Pada
awal abad 19 kondisi agama banyak berubah dari sebelumnya, agama –terutama
kristen pada saat itu- sering dijadikan kendaraan politik, bahkan alat
kekuasaan untuk melakukan penindasan dan pembohongan terhadap publik. Agama tampak
membunuh kesadaran manusia dan menghalangi manusia untuk maju. Bahkan sisa-sisa
fanatisme agama hingga sekarang ini masih kita rasakan.
Meskipun
demikian, agama begitu digandrungi tanpa alasan, walaupun efeknya secara sosial
jelas tampak buruk. Maka salah satu fenomena ketidaksadaran manusia yang
diakibatkan oleh doktrin agama bagi Karl Marz disebut sebagai “candu”. Agama
yang seheharusnya memberikan ketenangan dan kedamaian bagi umatnya, namun justru
terkadang memperlihatkankan wajah bengisnya ketika ditopang kepentingan.
Pandangan ini tidak jauh
berbeda dengan Jose Casanova. Ia pernah mengatakan bahwa ambivalensi
dalam penampakan agama pada ranah publik sebagai sesuatu
yang “bermuka dua”. Di satu
sisi terkadang agama menampilkan wajah garang dan pada di sisi yang lain agama
menampakkan perdamaian.
Diakui atau tidak, kehadiran
semua agama-agama yang ada di dunia selalu membawa misi untuk menciptakan
tatanan masyarakat damai, termasuk agama islam yang membawa misi rahmatan
lil ‘alamin. Sehingga agama yang
menjadi sumber kedamaian tersebut tidak mungkin secara bersamaan menjadi sumber
konflik yang merusak perdamaian masyarakat. Mengapa demikian? Apabila kekerasan dijadikan langkah
untuk menciptakan perdamaian, maka bukan perdamaian lah yang terwujud namun justru
kekerasan yang akan ditimbulkannya. Sebab perdamaian tidak mungkin tercipta
dengan cara kekerasan.
Tentu
kita masih mengingat dalam al-qawa’id a-fiqhiyah, terdapat kaidah yang
menyatakan al-dlararu yuzalu (kemudaratan mesti dihilangkan). Tapi ada
juga kaidah lain yang berbunyi al-dlarar la yuzal bi al-darar
(kemudaratan tak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang lain). Dan patut
diingat, dua kaidah tersebut mesti dipahami sebagai satu kesatuan.
Namun
sejarah Islam telah mencatat, banyak sekali konflik horisontal yang terjadi akibat dari intoleransi dan menerima
perbedaan. Apabila setiap individu atau kelompok tidak dapat menerima perbedaan
dan bersikap toleransi dalam interaksi sosial maka tatanan sosial akan
mengalami ketimpangan. Akibatnya kejadian saling menyalahkan, mengkafirkan dan
sebagainya akan menjadi sesuatu yang tidak dapat terelakkan. Bahkan tidak
segan-segan dijadikan mobilitas dalam melakukan tindak kekerasan untuk menguasai
atau menjatuhkan kelompok lain.
Agama
–dalam
konteks ini adalah agama Islam- sering
sekali menjadi landasan tindak kekerasan tersebut. Dengan bermodalkan
penafsiran terhadap sumber agama kalangan yang disebut sebagai radikalisme
secara tegas mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan juga merupakan perintah
agama. Dari sini terjadi kontradiktif, pada satu sisi agama disimbolkan dengan
perdamaian, namun
pada sisi yang lain agama juga membawa wajah bengis.
Para
pembaca yang budiman, untuk
sekian kalinya Jurnal Justisia kembali hadir di hadapan anda. Pada kesempatan kali
ini, diskursus yang kami angkat tergolong fundamental dalam memahami keberagamaan
sebagai umat islam, lebih-lebih dalam menerima perbedaan. Nama agama menjadi
terinjak-injak ketika setiap tindak kekerasan diatasnamakan agama –kata
golongan radikalieme bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi dari agama-, padahal agama tidak lain pembawa
kedamaian seluruh umat, bahkan semesta alam (rahmatan
lil ‘alamin). Akhirnya
timbul pernyataan, Apakah agama
menghendaki perdamaian dengan jalan kekerasan yang demikian ini?. Apakah kekerasan itu merupakan jalan
satu-satunya dalam menciptakan perdamaian? Apakah perdamaian merupakan sesuatu
yang khayal untuk dibumikan?. Maka
untuk mengukuhkan perdamaian tersebut setiap individu maupun kelompok harus
menanamkan teologi perdamaian dalam beragama Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar