NEGARA, KEKUASAAN DAN WEWENANG
(Sebuah Pengantar Ilmu Politik)
Oleh: Muhamad Zainal Mawahib
Perkembangan diskursus politik (politics)
selalu mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Kemajuan ini tidak lepas dari
tokoh-tokoh terdahulu yang peduli dalam kehidupan sosial. Benar apabila
dikatakan ilmu politik dipandang semata-mata
sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar,
rangka, fokus dan ruang lingkup yang jelas, maka dapat dikatakan ilmu ini masih
muda usianya, sebab ilmu politik ini lahir pada abad 19.[1]
Akan tetapi, apabila ilmu ditinjau dalam skala yang lebih luas, yakni sebagai
sebuah pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan
politik, maka ilmu ini dapat dikatakan tua umurnya. Dalam konteks ini, ilmu politik
banyak bersandar pada sejarah dan filsafat.
Di Yunani Kuno misalnya, pemikiran tentang
kenegaraan sudah dimulai pada tahun 450 SM. Hal ini dibuktidak dalam
karya-karya ahli sejarah Herodotus atau filsuf-filsuf seperti Plato,
Aristoteles dan sebagainya. Di Asia, berbagai tulisan politik bermutu muncul di
India yang terkumpul dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang
berasal dari masa kira-kira 500 SM. Begitu juga di China yang terkenal
Confucius + 350 SM, Mencius + 350 dan sebagainya. Dalam konteks
Indonesia, kita dapati beberapa karya tulis yang membahas sejarah dan
kenegaraan seperti misalnya Negarakertagama yang ditulis pada masa Majapahit
sekitar abad 13.
Ilmu
Politik
Ilmu politik sering diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang politik atau kepolitikan. Apabila ditelusuri kata politik
itu berasal dari kata polis, bahasa Yunani yang artinya negara kota, kemudian
diturunkan kata lain seperti polities artinya warga negara, politikos artinya
kewarganegaraan atau civics).[2]
Dalam bahasa Inggris politik berasal dari kata politic yang artinya
bijaksana.[3]
Sedangkan dalam bahasa Arab politik berasal dari kata al siyasah yang
merupakan turunan (masdar) dari kata saasa yang memiliki arti
melatih, mengatur, memimpin, memerintah, mengemudikan dan mengurus.[4]
Berangkat dari berbagai bahasa tersebut politik
merupakan sebuah usaha untuk memimpin dalam sebuah negara. Mengenai pengertian
politik secara terminologi banyak sekali dengan berbagai sudut pandang. Akan
tetapi dari berbagai pengertian yang ada, makna politik dalam diringkas sebagai
sebuah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik. dalam konteks Indonesia kita
kenal dengan pepatah gemah lipah loh jinawe. Begitu juga orang Yunani,
terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life.[5]
Spirit yang diusung dari ilmu politik ini sangat
diharapkan oleh manusia. Terlebih manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri tanpa ada interaksi sosial dengan manusia yang lainnya. Dari
keseluruhan interaksi antar manusia inilah kemudian disebut dengan masyarakat.
Definisi ini seperti yang dilontarkan oleh Robert M. Mclver “society means a
system of ordered relations”.[6]
Konsep
Dasar Ilmu Politik
Dalam kajian politik banyak sekali konsep-konsep
dasar sebagai acuan atau pun pondasi. Sebetulnya banyak sekali konsep dasar
yang dapat kita gunakan dan sebagai pijakan dalam mengkaji tentang politik. Akan
tetapi ada konsep dasar yang paling penting untuk dipahami sebagai bekal dalam
mengkaji ilmu politik, yakni negara (state), kekuasaan (power)
dan weenang (authority).
v Negara (state)
Sebagaimana rumusan tentang makna politik itu
sendiri, bahwa politik merupakan usaha untuk mewujudkan kesejahteraan dalam
kehidupan antar individu. Hal yang perlu diketahui, bahwa dalam setiap individu
dalam melakukan interaksi dengan individu yang lain tidak lepas dari dua sifat
yang bertentangan satu sama lain. Sifat tersebut tidak lain adalah bekerjasama
dan bertentangan. Untuk memenuhi keperluan dan kepentingan bersama yang
mencakup semua elemen. Dari sinilah sangat diperlukan sebuah kebijakan yang
menanganinya secara keseluruhan atau institusi pemerintahan yang sering disebut
negara (state).
Terkait dengan proses terbentuknya sebuah negara
banyak sekali teori yang menawarkan jawaban. Antara lain teori kontrak sosial (social
contract), teori ketuhanan, teori kekuatan, teori organis, teori historis,
teori kedaulatan hukum dan teori hukum alam. Pendekatan-pendekatan tersebut
hanya untuk memetakan dan tidak lepas dari unsur politis. Walaupun demikian, tujuannya
tetap sama yakni ingin mengorganisir obyek yang berupa manusia agar dapat hidup
dengan baik dan sejahtera. Hal yang membedakan adalah dampak dari penerapan
pendekatan tersebut. Dari sini lahirnya model kepemimpinan dalam bernegara,
seperti oligarki, monarki dan demokrasi.
Terlepas dari perdebatan teori terbentuknya
negara dan model kepemimpinan yang diberlakukan dalam sebuah negara tersebut, intitusi
yang bernama negara ini adalah sebuah alat dari masyarakat yang mempunyai
kekuasaan untuk mengatu hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan
menerbitkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.[7]
Ini berarti negara memiliki kekuasaan untuk memaksa secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan lainnya dan yang menetapkan tujuan dari kehidupan bersama
itu. Bahkan penggunaan kekerasan fisik pun dilegalkan, seperti yang diungkapkan
oleh Max Weber, negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam
penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.[8]
Negara sebagai institusi yang memiliki peran
sentral dalam mewujudkan kesejahteraan manusia, maka ia memiliki sifat tertentu
da khusus yang melekat pada dirinya. Sifat itu berupa 1) Sifat memaksa, agar
peraturan perundang-undangan ditaati dan tindak anarkis dapat dicegah, maka
negara memiliki sifat memaksa, ini dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai
kekerasan fisik secara legal. 2) Sifat monopoli, dalam hal ini negara mempunyai
monopoli dalam menentapkan tujuan bersama dari masyarakat, maka dalam rangka
itu negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran kelompok
tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan, karena dianggap bertentangan dengan
tujuan masyarakat. Dan 3) Sifat mencakup semua, Dalam kehidupan
kenegaraan semua peraturan
dan kebijakan negara berlaku untuk semua warga negaranya.[9]
Sifat-sifat ini melekat pada negara tidak lain
bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Apabila tujuan negara
ini tidak terwujud maka berarti institusi negara tersebut tidak menjalankan
sifat-sifat yang melekat padanya pada tujuan yang mencakup semua elemen. Seperti
yang dirumukan oleh Roger H. Soltau bahwa tujuan negara adalah memungkinkan
rakyatnya untuk berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas
mungkin.
Sedangkan dalam konteks Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang 1945 yang berbunyi: “untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
v Kekuasaan (power)
Kekuasaan menjadi kajian menarik dalam ilmu
politik, bahkan politik identik dengan kekuasaan. Untuk memahami tentang arti
kekuasaan ini, kita dapat mengambil perumusan sosiolog, Max Weber dalam bukunya
Wirtschaft und Gessellshaft (1922). Bagi Weber, kekuasaan adalah
kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melakukan kemauan sendiri
sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini.[10]
Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan
perumusan Barbara Goodwin (2003), seorang ahli kontemporer. Bagi Barbara,
kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan sara
yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia tidak dilibatkan.
Dengan kata lain, memaksa seseorang untuk melakukan yang bertentangan engan
kehendaknya.[11]
Berangkat dari seni dalam berkuasa, maka dalam
menyelenggarakan kekuasaan banyak sekali model. Akan tetapi esensi dari
kekuasaan adalah mengadakan sanksi. Bahkan upaya yang paling ampuh adalah
kekerasan fisik (force). Misalnya seorang penjahat membawa celurit yang
memaksa seseorang untuk menyerahkan barang miliknya, ini merupakan suatu contoh
dari kekuasaan yang paling terbuka dan brutal. Kekuasaan juga diselenggarakan
lewar koersi (coersion), yaitu sebuah ancaman berupa sanksi. Sedangkan
upaya yang sedikit lunak adalah melalui persuasi (persuasion), yakni
proses meyakinkan, berargumentasi atau menunjukka pada pendapat seorang ahli (expert
advice).
Selain itu kekuasaan ini juga bisa dilakukan
dengan tidak mengatakan denda, tetapi ganjaran (reward) atau imbalan,
insentif, atau pun kompensasi. Misalnyadari pemberian imbalan ialah pemerintah
yang berupaya untuk mengatasi masalah sampah dapat melakukan sanksi negatif
dengan mendenda setiap pelanggar. Akan tetapi karena petugas pengawas sangat
terbatas mungkin pemerintah cenderung memberikan sanksi positif, berupa hadiah
kepada Rukun Tetangga (RT) yang paling bersih.
Dalam kekuasaan ini perlu kiranya untuk diketahui sumber
yang menjadi kekuatan. Bertrand Russel (1988) diantaranya menyebutkan bahwa
kekuasaan itu bersumber dari sumber ilahiah (Tuhan), ekonomi, pemikiran, dan
nilai budaya. bahkan, untuk jaman modern
ini, teknologi dan kekuatan militer pun menjadi salah satu sumber kekuasaan
yang bisa membantu manusia untuk menguasai orang atau kelompok lain. Dengan variasi sumber
kekuasaan ini, melahirkan adanya sejumlah teori tentang kekuasaan dalam ilmu
politik.
Bailusy menyebutkan ada empat teori besar mengenai teori kekuasaan, yaitu teori kekuasaan Tuhan, teori kekuasaan hukum, teori kekuasaan negara dan
teori kekuasaan rakyat.[12]
Apapun teorinya, namun dengan teori kekuasaan tersebut, seorang penguasa
memiliki kemampuan untuk memaksa, memonopoli dan menetapkan sebuah peraturan atau kebijakan publik yang
mengatur seluruh aspek kehidupan negara.
Kekuasaan yang bersumber pada Tuhan, memposisikan
sumber-sumber normatif keagamaan sebagai
acuan utama. Manusia atau penguasa, posisinya hanya pelaku atas semua
perintah yang disuratkan (disiratkan)
oleh sumber otoritatif keagamaan. Misalnya saja, Islam menyandarkan aturan
hidup berbangsa dan bernegaranya pada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam lingkungan agama Kristen, Agustinus dikenal sebagai pemikiran teokrasi
yang menggagas teori kekuasaan Tuhan
dalam konteks politik.
Kekuasaan berdasarkan hukum, artinya bahwa setiap
penguasa dalam pelaksaan kekuasaan, masyarakat wajib tunduk dan taat pada
hukum negara. dalam teori ini,
diharapkan setiap warga negara memiliki kesadaran hukum atau kemelekkan hukum
yang tinggi, sehingga negara dapat berjalan dengan baik. Ada tiga prinsip dasar
dalam negara hukum, yaitu (a) pengakuan supremacy of law (hukum yang
tertinggi), (b) equality
of before law (persamaan
di depan hukum),
dan (c) protection of human right (perlindungan terhadap hak asasi manusia)
Teori kekuasaan ketiga yaitu kekuasaan negara.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa negara memiliki kemampuan memaksa,
memonopoli dan menguasai semua hal. Kewenangan yang sangat luas ini, sudah
merupakan indikasi utama bahwa negara memiliki kekuasaan.
Kritik pemikiran terhadap kekuasaan negara, memunculkan
adanya teori kekuasaan rakyat. Artinya, kekuasaan negara yang ada dan
dimilikinya saat itu, pada dasarnya bukan sebuah identitas natural dari negara
itu sendiri. kewenangan dan kekuasaan
yang dimiliki negara pada saat itu adalah kekuasaan yang bermula dari
kontrak sosial individu atau masyarakat. Dengan kata lain, pemiliki kekuasaan
itu sendiri adalah rakyat, bukan negara.
Selanjutnya perlu diketahui juga antara dua istilah
yang menyangkut konsep kekuasaan ini, yakni scope of power (cakupan
kekuasaan) dan domain of power (wilayah kekuasaan). Cakupan kekuasaan (scope
of power) menunjuk pada kegiatan, perilaku, serta sikap dan keputusan yang
menjadi obyek dari kekuasaan. Misalnya direktur perusahaan mempunyai kekuasaan
untuk memecat seorang karyawan sesuai dengan ketentuan, akan tetapi tidak
memiliki kekuasaan terhadap karyawan di luar hubungan kerja ini. Sedangkan
wilayah kekuasaan (domain of power) ini menjawab soal siapa saja
yang dikuasai oleh orang yang berkuasa. Misalnya seorang direktur perusahaan
mempunyai kekuasaan atas semua karyawan dalam perusahaan, baik yang di pusat
maupun yang di cabang-cabang.[13]
v Wewenang (authority)
Dalam menjalankan kekuasaan dalam sebuah negara
tidak akan berhasil manakala tidak ada wewenang yang diberikan. Sehingga dalam
ilmu politik sangat penting untuk memahami tentang wewenang terlebih apabila
dikaitkan dengan kekuasaan. Mengenai wewenang, Robert Bierstedt dalam
karangannya An Analysis of Social yang mengatakan bahwa wewenang (authority)
adalah institutionalized power (kekausaan yang dilembagakan).[14]
Dengan nada berbeda, Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam buku Power
and Social bahwa wewenang adalah formal power (kekuasaan formal).[15]
Dengan begitu bagi yang mempunyai wewenang
berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan dan
berhak untuk menharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya.
Bagi Max
Weber, wewenang dipetakan menjadi tiga macam, yakni tradisonal, kharismatik dan
rasional-legal.[16]
Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa
tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah
wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota
masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistis atau religius seorang pemimpin. Sedangkan
wewenang rasiona-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang
melandasi kedudukan seorang pemimpi, sehingga yang ditekan bukan orangnya
tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah laku.
Akan tetapi wewenang sulit sekali untuk
dijalankan manakal tidak ada sebuah legitimasi (legitimady) atau
keabsahan. Legitimasi ini sangat penting dalam sebuah sistem politik, terlebih
pada perkembangan politik pada era sekarang ini. Sebab keabsahan adalah sebuah
keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang pada seseorang,
kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut untuk dihormati. Kewajaran ini
berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan
prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan
ketentuan dan prosedur yang sah.
Jadi, mereka yang diperintah menganggap bahwa
sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa
untuk dipatuhi. Dalam hubungan ini dikatakan oleh David Easton bahwa keabsahan
adalah keyakinan dari pihak anggota bahwa sudah wajar baginya untuk menerima
baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu.[17]
Dari sudut pandang penguasa, A.M. Lipset memberikan gambaran bahwa legitimasi
mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa
lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar
untuk masyarakat itu.[18]
Apabila dalam suatu sistem politik terdapat
konsensus mengenai dasar-dasar dan tujuan-tujuan masyarakat, keabsahan dapat
tumbuh dengan kukuh, sehingga unsur paksaan serta kekerasan yang dipakai oleh
setiap rezim dapat ditetapkan sampai minimum. Maka dari itu pemimpin dari suatu
sistem politik akan selalu mencoba membangun dan mempertahankan kebasahan di
kalangan rakyat karena hal itu merupakan dukungan yang paling kuat.
Demikian tulisan yang singkat tentang konsep dasar
dalam ilmu politik terkiat dengan negara (state), kekuasaan (power)
dan wewenang (authority). Ini hanyalah sebagai pengantar dalam diskusi. Setidaknya
dalam tulisan ini sangat terbatas. Maka dari itu sebagai langkah untuk
mengembangkan dari konsep dasar ini perlu dikaji dan didiskusikan. Dengan
adanya diskusi dan kajian yang selalu dilakukan maka lahir sebuah kritik. Tentu
dengan adanya kritik dilontarkan akan menjadikan ilmu politik ini akan semakin
berkembang.
[1] Hal ini berangkat dari persoalan apakah
ilmu politik merupakan ilmu pengetahuan (science) atau tidak, lebih
lanjut lagi apakah ilmu politik memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan yang
meliputi obyektif, metodis, sistematis dan universal. Pada abad ke-19 lahirlah
berbagai pendekatan, seperti pendekatan perilaku (behavorial approach)
tahun 1950-an, pendekatan ini pun menuai kritik karena kelompok behavioralis
tidak memasukan nilai dalam analisis keadaan sosial. Akhirnya muncul kelompok post-behavioralist
(tahun 1960-an) yang berpendapat bahwa nilai boleh masuk dalam analisis keadaan
sosial. Dari sini berkembang pendekatan seperti pendekatan analisis
struktural-fungsional (structural-functional analysis approach)
dan pendekatan analisis sistem (systems analysis approach), selengkapnya
lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Prima
Grafika, 2012, hal. 8-11.
[2] Chilisin, dkk, Dasar-dasar Ilmu Poitik,
Yogyakarta: FISE UNY, 2006, hal 1.
[3] Lihat Kamus Bahasa Inggris.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab Indonesia Lengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002,
hal. 677.
[5] Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, , , hal. 13.
[6] Selengkapnya lihat Robert M. Mclver,
The Web of Government, Now York: The MacMillan Company, 1961, hal. 22.
[7] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik, , , hal. 47
[8] H.H. Gerth and C. Wright Mills, From
Max Weber: Essays in Sociology, New York: Oxford University Press, 1958,
hal. 78.
[9] Selengkapnya lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, , , hal. 50-51
[10] Max Weber, Wirtschaft und
Gessellshaft, Tubing: Mohr, 1922.
[11] Barbara Goodwin, Using Political
Ideas, England: Barbara Goodwin, 2003, hal. 307.
[12] M. Kausar Bailusy, Teori Politik,
Jakarta: Universitas Terbuka, 2001, hal. 6
[13] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik, , , hal. 64
[14] Robert Biertedt, “An Analysis of Social
Power”, American Sociological Reviwe, Volume Desember 1950, 732.
[15] Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, , , hal. 64, lihat juga Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan,
Power and Social, New Haven, Yale University Press, 1950.
[16] S.N. Eisentadt, ed. Max Weber on
Charisma and Institution Building, Chicago: University of Chicago Press,
1968, hal. 46.
[17] David Easton, A System Analysis of
Political Life, New York: John Wiley and Sons, 1965, hal. 273
[18] A.M. Lipset, Political Man: The
Social Base of Politics, Bombay: Vakils, Fetter and Simons Private Ltd.,
1969, hal. 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar