah[6] menggantikan Utsman[7], ia mendapatkan tantangan dari para pemuka yang ingin juga menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubair[8] dari Mekkah yang mendapatkan dorongan dari Aisyah[9]. Tantangan mereka dipatahkan oleh Ali dalam perang yang terjadi di Irak tahun 656 H. Talhah dan Zubair terbunuh dalam pertempuran tersebut dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[10]
Tidak berhenti di situ saja, datang lagi dari Muawiyah, Gubernur Damaskus pada saat itu dan keluarga dekat dengan Ustman. Sebagaimana Talhah dan Zubair yang tidak mau mengakui Ali sebagai khalifah dan menuduh Ali turut andil dalam pembunuhan Utsman. Perang pun terjadi, perang itu disebut Perang Siffin, tentara Ali dapat mendesak tentara Muawwiyah. Namun tangan kanan Muawwiyah, Amr Ibn Ash yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Kelompok yang ada di pihak Ali, mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase (Tahkim). Sebagai perantara diangkatlah orang-orang kepercayaan yakni: Amr bin Ash dari pihak Muawwiyah dan Abu Musa al Asy’ary dari pihak Ali.[11]
Dari dinamika tersebut lah awal muncul dari konflik politik besar dalam Islam yang menyebabkan terjadinya berbagai sekte-sekte, termasuk juga aliran-aliran teologi Islam berikut konsep teologisnya. Aliran-aliran tersebut seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan Jabariyah. Di samping itu juga ada Sunni dan Syi’ah.
Aliran Syiah percaya bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad. Berbeda dengan Sunni yang mengakui Abu Bakar sebagai penerus Nabi. Perbedaan antara keduanya menjadikan perbedaan pandangan dalam penafsiran Al-Qur’an mengenai sahabat dan hal-hal lainnya.
Di sisi yang lain, aliran Khawarij muncul sebagai akibat dari reaksi kekacauan politik yang terjadi pada penyelesaian perang Siffin (tahkim)  pada masa Ali dan Mu’awiyah. Aliran Murji’ah muncul dilandasi oleh sikap apatis terhadap kekacauan politik saat itu dan selanjutnya mereka menyerahkan penyelesaian persoalan tersebut pada Tuhan, bahkan dalam pandangannya, persoalan kedamaian dan kebahagiaan lebih bersifat theosentris dan keakhiratan bukan persoalan yang bersifat keduniaan.
Aliran Qadariyah yang menekankan pada kemandirian manusia dalam bertindak muncul karena melihat masyarakat yang fatalistik dalam merespon kekacauan politik sehingga terjadi saling membunuh diantara orang Islam sendiri. Sebaliknya Aliran Jabariyah yang berpandangan bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan muncul akibat dari konsep kemandirian, kebebasan dan kemerdekaan manusia yang terlalu luas sehingga menghilangkan peran Allah dalam perbuatan manusia. Dan kemudian lahir lah banyak lagi aliran-aliran seperti Mu’tazilah, Zaidiyah, Ismailiyah dan sebagainya.



Dinamika Politisasi Agama; Memisahkan Politik dan Agama Demi Perdamaian Bersama: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3 dan Bagian 4.


[1] Opisisi biner yang dimaksud adalah para pemikir –sekaligus partisannya– yang selalu berada dalam kondisi saling bertabrakan sesuai dengan kerangka gerak dalam memahami dialektika Islam dan Politik. Di satu pihak ada kelompok yang kuat menggunakan rasio dan di pihak yang berbeda berjuga ada kelompok yang kuat melihat dari perspektif keimanan, meskipun juga diakui Gellner saat ini posisi tersebut semakin melebar bukan sekedar dua kelompok tapi telah beragam, lihat Ernest Gellner, Menolak Posmodernisme; Antara Fundamentalisme Rasional dan Fundamentalisme Religius, Terj. Hendro Prasetyo dkk, Bandung: Mizan, 1994, hal. 11.
[2] Polarisasi ini tidak saja terjadi dalam  konteks kekuasaan politik, tapi juga mengarah pada polarisasi pemahaman keagamaan hingga, misalnya dalam konteks teologi, muncul aliran Mu’tazilah, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Khawarij dan lain-lain. Atas alasan ini, maka tidak salah kemudian Muhammad Abu Zahro mengatakan Bahwa “Thabi’ah al-Siyasah al-Islamiyyah Dzatu Shila bi al-Din” (karakter politik Islam senantiasa bersambung dengan agama). lihat, Muhammad Abu Zahro, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqidah wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Fikr, Tth), 31.
[3] Lihat Philips K. Hitti, History of The Arabs, R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (pernerjemah), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 174, lihat pula Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Cureton ed., London 1842-1846, hal. 12.
[4] Dalam buku History of The Arabs disebutkan bahwa merupakan pandangan keliru yang menyatakan bahwa kehalifahan semata-mata merupakan institusi keagamaan, dengan kata lain ini adalah lembaga politik, selengkpanya lihat Philips K. Hitti, Op.Cit.  hal. 230.
[5] Lebih lengkapnya lihat lihat Mahmud Ismail, Islam al-Siyasi al-Ushuliyyin wa al-‘Almaniyyin (Kuwait: Muassasah al-Syira’ al-‘Arabi, 1993), 88-89.
[6] Khalifah bagi Philip K. Hitti merupakan lembaga politik ada golongan yang tidak menerima adanya konsep khalifah seperti golongan syiah yang tidak punya konsep khalifah yang mereka kenal adalah konsep imamah. Selengkapnya Philip K. Hitti, Op. Cit. hal. 231.
[7] Dengan adanya tuduhan nepotisme akhirnya perasan tidak puas yang muncul akibat sistem administrasinya yantidak populer dimotori oleh tiga tokoh Qurasy kandidat khalifah yaitu itu dimotori oleh Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan Zubayr. Protes pendukung Ali merebak dan melakukan pembrontakan mengepung rumah Utsman, pada saat itulah seorang khalifah pertama yang dibunuh oleh orang muslim. Lihat Philip K. Hitti, Op. Cit. hal. 220.
[8] Mereka berdua adalah saingan dekat Ali setelah kursi kekhalifahan ditinggalkan oleh Utsman.
[9] Ini juga dikarenakan Aisyah membenci Ali, sebab Ali pernah melukai kehormatannya, kerana suatu ketika saat ia tertinggal sendirian di belakang barisan rombongan Nabi Muhammad, Ali mencurigainay telah berbuat mesum, sehingga Allah turun tangan dan membelanya melalui sebuah wahyu (QS. 24: 11-20. Philip K. Hitti, Op. Cit. hal. 224.
[10] Selengkpanya lihat Philip K. Hitti, Op. Cit. hal. 222-224.
[11] Ibid. hal. 224-225.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini