Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Membumikan Sikap Toleran dalam Beragama Islam

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya” (UUD 1945 28E).
Pedoman yang terdapat pada UUD itulah yang mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk bersikap toleran. Hal ini sangat diperlukan mengingat sifat masyarakat Nusantara, sebagaimana kita ketahui, kental dengan ciri yang bersifat plural (bineka). Ciri plural yang demikianlah yang juga merupakan argumen atas ciri Islam Indonesia. Sehingga dengan ciri itu sejak lama telah muncul prediksi bahwa kebangkitan peradaban Islam pada masa modern akan terbit dari Indonesia. Misalnya Zuhairi Misrawi dalam bukunya Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme dan Oase Perdamaian, pernah menggambarkan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran sehingga coral Islam Indonesia mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan ciri Islam secara global dan apalagi ciri Islam ala negara-negara Timur Tengah.
Namun prediksi hanyalah sebuah perkiraan, kadang tepat dan kadang kurang tepat bahkan terkadang tidak tepat. Gambaran Islam Indonesia yang semacam itu sedikit atau banyak telah banyak berubah sejak awal milenium, tepatnya sejak runtuhnya orde baru yang melahirkan kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan yang bercorak fundamentalisme, bahkan yang berhaluan radikal turut berkembang.
Perubahan tersebut ditengarai dengan gejala radikalisasi doktrin Islam yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan, termasuknya di dalamnya adalah terorisme. Bahkan, sasarannya kini bukan hanya ditujukan kepada kelompok agama-agama yang berbeda, melainkan juga ditujukan kepada kelompok muslim sendiri, khususnya Jamaah Ahmadiyah, Syi’ah, Kelompok Salafi di Lombok dan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL).
Fenomena Islam yang toleran menjadi rusak sehingga tesis Huntington dalam The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, mengenai “benturan peradaban” -bukan hanya antara Dunia Islam dan Dunia Barat, melainkan juga terjadi dalam ruang lingkup nasional dan intern agama itu sendiri- menjadi terbukti.
Secara tekstual, jujur dalam al-Qur’an cukup menyediakan argumen, baik kepada mereka yang menilai Islam itu humanis maupun kepada mereka yang memakainya untuk bermaksud ekstremis. Dalam kajian Zuhairi Misrawi, dia mengemukakan bahwa memang ada sejumlah 176 ayat al-Qur’an yang dapat ditafsirkan sebagai pendorong intoleransi, namun ayat al-Qur’an yang mengajarkan toleransi secara kuantitatif lebih banyak yaitu sejumlah 300 ayat. Masih menurut Misrawi, memang ayat-ayat yang secara permukaan tampak “kontradiktif”, seturut dengan situasi dan kondisi ayat-ayat tersebut diturunkan.
Kajian toleransi sudah menjadi wacana yang tidak asing lagi para cendikiawan terdahulu. Dalam sejarah filsafat Yunani, toleran sudah menjadi perbincangan yang menggelitik. Salah satunya Socrates yang pernah menawarkan ide toleransinya. Ia mengatakan bahwa “satu-satunya hal yang dia tahu adalah bahwa dia tidak tahu apa-apa”. Hal ini merupakan sebuah kritik-diri untuk membangun kesadaran rendah hati atas keterbatasan manusia, sehingga manusia dituntut untuk bertoleransi dengan sesama.
Wacana toleransi dan intoleransi telah berkembang dalam kebudayaan Barat maupun Islam. Toleransi bukan hanya pengalaman Barat pasca reformasi, tetapi juga dalam tradisi Islam klasik, modern dan kontemporer. Dalam konteks wacana Islam kontemporer, toleransi dan intoleransi menjadi perhatian dari tersendiri bagi para pemikir seperti Mohammed Arkoun, Adeb Al-Jabri, Gamal al-Banna, Hassan Hanafi, Muhammad Sharour, Yusuf a-Qaradawi, Abdurrahman Wahid, Fethullah Gulen, Ahmad Juhayni, Muhammad Mustafa, Ragap El-Banna dan Abd al-Basit bin Yusuf al-Gharib.
Iman Terbuka dan Iman Tertutup
Pada dasarnya, iman dapat membuat mendekatkan manusia lebih dekat dengan Tuhan. Namun Iman yang tertutup acap membuat manusia sombong dan lupa diri dengan mengaku sebagai pemilik kebenaran mutlak dan tunggal. Iman yang tertutup sering sekali mendorong komunitas eksklusif menegasikan komunitas yang tidak seagama dan sepaham dengannya. Bahkan, iman yang tertutup tidak jarang menghalalkan pemberangusan terhadap perbedaan dan keanekaragaman.
Iman dapat menjadi manusia sadar bahwa manusia pada dasarnya setara dan titik pembedanya hanya terletak pada taqwanya. Tetapi iman yang tertutup senantiasa mengelompokkan umat manusia, di mana yang satu berada di sini dan yang lain berada di sana, kita di surga dan mereka di neraka.
Mohammad Arkoun menyebut iman yang tertutup dengan istilah al-‘aql al-dughma’i al-mughallaq, sebuah nalar yang dogmatis dan terkunci. Pemeluk agama dogmatis tidak bisa menerima pemikiran kelompok lain atas tuduhan sesat, dengan alasan tidak seiman dan sepaham. Menurut Arkoun, keimanan yang tertutup dan terkunci harus dilepaskan dari borgol-borgol ideologi (deideologisasi agama), yakni sebuah upaya membedakan antara agama autentik dengan pemikiran agama yang teradikalisasi. Agama autentik adalah agama yang terbuka dan toleran, sedangkan pemikiran agama yang teradikalisasi adalah agama yang terideologisasi dengan ditafsirkan secara reduktif, subjektif dan manipulatif sehingga menjadi intoleran.
Lebih luas lagi, Abed al-Jabri merekonstruksi konsep toleran yang lebih bersifat etis ketimbang ideologi-politis. Artinya toleransi tidak hanya terbatas dalam agama, namun diperluas dalam bidang politik, agar tidak hanya menentang intoleransi dalam bentuk radikalisme agama yang diakibatkan penerapan agama yang tekstual, tetapi juga hendak menentang intoleran dalam bentuk radikalisme politik. Toleran etis ini diharapkan meminimalkan hegemonik kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Toleran etis harus diwujudkan iman yang terbuka, yaitu iman yang dialogis-empatik (wajaadilhum billati hiya ahsan, QS. An-Nahl: 125) dan menghargai perbedaan keyakinan (lakum dinukum waliyadin, QS. Al-Kafirun: 6), sebab fenomena pluralisme agama dan aliran-alirannya merupakan fenomena kemanusiaan yang tidak dapat diingkari. Dengan demikian, tak pelak apabila Gamal al-Banna menganggap al-Qur’an sebagai kitab yang Agung yang mengafirmasi pluralisme agama.
Bahkan al-Qur’an melarang masing-masing kelompok agama mengklaim sebagai umat yang paling utama sembari merendahkan liyan (kelompok yang lain). Kelompok-kelompok agama tidak boleh mengaveling surga, karena surga dan neraka tidak berada di tangan mereka, klaim seperti ini sama saja telah merampas hak prerogatif Tuhan.
Ada anggapan bahwa keimanan yang terbuka sering disalahpahami sebagai keimanan yang rapuh dan semu. Namun Hassan Hanafi menolak anggapan tersebut. Keimanan yang terbuka tidak bertentangan dengan sikap mempertahankan identitas fundamental agama. Dari sinilah, Hanafi membedakan dua jenis fundamentalisme: positif dan negatif. Fundamentalisme positif (al-usuliyah al-ijabiyah) adalah semangat kembali kepada nilai-nilai autentik dan fundamental Islam tanpa menutup diri dari pembaharuan, keterbukaan dan pluralisme. Sedangkan Fundamentalisme negatif (al-usuliyah al-salbiyah) yang mengambil bentuk radikalisme agama, sebuah paham keagamaan yang kolot dan menghalalkan terorisme demi tujuan mempertahankan autentisitas dan identitas keislaman.
Teks-teka agama yang mula-mula menebarkan perdamaian direduksi sedemikian rupa, dengan alasan “ayat-ayat toleransi” telah dihapuskan oleh “ayat pedang” sehingga perang harus digalakkan hingga tiada kekafiran di muka bumi. Untuk keluar dari dilema yang dianggap kontradiktif ini, Muhammad Shahrour mengabaikan teori nasikh-mansukh yang dinilai rapuh dan problematik. Produk tafsir yang radikal ini, menurut Shahrour muncul dari sebuah pendekatan yang tekstual dan ahistoris terhadap teks-teks agama. Karena itu dibutuhkan reinterpretasi kontekstual, khususnya reinterpretasi konsep jihad dan konsep murtad.
Yusuf al-Qardawi menambahkan bahwa iman yang tertutup oleh fanatisme bermazhab (al-ta’asub al-madzhabi) merupakan salah satu dari berbagai pemicu radikalisme. Oleh karena itu dibutuhkan upaya-upaya dari agamawan agar mendorong terbukanya pintu ijtihad dan terbangunnya kesadaran inklusif sehingga perbedaan pendapat bisa disikapi secara toleran. Fanatisme dan taqlid buta, menurut al-Qardawi sejatinya bertentangan dengan spirit inklusif dan toleran yang ditunjukkan oleh Al-Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal.
Imam Syafi’i pernah tidak berdoa qunut pada saat shalat subuh ketika melakukan shalat di dekat makam Abu Hanifah dengan alasan menghormati Abu Hanifah yang tidak menganjurkan doa qunut. Malik bin Anas secara terbuka pernah berkata “Aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar, maka telitilah pendapatku, jika sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah maka ambillah, jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”. Bagitu juga Ahmad bin Hambal berkata “Janganlah kalian bertaqlid kepadaku, kepada Malik, Al-Syafi’i dan Al-Tsuri, tetapi belajarlah kalian seperti kami”.
Gus Dur Bapak Pluralisme Indonesia, sapaan akrab Abdurrahman Wahid, pernah mengajukan tesis bahwa pengalaman pribadi seseorang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Oleh karenanya, Gus Dur menganjurkan agar masing-masing menghormati keberagaman pengalaman itu dan toleran terhadap pemikiran orang lain. Dari sini lah Gus Dur merumuskan pola dalam memahami perbedaan dengan istilah “Islamku”, “Islam Anda” dan “Islam Kita”.
Tidak ketinggalan pula, ulama sufi dari Turki, Fethullah Gulen. Dengan melankolis, dia memandang bahwa para pelaku tindakan radikal akibat dari kehilangan cinta dan kasih sayang dalam hati mereka. Maka dari itu, Gulen mengajak agar memeluk agama Islam dengan cinta dan iman yang terbuka sebagaimana yang telah diajarkan oleh Jalaluddin al-Rumi. Menurut Gulen, agama dan iman yang terbuka adalah mawar di dalam hati manusia yang tidak pernah layu. Hubungan terkuat antara individu-individu yang membentuk keluarga, masyarakat dan bangsa adalah cinta. Sebaliknya keluarga, masyarakat dang bangsa hancur apabila tanpa cinta.
Iman yang tertutup pun menghasilkan produk fiqih yang eksklusif, sebaliknya iman yang terbuka menghasilkan fiqih inklusif. Ahmad Juhayni dan Muhammad Mustafa melakukan kajian terhadap produk fiqih ini dan mendekonstruksi fiqih eksklusif yang dinilai sangat diskriminasi dan intoleran terhadap liyan. Dua sarjana Al-Azhar ini membedakan antara agama autentik dengan agama deideologisasi. Agama autentik mengajarkan keramahan sedangkan agama ideologis mengajarkan kebencian dan permusuhan. Islam bukan al-Qaeda atau Taliban, Kristen bukan Crusaders dan Yahudi bukan Zionis.
Ada perbedaan antara agama dan pemeluknya. Islam, Kristen dan Yahudi sejatinya mengajarkan keramahan tetapi pemeluk Islam ada yang membela al-Qaeda, pemeluk kristen ada yang menjadi Crusader dan sebagian Yahudi adalah Zionis. Maka mereka berdua menganjurkan untuk memahami agama autentik secara mendalam.
Agama autentik menganjurkan dan melarang permusuhan, anjuran ini tidak hanya dalam konteks antar agama, tetapi juga antar aliran. Berangkat dari semangat ini Ragab al-Banna mendedikasikan sebuah karya untuk membangun jembatan dialog antara Sunni dan Syiah. Begitu juga yang dilakukan Abd al-Basit bin Yusuf al-Gharib yang membangun jembatan antara Wahabi dan non-Wahabi.
Buku hasil jerih payah tangan Irwan Masduqi -alumnus Universitas al-Azhar, Mesir, Jurusan Tafsir- menawarkan toleransi Islam menurut perspektif sederet pemikir Islam kontemporer tersebut karena ide-ide toleran mereka patut diapresiasi dan diwacanakan di Indonesia sebagai basis teologi kerukunan antar umat agama.
Dalam buku ini tidak hanya dari tokoh dari cendekiwan Islam kontemporer, tetapi juga dari non-muslim yaitu John L. Esposito dan Yohanan Friedmann. Esposito merasa simpatik dan mengakui toleransi Islam. Tetapi Esposito menyadari al-Qur’an memang berpotensi dibajak oleh kalangan teroris, walau al-Qur’an dan hadis menganjurkan perdamaian.
Menurut Esposito Kalangan radikal memalingkan makna jihad yang sejatinya bersifat defensif menjadi agresif. Akhirnya dua tipologi tafsir ini muncul dan bukan merupakan hal yang baru dalam sejarah kebudayaan Islam. Berbeda Esposito yang mengakui toleran dalam Islam, Yohanan Friedmann tampaknya ragu karena dia menemukan elemen-elemen intoleran dalam al-Qur’an, Hadits dan dalam tradisi pemikiran Islam.
Namun penulis buku ini mengajak pembaca untuk mengkritik pemikiran Friedmann tersebut. Penulis berkesimpulan bahwa kajian yang dilakukan Friedmann sangat bias dan subjektif, di mana dia berupaya menampilkan aspek-aspek negatif dan intoleran dalam tradisi Islam, meskipun dengan cara-cara yang tidak jujur dalam mengutip data.
Selain tokoh-tokoh tersebut, dalam buku ini juga mengajak pembaca untuk mengkritisi pemikiran Sayyid Qutb yang kini memunculkan ideologi gerakan radikal transnasional. Kritisisme ini sangat diperlukan agar generasi muslim tidak mudah terjebak dalam doktrin-doktrin kaku yang mudah mengkafirkan dan menyalahkan yang lain, di mana hal tersebut berpotensi memicu tindakan kerusuhan, kekerasan dan bahkan terorisme.
Dengan demikian, setiap individu harus membangun dan menanamkan karakter yang berpikiran dewasa dan matang sehingga mampu menghargai perbedaan yang merupakan fitrah manusia. Menanggapi perbedaan tidak perlu didekati dengan permusuhan tetapi dicari kekuatan untuk membangun dan memperkaya konsolidasi bersama.
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya umat manusia akan dijadikan-Nya satu saja, tetapi Allah hendak menguji umat manusia terhadap pemberian-Nya, maka umat manusia diperintah berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan” (QS. Al-Ma’idah: 48).

Judul               : BerIslam Secara Toleran; Teologi Kerukunan Umat Beragama
Penulis            : Irwan Masduqi
Penerbit         : Mizan
Halaman         : xxxi + 310
ISBN                : 978-979-433-670-0
Cetakan          : November 2011

Peresensi       : Muhamad Zainal Mawahib
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini