Berangkat dari
munculnya aliran-aliran tersebut, tidak mengherankan apabila di Indonesia tidak
lepas dari aliran-aliran yang mengatasnamakan umat Islam. Lebih-lebih ketika
runtuhnya orde baru yang menopang perkembangan gerakan-gerakan Islam yang
begitu signifikan. Kebebasan berekspresi menjadi momentum yang tepat untuk
dimanfaatkan oleh elite-elite politik[1] yang
menginginkan perubahan. Tetapi
bagi gerakan Islam juga ikut andil untuk memanfaatkan bangkit dari keterpurukan[2],
termasuk juga tumbuhnya organisasi Islam yang berhaluan radikal.[3]
Paralel dengan
tumbuhnya partai-partai politik Islam, sejumlah organisasi masyarakat keagamaan
Islam pun bermunculan. Diawali oleh Front Pembela Islam (FPI) yang berdiri di
Jakarta, kemudian disusul Gerakan Islam Reformasi (GARIS) di Cianjur 1998,
Tholiban di Tasikmalaya tahun 1999, Majelis Mujahidin Indonesia di Yogyakarta
tahun 2000, Forum Umat Islam di Jakarta tahun 2005, LP3Syi di Garut tahun 2005
dan Geram di Garut tahun 2010. Tidak hanya itu, organisasi Islam transnasional
pun juga berkibar, dengan munculnya Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah
(FKASWJ) yang kemudian melahirkan Laskar Jihad tahun 1999, Ikhwanul Muslimin
dan Hizbut Tahrir yang semakin menunjukkan tajinya.[4]
Kehadiran organisasi Islam ini menandai gerakan baru Islam di Indonesia yang
berbeda dengan organisasi-organisasi Islam yang lebih dahulu hadir, seperti
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, Jami’atul
Khaoir, dan sebagainya.
Selain
perubahan politik berimplikasi pada kebebasan berekspresi munculnya organisasi Islam,
ada faktor lain yang melatarbelakangi, seperti krisis ekonomi yang
berkepanjangan, ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan sebagainya.
Di samping itu, desain ekonomi-politik sekuler yang semakin mengglobal (baca:
barat) yang saat ini hadir dalam bentuk globalisasi. Bahkan ada persepsi hal tersebut sebagai
“ancaman dominasi barat”.[5] Di sisi
lain, ketidakseriusan pemerintah dalam menerapkan syariat Islam melahirkan
kecenderungan gerakan protes secara radikal,[6] yang
ditopang oleh cara pandang keagamaan yang skripturalistik.[7]
Dalam melakukan
aksinya mereka mempunyai agenda atau isu perjuangan yang diusung dalam
melakukan tindakan radikalisme. Setidaknya ada empat agenda perjuangan yang
merupakan penerjemahan dari doktrin-doktrin ajaran mereka, yaitu 1) penegakan
syariat Islam, 2) pemberantasan maksiat, 3) pemberantasan aliran yang dianggap
sesat dan 4) anti pemurtadan.[8]
Dalam hal ini,
mengambil rujukan dari al-Qur’an maupun hadits, diantaranya surat al-Baqarah
ayat 120 yang berbunyi: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: sesungguhnya
petunjuk Allah itu lah petunjuk (yang benar) dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pelindung dan penolong bagimu”. Ayat ini lah
yang populer dan sering didakwahkan oleh kalangan Islam garis keras. Mereka
semakin yakin dengan munculnya kasus-kasus kristenisasi, akhirnya terjadilah
kemurtadan.[9]
Semangat ini
juga muncul dari beberapa hadits Nabi, diantaranya hadits yang berbunyi:
“Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran maka harus memperbaiki dengan
tangan, seandainya ia tidak mampu maka ia harus mengubahnya dengan lisannya,
apabila tidak mampu maka ia harus mengubahnya dengan hatinya dan cara ini
merupakan selemah-lemahnya iman.” Dengan tangan inilah yang kemudian timbul
sebuah tindakan kekerasan.
Bermodalkan
cara tafsir yang bersifat literal terhadap al-Qur’an dan hadits, kalangan
radikalisme secara tegas memposisikan cita-cita perjuangannya untuk
menggantikan total sistem yang dipandang gagal dengan sebuah sistem kenegaraan
dan kemasyarakatan, yang menurut mereka lebih Islami. Bagi mereka, Islam tidak
hanya agama yang mengajarkan ritual dan kesalehan pribadi. Pada titik inilah
yang secara tidak sadar mereka tidak membedakan antara agama dan kekuasaan
politik. Mereka justru bertumpu pada upaya menyatukan politik dengan agama.[10]
Penyatuan politik dan agama inilah yang menjadikan agama –dalam konteks ini
adalah agama Islam- yang seakan menjadi pemicu timbulnya kekerasan.
Disadari atau
tidak, penyatuan politik dan agama atau lebih sering disebut politisasi[11] agama[12]
merupakan fenomena yang seringkali muncul di dalam suatu tatanan masyarakat.
Fenomena ini terjadi ketika ada keinginan untuk menguasai orang lain dan mendapatkan kekuasaan tersebut
dengan melakukan berbagai
cara tanpa memandang norma dan etika yang ada. Ironisnya dalam melakukan
tindakan, mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
Faktor politik
merupakan faktor strategis bagi aktornya untuk menguasai yang lain di luar diri
dan kelompoknya. Fenomena antara yang berkuasa dengan yang dikuasai telah
menjadi isu penting dalam teori politik. Begitu juga dalam hal politisasi
agama, di mana yang berkuasa dengan berbagai indikator dan sarana pendukungnya
dapat melakukan kepentingan, baik dengan cara represif maupun terselubung.
Sehingga masyarakat yang semestinya mendapatkan atas manfaat, justru acap kali
“dikorbankan” atas nama agama demi kepentingan para politisi, sehingga dalam hal
ini sarat dengan muatan-muatan politik.[13]
Padahal tidak
demikian, semua agama mengajarkan kepada penganutnya dalam melakukan berbagai
hal sesama manusia dengan nilai-nilai manusiawi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan agama adalah “Sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.”
Dalam konteks berinteraksi
sesama makhluk Peter L. Berger mengatakan bahwa ia harus memberanikan diri untuk membayangkan adanya keseluruhan semesta
sebagai nilai manusiawi.[14] Dengan
bermodalkan nilai-nilai manusiawi inilah diharapkan agama mampu membentuk
sebuah individu yang dapat menciptakan kedamaian dalam lingkungan hidupnya.
Hal yang
terjadi kemudian, nilai-nilai manusiawi yang ditawarkan oleh agama mulai pudar
ketika ditopang oleh kepentingan politik. Sehingga jalan keluarnya adalah
memisahkan antara agama dan politik untuk mengembalikan agama pembawa perdamaian. Posisi
demikian lah yang pilih oleh intelektual muslim Mesir, Mohammad Said
al-Asynawi, dalam bukunya Al-Islam As-Siyasi (1987) menyatakan bahwa
mencampuradukkan agama dan politik seperti yang terlihat di masa lalu hanya
melahirkan kegagalan dan kemunduran Islam itu sendiri. Bahkan ia mengkritik
terhadap para radikalisme yang mengatasnamakan syari’at Islam untuk pembenaran
aksi-aksinya hanyalah penonjolan diri dan keangkuhan yang justru mendistorsi Islam
itu sendiri. Dengan berani ia mengatakan: “Allah bermaksud menjadikan Islam
sebagai sebuah agama, tetapi orang-orang memahaminya bermakna politik.”[15]
Seorang penulis
dari Pakistan, Qamarudin Khan mengajukan pandangan kritis bahwa teori politik
kaum muslim tidak diambil dari al-Qur’an atau al-Hadits, tetapi dari realitas
keadaan dan kenyataan bahwa negara tidak perlu dipaksa “berwajah” Ilahiah.
Bahkan ia mengatakan: “Klaim bahwa Islam merupakan perpaduan antara agama dan
politik yang harmonis adalah sebuah slogan modern yang tak dapat ditemukan
dalam masa lalu Islam.”[16]
Pandangan
seperti itu tampaknya ada hubungannya dengan pandangan seorang guru besar di
Universitas al-Azhar, Mesir, yang menyatakan bahwa kekuasaan agama dan
administrasi Nabi terpisah. Pemerintahan Muhammad atas komunitas Madinah bukan
lah bagian dari misi kenabiannya dan para para khalifah penggantinya hanyalah
meneruskan kekuasaan temporalnya.[17]
Dengan bahasa yang lebih jelas, Djohan Effendy
memposisikan agama hanyalah urusan keluarga atau individu, bukan urusan publik
dan sama sekali tidak perlu diurus oleh negara. Agama sebagai inspirator
sekaligus peneguh bagi setiap pemeluknya untuk memikirkan dan memberlakukan
segala kegiatan hidup bermasyarakat atas dasar basic human rights dan basic
human needs.[18]
Karenanya umat beragama dan pemimpin agama harus memiliki pengetahuan yang
empiris tentang realitas kehidupan masyarakat dan sedapat mungkin memahami
makna agama dan beragama dalam realitas. Agama perlu dijadikan dasar untuk
merumuskan dan memberlakukan praktik basic human rights dan basic human needs yang senyata-nyatanya, tidak sebagai dogma, doktrin atau simbol dan
alat penguat yang berkaitan dengan berbagai kepentingan sesaat dan karena itu
mudah disatukan dengan kekerasan.
Sedangkan tugas Negara, menurut Djohan melindungi, memberikan rasa
aman, memberikan pelayanan kepada setiap warganya untuk menjalankan setiap
bentuk praktek keagamaan dan keyakinan mereka, terutama agama dan keyakinan
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, kemanusiaan dan lebih luas lagi
nilai-nilai kehidupan tanpa ada kekerasan.[19]
Dinamika Politisasi Agama;
Memisahkan Politik dan Agama Demi Perdamaian Bersama: Bagian 1, Bagian 2,
Bagian 3 dan Bagian 4.
[1] Setelah orde baru demokrasi menjadi tumbuh dan
berkembang dengan ditandainya bermunculan partai-partai politik dengan berbagai
aliran, setidaknya pada tahun 1999 ada 48 partai yang ikut bersaing. Jumlah ini
tidak sedikit dibanding pada zaman orde baru yang hanya 3 partai yaitu Golkar,
PDI dan PPP, lihat Lance Catle dan Herberth Faith, Pemikiran Politik
Indonesia (1945-1965), Jakarta: LP3ES, hal. iv. Selain itu juga tercatat 11
partai Islam yang ikut bersaing pada saat itu seperti PBB (Partai Bulan
Bintang), PK (Partai Keadilan), PKU (Partai Kebangkitan Umat), PNU (Partai
Nahdlatul Ummat), PUI (Partai Umat Islam), Partai Masyumi Baru, PSII, PSII
1905, Masyumi, PP (Partai Persatuan) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan),
lihat Ismail Hasani & Bonar Tigor Naipospos ed., Wajah Para “Pembela” Islam,
Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2010, hal.29.
[2] Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas
Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002, hal. 181.
[5]
M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan
Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES, hal. 24.
[6] Radikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah amat
keras menuntut perubahan, sedangkan aliran yangg menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Radikal ini
bisa berupa kekerasan fisik dan juga kekerasan berbentuk simbolik atau wacana,
lihat Ismail Hasani & Bonar Tigor Naipospos ed., Op.
Cit. hal. 25-26. Sedangkan kekerasan bagi Jack D.
Douglas dan Frances C. Waksler membagi menjadi jenis kekerasan yang terjadi di
masyarakat dibedakan menjadi empat jenis, 1) kekerasan terbuka, kekerasan yang
terlihat seperti perkelahian, 2) kekerasan tertutup, seperti mengancam, 3)
kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk protektif tetapi untuk
mendapatkan sesuatu dan 4) kekerasan depresif, kekerasan hanya untuk melindungi
diri, lihat Jack D. Douglas dan Frances C. Waksler, “Kekerasan” dalam Thomas
Santoso (edit.), Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia,
2002, hal. 11.
[8]
Selengkpanya lihat Ibid. hal. 117-124.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
hal. 16.
[11]
Politisasi berarti pendidikan dan penerapan kesadaran politik; pembangunan
politik; hal menerapi dengan metode politik. Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al
Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola t.t., hal. 609. Sedangkan
dalam pengertian lain disebutkan bahwa
politisasi berarti hal yang membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dsb) bersifat
politis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hal. 887. Lebih dalam lagi Abdul
Qadir Shaleh mengartikan politisasi ini tidak hany terpaku pada satu aspek saja
namun mencakup segala aspek kehidupan yang dapat dijadikan obyek politik unutk
dimanipulasi dan rekayasa sedemikian rupa demi kepentingan pelaku. Abdul Qadir
Shaleh, “Agama” Kekerasan, Jogjakarta: 2003, hal. 39.
[12]
Dalam masyarakat indonesia selain dari kata agama, dikenal kata din,
dari bahasa Arab dan kata religi dari kata Eropa. Agama berasal dari
kata Sanskrit, ada satu berpendapat bahwa kata tersebut tersusun dari dua kata
yaitu a = tidak dan gama = pergi, jadi tidak pergi tetap di
tempat, diwarisi turun temurun. Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang
atau hukum, dalam bahasa Arab mengandung arti menguasai menundukkan, patuh,
hutang, balasan, kebiasaan. Untuk uraian lebih lanjut bisa lihat harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1985,
hal. 9. Sedangkan dalam kamus barat, istilah agama atau religion hanya
menyangkut hubungan manusia dengan tuhan dan tidak berhubungan dengan seluruh
aspek kehidupan manusia. Pandangan seperti
inilah yang kemudian melahirkan negara sekuler berbeda dengan agama
dalam ajaran Islam. selengkapnya untuk uraian tersebut hal ini bisa dilihat di
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta:
gema Insani Press, 1996, hal. 33.
[13]
Lihal dalam “Kata Pengantar Penerbit”, dalam Th. Sumartana, dkk (edi.), Agama
dan Negara Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan,
Yohyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2002, hal. vi.
[14]
Peter L. Berger, Langit Suci; Agama Sebagai Realitas Sosial, buku asli
“The Sacred Canopy”, Hartono (Penerjemah), Jakarta: LP3ES, 1991, hal. 35.
[15]
Bisri Effendy, Tak Membela Tuhan Yang Membela Tuhan, kata pengantar
dalam Abdurahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Cet. V, Yogyakarta:
Lkis, 2010, hal. xxi.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[19] Ibid. sebagaimana yang tergambar dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 yang telah mengatur hak dan kewajiban warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar