Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Unifikasi Kalender Hijriah; Sebuah Catatan terhadap Konsep Penyatuan Kalender Hijriah

Entah sejak kapan perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariah menjadi hal yang “wajar” (dan dinilai wajar?). Mengingat fenomena tersebut hampir setiap tahun ada di Indonesia, bahkan di internasional. Menanggapi problematika ini, tidak sedikit para pakar ilmu falak mengusung gagasan untuk menyatukan kalender hijriah. Tentu saja, hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah.
Perlu disebutkan, lahirnya gagasan unifikasi kalender hijriah ini, menurut saya, setidaknya ada dua kelompok. Kelompok pertama menghendaki adanya gagasan tersebut dan bahkan mereka optimis akan terwujud kalender hijriah. Mereka memandang bahwa kalender islam yang mapan merupakan “tuntutan peradaban”. Sedangkan menurut kelompok kedua hal tersebut menjadi tantangan yang sangat berat nan melelahkan hingga akhirnya mereka pesimis. Maklum, munculnya dua kelompok itu menjadi hal yang wajar, mengingat yang menjadi permasalahan adalah sesuatu yang bersifat multitafsir.
Semua para ilmu falak sepakat bahwa yang menjadi dasar hukum dalam menentukan awal bulan kamariah adalah al Qur’an dan Hadits. Dalam dasar hukum tersebut dijelaskna bahwa menentukan awal bulan kamariah yang menjadi patokan adalah “melihat hilal”. Berangkat dari sini muncullah berbagai tafsir hingga akhirnya ada gagasan penyatuan kalender hijriah.
Dengan adanya gagasan ini penulis termasuk orang yang pesimis terwujudnya ide ini. Setidaknya tiga alasan yang mendasar yang menjadi landasan penulis. Pertama, ide penyatuan kalender hijriah ini dianggap menjadi kemunduran orang Islam karena tidak dalam penentuan awal bulan hingga sekarang ini masih mengalami problematika. Namun yang perlu diperhatikan sistem yang digunakan dalam kalender hijriah adalah sistem peredaran bulan. sedangkan kalender masehi adalah sistem peredaran matahari. Apabila diperhatikan sebenarnya dalam menentukan awal bulan kamariah yang menggunakan sistem peresaran bulan tersebut tidak lepas dari peran pergerakan matahari juga. Sebab hilal yang akan muncul setelah matahari terbenam. Apabila terbenamnya bulan terjadi sebelum matahari terbenam maka hal itu bukan hilal namun bulan tua.
Pada fenomena tersebut tentu setiap tempat akan berbeda-beda. Bisa jadi di suatu tempat bulan terbenam setelah matahari terbenam namun ada juga tempat yang bulan terbenam lebih dahulu dari matahari. Padahal kewajiban orang muslim memulai puasa atau mengawali bulan kamariah itu adalah ditentukan oleh munculnya hilal. Pada akhirnya muncullah konsep mathla’ dalam menentukan awal bulan.
Kedua, diakui atau tidak selama ini dalam dunia tafsir banyak kita temui perbedaan penafsiran. Perbedaan dalam memahami agama islam muncul sejak dahulu, bahkan sejak masa Nabi. Ketika itu Nabi memerintah beberapa sahabat untuk ke suatu tempat dan Nabi juga berpesan untuk shalat ashar di tempat tujuan. Namun pada perjalanannya ada sahabat yang shalat di tempat tujuan dan juga ada sahabat yang menjama’ shalat. Perbedaan panafsiran pun terjadi hingga sekarang ini. Hal ini dibuktikan dengan produk fiqh yang antara ulama’ satu dengan ulama’ yang lain berbeda.
Berangkat dari hal itu, apabila terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah yang selama ini terjadi menjadi sebuah hal yang wajar. Bahkan hasil penafsiran tersebut memiliki pengikut dan produk fiqih terbut dijadikan landasan dalam menjalankan ibadah. Dalam menjalan ibadah tersebut seseorang pun harus yakin bahwa ia menjalankan ibadahnya pada waktu yang diwajibkan kepadanya. Sehingga dalam konteks ini ada sebuah keyakinan yang terdapat dapa dirinya. Dimana keyakinan seseorang pun tidak bisa dipaksakan untuk mengikuti keyakinan yang lain.
Ketiga, konsep negara yang digunakan setiap negara itu berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia, negara mengikuti konsep negara demokrasi. Sehingga dalam negara demokrasi tersebut setiap orang berhak atas hak-hak mereka. dalam UUD 1945 pasal 28 E, ayat 1 berbunyi “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memlilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali”. Selanjutnya ayat 2 disebutkan juga “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Hal ini diperkuat dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tipa penduduk untuk memeluk agamanya maisng-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Keberadaan peraturan tersebut secara tidak langsung menghormati ketika ada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah.

Dengan demikian, unifikasi kalender hijriah merupakan gagasan yang sangat baik sekali karena hal itu akan menjadikan kekompakan dalam internal orang Islam. Namun untuk mencapainya ada beberapa tantangan yang tentunya tidak mudah untuk dihadapi. Hemat penulis, sebelum unifikasi kelander hijriah itu terwujud, maka hal yang tepat untuk dilakukan sekarang ini adalah mengkampanyekan sikap toleransi dalam perbedaan penentuan awal bulan kamariah. Apabila sikap saling menghormati ini tertanam dalam masyarakat maka tenggang rasa dalam perbedaan berbuah keharmonisan. 
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini