Dalam perkembangan
umat Islam sejak dahulu hingga sekarang timbul dan berkembang berbagai
pemahaman tentang agama, baik yang melembaga menjadi sebuah aliran atau mazhab
keagamaan, maupun yang berserakan dalam pemahaman individual.
Pergolakan tersebut
dalam kancah sejarah Islam selalu terjebak pada apa yang disebut oleh Emert
Gellner sebagai kenyataan oposisi biner.[1]
Akibatnya, di antara umat Islam sendiri terjebak dalam perdebatan hingga tidak
jarang dalam konteks praksis perdebatan itu mengarah pada tindakan nyata dan
saling menebar teror, baik teror pemahaman seperti tuduhan kafir, maupun teror
dalam bentuk fisik.
Pada masa Nabi
Muhammad, segala sesuatu disandarkan kepada beliau, begitu sentralnya di
samping sebagai Nabi, Rasul, beliau juga seorang kepala negara dan kepala
pemerintahan. Sehingga ketika Beliau wafat, masyarakat Madinah disibukkan
memikirkan pengganti sebagai kepala pemerintahan.
Berawal dari
sini, yaitu setelah wafatnya Nabi Muhammad, babak awal persoalan politik dalam Islam
bergulir. Tidak adanya mekanisme yang diwariskan, terkait dengan kelanjutan
pemegang kekuasaan teratas umat Islam menjadi akar perpecahan. Kekuasaan pun
menjadi tema yang cukup nyaring diteriakkan oleh para sahabat sehingga
menyebabkan titik awal keretakan umat Islam. Fakta sejarah menunjukkan bahwa
kekuasaan era Khulafa’ al-Rasyidin mengalami dinamika yang cukup kuat,
kemudian menyebabkan terjadinya kontestan di internal
umat Islam sehingga memunculkan polarisasi sikap dalam memahami kekuasaan.[2] Bahkan
seorang sejarawan agama terkemuka al-Syahrastani mengungkapkan “Tidak pernah
ada persoalan yang lebih berdarah kecuali tentang kekhalifahan”.[3]
Masa
pemerintahan Abu Bakar, Umar, Ustman dan selanjutnya Ali bin Abi Thalib menyimpan
persoalan yang bahkan menuai beban psikis bagi umat Islam. Hal ini dikarenakan,
dalam proses peralihan kekuasaan di antara mereka diiringi berbagai intrik,
bahkan mengarah pada situasi yang berdarah-darah, sekalipun tidak secara
langsung. Mengutip pendapat Mahmud Ismail dalam bukunya al-Islam al-Siyasi,
bahwa tradisi hukum dan politik yang dibangun era Khulafa’ al-Rasyidin[4] selalu
mengalami perbedaan sebab sesuai dengan karakternya bahwa politik adalah
persoalan dunia. Dan dunia senantiasa mengarah pada titik perubahan.[5] Perubahan ini sesuai dengan kondisi,
situasi dan pemegang kekuasaan.
Pada saat Ali bi Abi Thalib memimpin
menjadi khalifah[6] menggantikan Utsman[7], ia mendapatkan tantangan dari para
pemuka yang ingin juga menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubair[8] dari Mekkah yang mendapatkan dorongan
dari Aisyah[9]. Tantangan
mereka dipatahkan oleh Ali dalam perang yang terjadi di Irak tahun 656 H.
Talhah dan Zubair terbunuh dalam pertempuran tersebut dan Aisyah dikirim
kembali ke Mekkah.[10]
Tidak berhenti
di situ saja, datang lagi dari Muawiyah, Gubernur Damaskus pada saat itu dan
keluarga dekat dengan Ustman. Sebagaimana Talhah dan Zubair yang tidak mau
mengakui Ali sebagai khalifah dan menuduh Ali turut andil dalam pembunuhan
Utsman. Perang pun terjadi, perang itu disebut Perang Siffin, tentara Ali dapat
mendesak tentara Muawwiyah. Namun tangan kanan Muawwiyah, Amr Ibn Ash yang
terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas.
Kelompok yang ada di pihak Ali, mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan
dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase (Tahkim). Sebagai
perantara diangkatlah orang-orang kepercayaan yakni: Amr bin Ash dari pihak
Muawwiyah dan Abu Musa al Asy’ary dari pihak Ali.[11]
Dari dinamika
tersebut lah awal muncul dari konflik politik besar dalam Islam yang
menyebabkan terjadinya berbagai sekte-sekte, termasuk juga aliran-aliran
teologi Islam berikut konsep teologisnya. Aliran-aliran tersebut seperti
Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan Jabariyah. Di samping itu juga ada Sunni dan
Syi’ah.
Aliran Syi’ah percaya
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad. Berbeda
dengan Sunni yang mengakui Abu Bakar sebagai penerus Nabi. Perbedaan antara
keduanya menjadikan perbedaan pandangan dalam penafsiran Al-Qur’an mengenai
sahabat dan hal-hal lainnya.
Di sisi yang
lain, aliran Khawarij muncul sebagai akibat dari reaksi kekacauan politik yang
terjadi pada penyelesaian perang Siffin (tahkim) pada masa Ali dan
Mu’awiyah. Aliran Murji’ah muncul dilandasi oleh sikap apatis terhadap
kekacauan politik saat itu dan selanjutnya mereka menyerahkan penyelesaian
persoalan tersebut pada Tuhan, bahkan dalam pandangannya, persoalan kedamaian
dan kebahagiaan lebih bersifat theosentris dan keakhiratan bukan persoalan yang
bersifat keduniaan.
Aliran Qadariyah
yang menekankan pada kemandirian manusia dalam bertindak muncul karena melihat
masyarakat yang fatalistik dalam merespon kekacauan politik sehingga terjadi
saling membunuh diantara orang Islam sendiri. Sebaliknya Aliran Jabariyah yang
berpandangan bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan muncul akibat
dari konsep kemandirian, kebebasan dan kemerdekaan manusia yang terlalu luas
sehingga menghilangkan peran Allah dalam perbuatan manusia. Dan kemudian lahir
lah banyak lagi aliran-aliran seperti Mu’tazilah, Zaidiyah, Ismailiyah dan
sebagainya.
Dinamika Politisasi Agama; Memisahkan Politik dan Agama Demi Perdamaian Bersama: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3 dan Bagian 4.
Dinamika Politisasi Agama; Memisahkan Politik dan Agama Demi Perdamaian Bersama: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3 dan Bagian 4.
[1] Opisisi biner yang dimaksud adalah para pemikir
–sekaligus partisannya– yang selalu berada dalam kondisi saling bertabrakan
sesuai dengan kerangka gerak dalam memahami dialektika Islam dan Politik. Di
satu pihak ada kelompok yang kuat menggunakan rasio dan di pihak yang berbeda
berjuga ada kelompok yang kuat melihat dari perspektif keimanan, meskipun juga
diakui Gellner saat ini posisi tersebut semakin melebar bukan sekedar dua
kelompok tapi telah beragam, lihat Ernest Gellner, Menolak Posmodernisme; Antara
Fundamentalisme Rasional dan Fundamentalisme Religius, Terj. Hendro
Prasetyo dkk, Bandung: Mizan, 1994, hal. 11.
[2] Polarisasi ini tidak saja terjadi dalam konteks
kekuasaan politik, tapi juga mengarah pada polarisasi pemahaman keagamaan
hingga, misalnya dalam konteks teologi, muncul aliran Mu’tazilah, Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah, Khawarij dan lain-lain. Atas alasan ini, maka tidak salah
kemudian Muhammad Abu Zahro mengatakan Bahwa “Thabi’ah
al-Siyasah al-Islamiyyah Dzatu Shila bi al-Din” (karakter politik Islam senantiasa bersambung
dengan agama). lihat, Muhammad Abu Zahro, Tarikh
al-Madzahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqidah wa Tarikh al-Madzahib
al-Fiqhiyyah (Kairo:
Dar al-Fikr, Tth), 31.
[3]
Lihat Philips K. Hitti, History of The Arabs, R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi (pernerjemah), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal.
174, lihat pula Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Cureton ed.,
London 1842-1846, hal. 12.
[4]
Dalam buku History of The Arabs disebutkan bahwa merupakan pandangan keliru
yang menyatakan bahwa kehalifahan semata-mata merupakan institusi keagamaan,
dengan kata lain ini adalah lembaga politik, selengkpanya lihat Philips K.
Hitti, Op.Cit. hal. 230.
[5] Lebih lengkapnya lihat
lihat Mahmud Ismail, Islam al-Siyasi al-Ushuliyyin
wa al-‘Almaniyyin (Kuwait: Muassasah
al-Syira’ al-‘Arabi, 1993), 88-89.
[6] Khalifah
bagi Philip K. Hitti merupakan lembaga politik ada golongan yang tidak menerima
adanya konsep khalifah seperti golongan syiah yang tidak punya konsep khalifah
yang mereka kenal adalah konsep imamah. Selengkapnya Philip K. Hitti, Op.
Cit. hal. 231.
[7]
Dengan adanya tuduhan nepotisme akhirnya perasan tidak puas yang muncul akibat
sistem administrasinya yantidak populer dimotori oleh tiga tokoh Qurasy
kandidat khalifah yaitu itu dimotori oleh Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan
Zubayr. Protes pendukung Ali merebak dan melakukan pembrontakan mengepung rumah
Utsman, pada saat itulah seorang khalifah pertama yang dibunuh oleh orang
muslim. Lihat Philip K. Hitti, Op. Cit. hal. 220.
[8] Mereka
berdua adalah saingan dekat Ali setelah kursi kekhalifahan ditinggalkan oleh
Utsman.
[9]
Ini juga dikarenakan Aisyah membenci Ali, sebab Ali pernah melukai
kehormatannya, kerana suatu ketika saat ia tertinggal sendirian di belakang
barisan rombongan Nabi Muhammad, Ali mencurigainay telah berbuat mesum,
sehingga Allah turun tangan dan membelanya melalui sebuah wahyu (QS. 24: 11-20.
Philip K. Hitti, Op. Cit. hal. 224.
[10]
Selengkpanya lihat Philip K. Hitti, Op. Cit. hal. 222-224.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar