“Duh kangen Na, Kita makan bakso dulu di tempat biasa yuk, sambil
ngobrol.” ajak Azka. Linda melirik jam di tangannya. Waktu masih
menunjukan jam setengah tiga. Masih ada
satu jam, cukup untuk menyiapkan masakan makan malam. Si bungsu juga masih
tertidur nyenyak dalam gendongannya. Tak apalah pikirnya.
Mereka duduk di dekat jendela. Azka memesan es campur untuk Agus.
Si bungsu tampak gembira dengan gelas yang dipegangnya. Sekilas Linda melirik
Azka, perempuan itu tampak masih seperti dahulu. Dulu mereka adalah rival
sekaligus rekan kerja sejati di kampus. Di kelas Mereka selalu susul-menyusul
dalam hal nilai. Di BEM kampus, Azka dan Linda bahu-membahu dalam
memperjuangkan idealisme, menjadi aktivis yang berjuang mengkritisi kebijakan
birokrat yang dinilai berat sebelah.
“Jadi wanita karir masih sempat
juga meluangkan waktunya untuk belanja bareng anak-anak nih?” Azka
membuka obrolan.
Senyumnya masih seperi dulu, terlihat lepas dan tanpa beban.
Linda hanya menggeleng dan berkata, “aku sudah bukan wanita karir
seperti dulu Az. Harus mengurus anak-anak. Siapa yang akan memperhatikan mereka
jika tidak aku sendiri?”
“Iya juga sih, keluarga tetap harus nomer satu ya lin? Hebat kau
masih Linda yang sepenuh hati,” Azka tampak sungguh-sungguh.
Namun entah mengapa, Linda merasa kalimat itu seperti meledeknya.
“Sekarang, ceritakan tentang kamu Az” Linda cepat-cepat menghapus
pikiran buruknya.
“Anakku sudah dua, Lin, yang pertama sudah 5 tahun dan yang
bungsu masih dua tahun, ini fotonya.”
Jawab Azka sambil menunjukkan sebuah foto.
“Ditinggal di rumah Az?” tanya Linda.
“Iya, ada ibu yang membantu merawat. Si bungsu lagi tertidur, jadi
ku tinggal belanja sebentar, sekalian refresing” jawab Azka sambil tersenyum.
Satu jam telah berlalu. Linda pun mohon pamit, karena ia harus
segera pulang. Membersihkan rumah, menyusui anaknya dn menyiapkan makan malam.
Jika Arul suaminya tidak lembur, biasanya pulang menjelang magrib.
Linda memasak sambil melamun. Ia teringat pertemuannya dengan Azka
tadi siang. Hidup Azka begitu sempurna di matanya. Hidup bercerita tentang
pertemuan singkatnya dengan suaminya, kelahiran anaknya. Salah satu hal yang
paling membuat Linda iri dengannya yang mendapat izin dari suaminya untuk tetap
beraktivitas dan menempuh S2, tuntutan
dari kantornya. Suami yang pengertian,
anak yang lucu, serta perjalanan karir
yang menantang.
Linda teringat dirinya dulu, sejak kecil ia selalu prestasi di sekolah, Linda tak pernah keluar
dari rangking 3 besar sejak SD hingga SMA. Di luar akademik Linda telah menyumbangkan beberapa
tropi dari berbagai lomba. Entah itu lomba menulis, melukis maupun pidato.
Linda yang supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Tak sedikit teman lelaki
yang mendekati. Namun, Linda sulit ditaklukkan. Ia tidak tertarik dengan pria
yang “di bawah levelnya”.
Di kampus bersama Azka, mereka berdua adalah perempuan cemerlang.
Dua gadis berjilbab itu terkenal sebagai sosok perempuan yang cerdas, supel
serta aktif di berbagai kegiatan. Linda menjadi lulusan pertama pada
angkatannya dan tak lama menunggu, lamarannya pada sebuah bank telah diterima.
Azka menyelasaikan studinya setengah
tahun kemudian, dan krmudian mengadu natsib di ibukota. Linda pun putus kontak
dengannya.
Satu tahun kemudian Linda menikah dengan Arul. Pria berkacamata
itu adalah seorang dosen di Universitas Linda dulu. Arul baru menyelesaikan
pendidikan masternya di Belanda. Linda juga sempat mendengar sepak terjang Arul
sebagai ketua BEM tiga tahun sebelum kepengurusannya. Pria itu populer dengan
kebijakan-kebijakan yang berani. Dan laki-laki itulah yang dianggap “selevel” dengan dia. Bahkan Arul
melebihi Linda dalam segalanya, baik kecerdasan, wawasan, maupun idealismenya.
Impian Linda adalah bersuamikan laki-laki yang bisa menjadi imam dalam segala
hal baginya.
Namun Arul adalah sosok pria yang keras pendiriannya. Idealisme Arul
meminta pengorbanan dari Linda. Saat Rifan anak pertama mereka lahir, Arul
menyarankan agar Linda mundur dari pekerjaannya. Ia ingin agar Linda
konsentrasi mengasuh anak-anaknya. Linda pun mengalah dengan keputusan
tersebut. Toh, istri tak wajib mencari nafkah. Ia mengubur semua cita-cita dan
mimpinya untuk meneruskan studinya ke luar negeri. Ia hanya bisa mengibur diri
bahwa memberikan perhatian lebih pada anak-anaknya, dan ini akan memberikan
nilai lebih bagi perkembangan anak-anaknya kelak.
Linda tak kuasa mengusir hampa. Bila ia melihat perempuan seperti
Azka masih bisa membagi waktu antara
karir dan sukses dalam rumah tangga. Perempuan yang ideal dalam pandangan Linda
adalah perempuan yang sukses dalam rumah tangga dan berkiprah di masyarakat. Ah
lagi-lagi idealisme yang berbenturan dengan realita. Ataukah hanya dahaga yang
tak terpuaskan karena tercabutnya syukur dari jiwa? Entahlah!
Keesokan harinya Linda berkunjung ke rumah ibunya. Kala itu Arul
sedang berdinas ke luar kota. Rifan dan adiknya sudah tidak di kamar. Di ruang
makan, Linda berkumpul dengan ibunya dan adiknya, Wity.
“Wit, sebelum menikah, didiskusikan dulu dengan calon suami nanti
bilang kalau kamu juga punya cita-cita. Kamu juga ingin maju, jangan seperti
mbakmu Linda itu. Apa-apa gak boleh sama suaminya” Mama menasihati Wity.
Akan tetapi kalimat tersebut seolah-olah lebih ditujukan pada
Linda. Mama Linda juga seorang wanita karir sejak kecil Beliau mendidik
anak-anaknya agar berkarir dan menjadi perempuan yang mandiri. Linda menunduk,
dadanya sesak menahan air mata.
Linda hanya bisa menghela nafas, ia tidak bisa melakukan pembelaan
karena memang realita menunjukan seperti
itu. Hujan celaka mengguyur deras di luar, memukul-mukul atap rumah dengan
ribut dan membuat sebagian tembok lembab
oleh rembesan air. Rifan dan Agus masih tertidur pulas, Linda termangu di depan
jendela yang sudah agak kusam sambil
menikmati hujan yang berjatuhan. Tenggelam dalam lamunan dan khayalan yang
seharusnya ia raih sekarang. Tiba-tiba Wity membuyarkan lamunan yang tak kan
pernah terwujudkan itu. Wity tahu bagaimana perasaan yang sedang mengusik kakak
perempuannya itu.
Kepada Wity, Linda menumpahkan tangisnya. Ia menceritakan
bagaimana pertemuannya dengan Azka. Perasaan yang dipendamnya, keinginan yang
harus ia pendam demi baktinya pada Arul, kekecewaan mama dan kekecewaannya pada
pernikahannya.
Wity mendengarkan segala keluh kesah Linda, membiarkan Linda
mengeluarkan segala isi hatinya. Belakangan ini memang Linda terlihat begitu
sendu. Sangat berbeda dengan Linda yang bersemangat dulu.
“Apa kakak salah memilih suami, Wit?” Tanya Linda pada Wety yang
mencoba mengusap air mata kakaknya.
“Sstt, jangan bilang begitu. Bagaimana mungkin kakak menyesali
pernikahan yang sudah dijalin sekian lama dengan mas Arul? Hati-hati kalau
berbicara” nasihat Wity.
“Dulu kak Linda selalu bilang, mas Arul pria yang lebih segalanya
dari kakak. Dialah pria pertama yang sekungfu denganmu. Levelnya bahkan lebih
dari kakak,” lanjut Wity.
Linda masih menangis.
“Kak Linda dulu selalu bilang kalau mas Arul lah jawaban atas
segala doa-doa dalam shalatmu.” Wity menatap mata kakaknya yang masih menangis,
mencari jawaban.
“Kak, aku hanya ingat, kau dulu selalu berkata bahwa pria yang menikahimu haruslah pria yang
melebihimu dalam segala hal. Pria
seperti itulah yang pantas menjadi imammu. Nah, bukankah mas Arul memenuhi kriteria itu? Kalau memang yang kau cari
kecerdasan, kesuksesan, ketenaran, dan idealisme dari seorang pria yang melebihimu. Bukankah sekarang itu yang
kakak dapatkan?” suara lembut Wity seraya menusuk bagai sembilu.
Linda tergugu, betapa angkuhnya dia dulu. Bahkan dalam doa-doanya,
betapa tingginya ia menentukan bagaimana
pria yang boleh menjadi suaminya. Banyak lamaran yang dia tolak secara halus. Linda menunggu
orang yang “lebih pantas” untuk meminangnya. Istikharah
bukan menjadi wadah dialognya dengan Tuhan. Istikharah hanyalah sebuah ritual
yang dia jalani, tanpa mengharap jawaban, karena hawa nafsu Linda lah yang
menentukan jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar