Perjuangan masyarakat untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya terus
berjalan. Mereka saling menopang untuk bahu-membahu dalam rangka menutupi
keterbatasan. Ketergantungan antara satu dengan yang lain ini masih menjadi
andalan. Keadaan demikian membuat mereka terasa nyaman dan sangat membantu. Dalam kondisi ini pula, mereka merasa sangat
butuh terhadap keterbantuan yang datang dari setiap orang.
Keterbantuan ini sangat mereka rasakan manakala di setiap kebutuhan
dalam rangka melangsungkan hidup ini tertutupi dan terpenuhi. Sebab tanpa
keterbantuan yang datang ini, mareka merasa akan termusnahkan oleh segala hal
yang ada di sekitarnya. Sehingga keterbantuan ini menjadi sebuah harapan yang
paling ditunggu dan diharapkan, apapun bentuk keterbantuan yang datang. Tetapi
merasa keterbantuan mereka itu tidak lain sebuah penindasan yang diramu dalam
keterbantuan.
Salah satu keterbatuan yang masyarakat yang selama ini berkembang
adala ketika “duwe gawe” atau ingin merayakan sebuah perayaan apa pun, seperti
menikahkan anaknya, walimatul khitan dan sebagainya. Kebutuhan ketika ingin
mengadakan “duwe gawe” ini tidak sedikit, mulai menyiapkan aneka makanan,
minuman, menyewa “tratak” dan yang lain. “Duwe gawe” yang apabila ditanggung
sendiri mereka merasa berat dan tidak mampu memenuhi segala keperluannya, maka
mereka merasakan angin segar dengan adanya keterbantuan dari saudara dan warga
sekitar yang berada di lingkungannya. Kegelapan yang mereka takutkan pun tidak
takut lagi dihadapi sebab akan ada lampu penerangnya.
Saudara dan warga sekitar menjelang “duwe gawe” berdatangan membawa
kebutuhan yang diperlukan seperti beras, gulan teh, kelapa dan yang lain.
Bahkan dari sekian orang ada yang membawa berupa uang. Segala macam bantuan
yang akan membantu kebutuhan “duwe gawe” ini menenangkan warga yang ingin
mengadakan “duwe gawe”. Meskipun beban yang akan dijalani berat ketika “duwe
gawe”, namun mereka dapat tidur pulas, seperti tanpa beban dan terninakbobokan
olehnya.
Keterbantuan mereka bukanlah keterbantuan tanpa ada akibat. Justru
akibat dari keterbantuan ini berupa keharusan membalikkan apa yang telah
diterima senilai dengan orang yang memberikan bantuan. Keharusan ini menjadi
pengikat di antara mereka, manakala yang telah memberikan bantuan harus dikembalikan
ketika orang yang membantu akan mengadakan “duwe gawe”. Keadaan ini semakin
menjadi kuat dan menyiksa ketika telah sampai pada waktu mengembalikan namun
orang yang pernah dibantu dalam kondisi terbatas.
Keadaan orang yang pernah dibantu yang terbatas ini pun harus memutar
kepala sekeras-kerasnya untuk mengambil solusi dalam rangka menebus “kredit
sosial” yang berjalan. Pada ujungnya menjual harta yang dimiliki menjadi salah
satu pilihan, seperti menjual tanah, menjual ternak dan sebagainya. Bahkan alternatif
yang ditawarkan oleh “lintah darat” seperti yang digaungkan oleh para rentenir
dan lembaga-lembaga yang memberikan jasa pinjaman memberikan solusi yang dapat
“diandalkan”.
Dinamika ini tidak lain adalah hanya tutup sulam tanpa ujung akan
terus berlanjut untuk meneruskan keadaan yang semakin memkeruh air comberan.
Pengembalian pinjaman harus ditanggung tiap bulan bagi peminjam dengan
penambahan angka yang tak sesuai dengan yang dipinjam. Semakin lama peminjam
menunda pengembalian pinjaman, maka semakin besar pula yang harus dikembalikan.
Sebab tidak ada sebuah ada lembaga pemberi jasa yang memberikan jasanya tanpa
ada imbal balik. Bahkan pemberi jasa itu sebanyak mungkin mencari keuntungan
bermodalkan jasa yang diberikan. Di sinilah air comberan yang sudah keruh
menjadi semakin keruh lagi.
Bagi yang mampu dan sanggup mengarungi samudra yang penuh badai,
mungkin itu terasa aman untuk terus berlayar. Namun bagi yang merasa tak memiliki
keterbatasan dan kelengkapan kapal, harus mematangkan niatan untuk berlayar.
Bahkan mereka pun harus mengikuti arus yang tak tahu arahnya. Arus ini
mengharuskan mereka menerima sanksi sosial pun berlaku di lingkungan tersebut.
Apabila mereka telah berani memutuskan untuk mengikuti arus “kredit
sosial”, maka mereka pun harus siap mengalami “sanksi sosial”. Sanksi sosial yang
berupa pengucilan terasa lebih menyakitkan dan menganggap keberadaannya tidak
dianggap. Dalam kondisi demikian apabila mereka yang tak mampu memberikan dan
mengembalikan “kredit sosial” ini itu berarti mengikhlaskan dirinya keluar dari
dalam ruang keterasingan. Ucapan “sampai jumpai lagi” dengan keterpaksaan harus
terucap dari bibirnya.
Sleman, 13
Agustus 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar