Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Dinamika Politisasi Agama; Memisahkan Politik dan Agama Demi Perdamaian Bersama (Bagian 4)

Ada anggapan yang menyatakan bahwa teologi Islam merupakan konsep yang baku dan besifat normatif. Namun yang perlu dipahami bahwa teologi  juga sebagai ilmu teologi Islam yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Ia bersifat non dogmatik dan merespon persoalan yang realistis dan dihadapi oleh umat pada masa itu. Berkembangnya aliran teologi seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan sebagainya merupakan bukti dari perkembangan serta dinamika teologi Islam dalam merespon persoalan umat pada saat itu. Akhirnya bermunculan doktrin pengkafiran dan penghalalan pembunuhan terhadap lawan politik. Sehingga umat Islam terseret pada paradigma yang dapat memicu kekerasan, bahkan terjerumus pada legalisasi pembunuhan atas nama Tuhan dan merubah wajah Islam menjadi ganas.
Dalam perspektif ilmu keIslaman, ajaran yang bersifat qath’i (pasti) adalah ajaran tauhid yang menyangkut enam pokok keyakinan: Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-Kitab, Rasul Allah, Hari akhir dan Qadha’ dan Qodar Allah. Persoalan prinsip inilah yang disebut sebagai aqidah Islamiyah yang berfisat pasti dan tidak dapat dipungkiri lagi.[1] Dalam catatan sejarah perkembangan pemikiran Islam, teologi Islam (ilmu kalam) semula disebut al-fiqh yang berarti al-fahmu (paham, memahami). Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi’i keduanya menyebut karyanya yang berkaitan dengan teologi dengan nama Al-fiqh al-Akbar, karena objek yang dibicarakan dalam ilmu tersebut adalah Allah yang Akbar. Sebaliknya ketika kedua tokoh tersebut menyebut kitab fikih yang membicarakan tentang ibadah disebut sebagai al-Fiqh al-Ashghar.[2]
Ini berarti ilmu teologi Islam bukanlah ilmu yang statis, dogmatik, tidak berkaitan dengan persoalan masyarakat, akan tetapi justru sebaliknya bahwa teologi Islam adalah ilmu yang dinamis, progresif, serta berusaha menjawab persoalan–persoalan yang dihadapi oleh kaum muslimin saat itu. Karenanya membicarakan teologi Islam dalam konteks kedamaian bukanlah sesuatu yang tabu dan mengada ada.
Suatu hal yang kontradiktif apabila perdamaian dipahami sebagai “doktrin langit” yang hanya dimiliki Tuhan belaka. Tuhan disebut sebagai Pencipta kedamaian, sedangkan manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk berperang dan bermusuhan. Ironisnya, berperang atau berjihad dianggap sebagai perintah Tuhan yang paling otentik untuk menyelesaikan problem kemanusiaan. Berangkat dari hal tersebut, maka sekaan Kontradiktif. Di satu sisi Tuhan disimbolisasikan sebagai pembawa kedamaian, tetapi di sisi lain, Tuhan juga mengajarkan pada peperangan.[3]
Disadari atau tidak, sekarang ini umat Islam mengalami krisis paradigmatik. Sejarah Islam dianggap sebagai sejarah perang hal demikian bisa diperhatikan dengan adanya buku-buku tentang sirah Nabi Muhammad yang diajarkan di belahan dunia muslim, terutama di pesantren dan lain-lain, sebagian besar adalah buku yang menjelaskan tentang sejarah perang Nabi Muhammad. Sedangkan interaksi Nabi Muhammad dengan masyarakat non-muslim pada saat itu kurang mendapatkan perhatian. Kenyataan secara tidak langsung membangun teologis bagi masyarakat sehingga agama sebagai perang.
Selain itu juga, dengan adanya paradigma bahwa doktrin tentang perdamaian dianggap doktrin ke-akhirat-an. Konsepsi dar al-salam (tempat kedamaian) dikonotasikan pada surga, sedangkan dunia dianggap permainan dan kesenangan belaka yang selalu berakhir dengan krisis kemanusiaan, krisis moral dan kritis etika. Dunia dianggap sebagai tempat noda dan dosa. Tentu saja, doktrin semacam ini mendorong pemahaman tentang perdamaian sebagai sebuah impian belaka kalau perang dianggap sebagai solusi untuk menciptakan perdamaian.
Apabila ingin membangun perdamaian dalam perbedaan, paradigma yang demikian harus dirubah. Sebagaimana misi agama sebagai pembawa perdamaian, bukan peperangan. Secara normatif, ajakan untuk meng-Esa-kan Allah sebagai satu-satunya Tuhan (Tauhid) berimplikasi bahwa manusia dan alam seisinya memiliki kesamaan yaitu sama-sama sebagai ciptaan Allah. Disamping itu ajaran  hidup berdamai tidak dapat dipisahkan dari keimanan dan keIslaman itu sendiri. Sebab lafadz iman yang berarti meyakini secara kebahasaan memiliki hubungan yang erat dengan lafadz amanah yang berarti amanat serta lafadz aman yang berarti damai (aman sentosa). Kata Islam juga tidak dapat dipisahkan dengan lafadz salam yang berarti selamat dari hal-hal yang segala  bahaya yang juga menjadi unsur perdamaian. Perintah memulai sesuatu dengan membaca bismillah al-rahman al-rahim (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) terkandung tujuan supaya seorang dalam melakukan aktifitasnya harus dilakukan atas dasar kasih sayang bukan kemarahan dan emosional.
Konsep perang yang sering menjadi justifikasi perilaku kekerasan, anarkis, brutal dan bahkan pembunuhan hanya diperbolehkan dalam rangka mempertahankan kehormatan Islam dan orang Islam. Dalam catatan sejarah Nabi Muhammad, beliau mengangkat senjata setelah Madinah mendapat serangan dari orang Yahudi dan kafir Quraisy Makkah.[4] Selain itu juga, Nabi berjuang untuk menciptakan keamanan dan kedamaian bagi seluruh penduduk Madinah tanpa melihat perbedaan suku, bangsa dan agama. Karena itulah Piagam Madinah ini menjamin hak semua kelompok sosial dengan prinsip kesetaraan dalam masalah kesejahteraan umum, sosial dan politik.[5]
Peristiwa besar yang tidak bisa kita lupakan adalah ketika Nabi di Arafah pada haji wadha’ (haji perpisahan), berkhutbah bahwa sesungguhnya darah kalian dan  harta kalian adalah terhormat sebagaimana terhormatnya hari kalian ini, pada bulan muliamu ini di negaramu yang mulia ini. Dan ingatlah bahwa tradisi jahiliyah sudah tidak berlaku lagi, tuntutan balas yang  ada dalam masyarakat jahiliyah juga tidak berlaku (harus berhenti), begitu pula riba juga harus berhenti.[6]
Berangkat dari landasan normatif, maka untuk membangun paradigma perdamaian sebagai Teologi Islam sudah menjadi keharusan bersama. Dengan Teologi Islam yang dapat menjadi driving force bagi terwujudnya perdamaian dapat diwujudkan dengan cara mengedepankan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Misi agama bukanlah kekerasan, namun perdamaian. Ketika ada yang melakukan tindak kekerasan mengatasnamakan agama atau bahkan Allah, maka sesungguhnya bukan karena itu ia melakukan. Sebab agama mengajak manusia untuk membumikan nilai-nilai manusiawi dan juga Allah tidak perlu dibela karena Allah Maha Besar.
Menarik untuk direnungkan bersama, yaitu tanggapan Al-Hujwiri terhadap para pelaku yang melakukan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama atau Allah. Ia mengatakan ”Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir, Allah tidak perlu disesali kalau Dia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya, yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.”[7]


Dinamika Politisasi Agama; Memisahkan Politik dan Agama Demi Perdamaian Bersama: Bagian1, Bagian 2, Bagian 3 dan Bagian 4.



[1] Abdul Muhaya, “Teologi Islam dalam Konteks Kedamaain”, artikel yang diambil pada tanggal 19 Februari 2013 dari www.rasail.wordpress.com.
[2] Ibid.
[3] Zuhairi Misrawi, “Menggagas Teologi Perdamaian”, artikel ini diakses pada tanggal 19 Februari 2013 dari www.Islamlib.com.
[4] Abdul Muhaya, Loc. Cit.
[5] J. Sayuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, Jakarta: Raja Grafindo, 1996, hal. 32.
[6] Said bin Abd al-Qadir. Al-Mughni Fi Fiqh al-Hajj  wa al-Umrah. Dar Ibn Hazm. Libanon, 2002, 315.
[7] Abdurrahman Wahisd, Op. Cit. hal. 67.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini