A.
Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil
Secara bahasa, kata al-jarh
artinya cacat atau luka. Dan kata al-ta’dil artinya mengadilkan.[1]
Jadi, kata ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu tentang kecacatan dan
keadilan seseorang.
Sedangkan menurut muhadditsin,
jarh adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau
mencacatkan ‘adalah atau kedhabitannya. Sedangkan ta’dil
adalah kebalikan dari jarh. Yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi
dan menghukuminya bahwa ia ‘adil atau dhabith.[2]
Seseorang dapat dikatakan
memiliki sifat ‘adil apabila:
1. Taqwa : tidak mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan maksiat, syirik, fasiq, dan bid’ah.
Sedangkan sifat-sifat yang
menggugurkan keadilan seseorang ada lima. Yaitu dusta, tertuduh dusta, fusuq,
jahalah, dan menganut bid’ah.[4]
Jadi, Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini bermanfaat untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang rawi itu dapat di terima atau harus di tolak sama sekali.
Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai rawi yang cacat,
periwayatannya harus di tolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang
yang adil, niscaya periwayatannya diterima selama syarat-syarat yang lain untuk
menerima hadis terpenuhi.
B.
Syarat al-Mujarrih dan
al-Muaddil
Adapun syarat bagi orang yang
men-jarah-kan dan men-ta’dil-kan yaitu :
1. Berilmu pengetahuan
2. Takwa
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi
perbuatan maksiat, subhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat)
4. Jujur
5. Menjauhi fanatik golongan
6. Mengetahui sebab-sebab untuk
men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan.[5]
C. Lafal-Lafal
al-Jarh wa al-Ta’dil
Lafal-lafal yang digunakan
untuk men-tarjih dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Ibnu Hajar
menuyusunnya menjadi enam tingkatan sebagai berikut:[6]
Tingkatan pertama,
segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan
menggunakan lafal-lafal yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang
mengandung pengertian sejenis :
اوثق الناس, اثبت الناس حفظا وعادلة, اليه المنتهى في
الثبت,ثقة فوق ثقه.
Tingkatan kedua,
memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu
sifat yang menunjukkan keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang
dihubungkan itu selafal (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalnya: ثبت
ثبت, ثقة ثقة, حجة حجة, ثبت ثقة, حافظ حجة, ضابط متقن.
Tingkatan ketiga,
menunjukkan keadilan dengan suatu lafal yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya
ثبت, متقن, ثقة, حافظ, حجة.
Tingkatan keempat,
menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an tetapi dengan lafal yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil. Misalnya :
صدوق,
مأمون. لابأس به.
Tingkatan kelima,
menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an.
Misalnya:
محلة
الصدوق, جيد الحديث, حسن الحديث, مقارب الحديث.
Tingkatan keenam,
menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut diatas yang
diikuti dengan lafal “insyaallah” atau lafal tersebut di tasghirkan atau
lafal tersebut dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
صدوق
إنشاءالله, فلان ارجوبأن لابأس به, فلان صويلح, فلان مقبول حديثه.
Kemudian, tingkatan dan
lafal-lafal untuk mentarjih rawi-rawi yaitu:[7]
Tingkatan pertama,
menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunaan
lafal-lafal yang berbentuk af’al al-tafdil atau ungkapan lain yang
mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
اوضع
الناس, اكذب الناس, اليه المنتهى في الوضع.
Tingkatan kedua,
menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafal-lafal berbentuk sighat
mubalaghah, misalnya: كذاب, وضاع,
دجال.
Tindakan ketiga, menunjuk kepada
tuduhan dusta, bohong, atau sebagainya, misalnya:
فلان متهم بالكذب,
اومتهم بالوضع, فلان فيه النظر, فلان ساقط, فلان ذاهب الحديث, فلان متروك الحديث.
Tingkatan keempat,
menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
مطروح
الحديث, فلان ضعيف, فلان مردودالحديث.
Tingkatan kelima,
menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya:
فلان
لايحتج به,فلان مجهول, فلان منكرالحديث, فلان مضطرب الحديث, فلان واه.
Tingkatan keenam,
menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi
sifat-sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya
ضعف
حديثه, فلان مقال فيه, فلان فيه خلف,فلان لين, فلان ليس بالحجة, فلان ليس بالقوي.
D.
Pertentangan antara jarh dan
ta’dil
Apabila terdapat perlawanan
atau ta’arudh antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama’ men-ta’dil-kan
dan sebagian ulamak lain men-tarjih-kan terdapat beberapa pendapat:
1. Jarh di dahulukan secara mutlak
walaupun muaddilnya lebih banyak dari pada jarh-nya. Sebab bagi jarih
mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh muaddil dan kalau jarih
dapat membenarkan muaddil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya
saja.
2. Ta’dil di dahulukan dari jarh,
karena dalam mengabaikan rowi kurang tepat dalam hal sebab pencacatannya
apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang muaddil tidak serampangkan
men-ta’dil-kan seseorang.
3. Ta’dil didahulukan jika jumlah muaddil
lebih banyak dari pada jarih-nya. Lebih banyak dipandang lebih kuat.
4. Tetap dalam ta’arudh
bila tidak ditemukan yang merajihkan.[8]
Adapun pendapat yang shahih
adalah yang dikutip oleh al-Khatib al-Baghdadi dari jumhur ulama’ dan disahkan
oleh Ibnu al-Shalah dan Muhaddis yang lain serta sebagian ulama’ ushul. Mereka
berkata bahwa jarh di dahulukan atas ta’dil meskipun yang men-ta’dil-kan
itu lebih banyak. Ini karena orang yang menta’dil hanya memberitakan karakteristik
yang tampak baginya, sedangkan orang yang men-jarh memberitakan karakteristik
yang tidak tampak dan samar bagi orang yang men-ta’dil.[9]
Akan tetapi, kaidah الجرح مقدم على
التعديل ini tidak menunjukkan kemutlakan harus di dahulukannya jarh.
Kita dapatkan kadang-kadang mereka mendahulukan ta’dil atas jarh
dalam banyak kesempatan.
E. Kritik
Sanad
Penelitian
sanad merupakan penelitian atau kritik yang hanya dilakukan terhadap sanad.
Di sini sanad diartikan sebagai jalur yang menyampaikan kepada sumber
riwayat, terdiri dari sekumpulan perawi yang masing-masing mengambil riwayat
dari perawi sebelumnya dan menyampaikannya kepada perawi setelahnya sampai
kepada orang yang men-takhrij hadis (mukharrij).[10]
Jadi, kritik sanad dapat dipahami sebagai upaya meneliti satu persatu
perawi atau periwayat yang terlibat dalam jalur periwayatan hadis, meliputi
kualitas pribadi periwayat (‘adalah), kapasitas intelektualnya (dhabith),
serta persambungan sanadnya (ittishal al-sanad).
Obyek
studi kritik sanad / naqd al-sanad difokuskan pada 3 komponen
sebagai berikut :
1. Nama-nama periwayat yang
terlibat dalam periwayatan hadits serta biografinya.
2. Tata cara periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits, seperti sami’tu,
akhbaroni, an, anna dan lain-lain.
3. Kualitas para periwayat
dengan memberikan penilaian terhadap para periwayat tersebut, dilengkapi dengan
komentar para kritikus terhadap kebenaran para periwayat, berdasarkan kehidupan
dan karakter mereka.[11]
Dengan
melakukan penelitian terhadap obyek diatas, maka akan dapat diketahui apakah
kredibilitas para periwayat dalam hadis tersebut diakui dan apakah
istilah-istilah yang digunakan dalam menerima dan menyampaikan hadis atau yang
lazim dikenal dengan adat at-tahammul wa al-ada’[12]nya
menunjukkan bahwa itu otentik hadis Nabi.
Untuk
mengetahui sumber dan kualitas suatu hadis, terlebih dahulu uraian perlu
membahas takhrij, yang menjelaskan asal usul sumber hadis berikut proses
menilai kualitas hadisnya.
Yang
dimaksud takhrij adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai
kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber
itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang
bersangkutan.[13]
Dari takhrij di sini, suatu hadis dapat diketahui asal usulnya, di kitab
apa saja hadis dimuat dan diriwayatkan melalui jalur sanad siapa.
Adapun metode takhrijul hadits ada dua
macam, yaitu:
a.
Metode
Takhrijul Hadits bil Lafzi.
Yaitu metode penelusuran hadis melalui
lafal. Penelusurannya menggunakan kitab
kamus hadis yang disusun oleh Tim Dr. A.J. Wensink, yang sekarang sudah ditahqiq
ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dengan judul al-Mu’jam
al-Mufahras Li al-Fadz al-Hadis al-Nabawi. Kitab ini mampu memberi
informasi kepada pencari matan dan sanad hadis, sepanjang
sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah diketahui.
b.
Metode
Takhrijul Hadits bil maudlu’.
Metode ini adalah penelusuran hadits melalui
topik masalah. Kitab kamus yang digunakan adalahمفتاح كنوز السنة yang juga susunan dari Dr.A.J. Wensinck dkk.
Penelitian
sanad ini dilakukan untuk mengetahui kualitas nilai sanad suatu hadis. Setelah
memperoleh hasil takhrij, Berikut langkah-langkah selanjutnya:
1. Melakukan i’tibar sanad atau
meneliti riwayat rawi dari sanad lain. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
adanya rawi yang bersatatus penguat atau tidak. Biasanya dikenal dengan istilah
syahid/syawahid (apabila dari kalangan sahabat) dan tabi’/tawabi’
(apabila dari kalangan yang bukan sahabat). Untuk mempermudah proses ini, hasil
i’tibar sanad disajikan dalam bentuk skema.
Dalam pembuatan skema, ada
tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yakni pertama, jalur
seluruh sanad, kedua, nama-nama periwayat untuk seluruh sanad,
ketiga, metode periwayatan yang digunakan oleh masing – masing
periwayat.[14]
Dalam
penentuan syawahid dan tawabi’, yang perlu diperhatikan adalah
berkaitan dengan thabaqatur-ruwat[15].
Yaitu hal-hal, martabat-martabat atau derajat-derajat bagi para rawi. Dan yang
dimaksud dalam ilmu hadits adalah persamaan beberapa rawi dalam satu urusan.
Yang dikatakan urusan itu ada bermacam-macam, diantaranya:
a) Bersamaan hidup dalam satu
masa
b) Bersamaan tentang umur,
(kurang lebih)
c) Bersamaan tentang menerima
hadits dari syaikh-syaikh
d) Bersamaan tentang bertemu
syaikh.[16]
2. Meneliti kualitas dan
persambungan masing-masing perawi yang terlibat dalam jalur periwayatan hadis.
Dalam
proses ini, peneliti dapat menelusuri pribadi perawi melalui kitab-kitab rijal
hadis yang telah dihasilkan para ulama’ hadits sebelumnya atau yang biasa
disebut Kutub Al-Rijal. Antara lain :
a. Tahdzib
Al-Kamal,
karangan Al-Mizzy (-742H)
b. Tahdzib
At-Tahdzib,
karangan Adz-Dzahaby (-748h)
c. Al-Kaasyif
Fi Ma’rifat Manlahu Riwayah Fi Kutubissittah, karangan Adz-Dzahaby.
d. Tahdzib
At-Tahdzib,
karangan Ibnu Hajar Al-Asqalany (-852)
e. Taqrib
At-Tahdzib,
karangan Ibnu Hajar Al-Asqalany
Kitab-kitab
di atas memaparkan nama lengkap perawi atau periwayat, kunyah dan laqabnya,
nasab, thabaqat, guru dan murid perawi, serta penilaian ulama’
ahli hadis terhadap kualitas pribadi (‘adil) dan kapasitas intelektual (dhabith)
periwayat.
Dalam
rangka mempermudah proses ini, hasil penelusuran melalui kutub al-rijal dapat
disajikan dalam bentuk tabel. Sehingga identifikasi terhadap kualitas dan
ketersambungan masing-masing perawi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan
mudah.
3. Meneliti metode periwayatan
yang digunakan dalam menerima dan menyampaiakan hadis atau yang lazim dikenal
dengan adat at-tahammul wa al-ada’. Ulama’ hadis telah menetapkan
berbagai istilah atau kata-kata atau harf tertentu untuk menghubungkan
periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad. Kata-kata
atau pernyataan yang dipakai dalam periwayatan dapat dilihat di tabel
(terlampir).
Menurut
ilmu hadits, terdapat delapan cara atau bentuk periwayatan hadits. Yaitu:
a. Sama’. Yaitu murid menghadiri
kuliah seorang ahli hadits. Periwayatan hadits secara sederhana atau diikuti
oleh pengimlaan (pendektean) baik dari hafalan atau catatan berupa buku dan
lain-lain.
b. Qira’ah. Yaitu murid membacakan
hadits-hadits yang telah ia kumpulkan kepada guru hadits.
c. Ijazah. Yaitu mendapat izin atau
ijazah dari seorang ulama’ untuk menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang
telah dikumpulkan oleh ulama’ tersebut.
d. Munawalah. Yaitu mendapat kumpulan
hadits sekaligus izin dari si pengumpulnya untuk menyebarkan isinya kepada
orang lain.
e. Mukatabah. Yaitu menerima
hadits-hadits secara tertulis dari seorang ulama’, baik secara langsung maupun
melalui surat menyurat, dengan atau tanpa izin dari ulama’ tersebut untuk
menarasikannya kepada orang lain.
f.
I’lam ar-rawi. Yaitu pernyataan seorang ulama’ hadits kepada
seorang murid bahwa ia menerima sejumlah hadits tertentu atau buku-buku dari
seorang otoritas tertentu, tanpa memberi izin kepada sang murid untuk
meriwayatkan materi-materi tersebut.
g. Washiyah. Yaitu memperoleh
karya-karya seorang ulama’ hadits atas kehendaknya sendiri, pada saat ia
meninggal.
h. Wijadah. Yaitu menemukan sejumlah
hadits tertentu dalam sebuah buku, mungkin setelah seorang ulama’ hadits
meninggal, tanpa menerimanya dengan otoritas yang diakui.[18]
4. Membuat natijah/kesimpulan.
Setelah
langkah diatas selesai dilakukan, dapat ditarik sebuah kesimpulan untuk
mengetahui kualitas nilai sanad hadis. Adapun, unsur-unsur kesahihan sanad
hadis adalah:
a.
Sanad bersambung
b. Seluruh periwayat dalam sanad
bersifat adil
c. Seluruh periwayat dalam sanad
bersifat dhabith
d. Sanad hadis terhindar dari syudzudz
F. Kritik Matan
Proses
penelitian matan memiliki sasaran matan hadis. Menurut Musfir al-Damini, matan hadis
adalah kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna, dan matan
ini senantiasa terletak setelah ujung terakhir sanad.[20]
Melalui kritik matan, kualitas nilai matan suatu hadis dapat
diketahui.
Dibandingkan
kritik sanad, kegiatan kritik matan memiliki tingkat kesulitan
yang lebih besar. Adapun faktor-faktor yang menonjol penyebab sulitnya
penelitian matan hadis adalah:
1. Adanya periwayatan secara
makna
2. Acuan yang digunakan sebagai
pendekatan tidak satu macam saja
3. Latar belakang timbulnya
petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui
4. Adanya kandungan petunjuk
hadits yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi supra rasional
5. Masih langkanya kitab-kitab
yang secara khusus membahas penelitian matan hadits.[21]
Meskipun
demikian, Dr. Syuhudi Ismail mencoba mengajukan langkah-langkah
metodologis kegiatan penelitian matan hadits sebagai berikut:
a. Meneliti matan dengan melihat
kualitas sanadnya.
b. Meneliti susunan lafal
berbagai matan yang semakna
c. Meneliti kandungan matan. [22]
Dengan
kritik matan ini, kesalahan yang dibuat oleh seorang perawi dapat dikontrol dan
penilaian seorang kritikus terhadap sebuah hadis dapat diferivikasi.[23]
Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih
ada dua macam, yakni terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar
dari illah (cacat).[24] Para ulama’ hadis memberikan tanda-tanda
tolok-ukur bagi matan hadis yang shahih.
Tolok-ukur
penelitian matan yang dikemukakan oleh ulama’ tidak seragam. Salah satu
versi tentang kaidah – kaidah yang harus diletakkan untuk kritik matan menurut
Al-siba’i Adalah sebagai berikut[25]
:
1) Matan tidak boleh mengandung
kata-kata yang aneh yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorika atau
penutur bahasa yang baik.
2) Tidak boleh bertentangan
dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekiranya tidak
mungkin ditakwilkan.
3) Tidak boleh bertentangan
dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlaq.
4) Tidak boleh bertentangan
dengan indera dan kenyataan.
5) Tidak boleh bertentangan
dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu pengetahuan.
6) Tidak mengundang hal-hal yang
hina, yang agama tertentu tidak membenarkannya.
7) Tidak bertentangan dengan
hal-hal yang masuk akal dalam prinsip-prinsip kepercayaan tentang sifat Allah
dan para Rasulnya.
8) Tidak bertentangan dengan
sunnatulloh dalam alam dan manusia.
9) Tidak mengandung hal-hal yang
tak masuk akal yang dijauhi oleh mereka yang berpikir.
10)Tidak boleh bertentangan
dengan Al-Qur’an atau dengan sunnah yang mantap, atau yang sudah terjadi ijma’
padanya, atau yang diketahui dari agama secara pasti, yang sekiranya tidak
mengandung kemungkinan takwil.
11)Tidak boleh bertentangan
dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman nabi Muhammad SAW.
12)Tidak boleh bersesuaian
dengan madzhab rawi yang giat mempropagandakan madzhabnya sendiri.
13)Tidak boleh berupa berita
tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia kemudian
seorang rawi hanya dia seorang yang meriwayatkannya.
14)Tidak boleh timbul dari
dorongan emosional yang membuat rawi meriwaytakannya.
15)Tidak boleh mengandung janji
berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil, atau berlebihan dalam ancaman
yang keras untuk perkara yang sepele.
Menurut
Al-Khatib Al- Baghdadi (wafat 463h/1072 M), suatu matan hadis barulah
dinyatakan maqbul (yakni diterima karena berkualitas shahih), apabila:
a) Tidak bertentangan dengan
akal yang sehat.
b) Tidak bertentangan dengan
hukum Al-Qur’an yang telah muhkam.
c) Tidak bertentangan dengan
hadits mutawattir.
d) Tidak bertentangan dengan
amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama’ masa lalu (ulama’ salaf).
e) Tidak bertentangan dengan
dalil yang telah pasti
f) Tidak bertentangan dengan
hadits ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.[26]
Kaidah
yang diletakkan untuk kritik matan menurut Abu Bakar Ahmad bin Ali bin
Tsabit adalah[27]
1. Tidak bertentangan dengan
rasio
2. Tidak bertentangan dengan
al-Qur’an
3. Tidak bertentangan dengan sunnah
mutawatirah
4. Tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang berdasarkan sunnah mutawatirah
5. Tidak bertentangan dengan
dalil-dalil qath’i.
Dari
kutipan di atas, setelah kita melakukan penelitian terhadap matan dengan
menatap matan tersebut dari salah satu sudut pandang di atas, maka kondisi
matan dapat dilihat secara jelas. Dari sudut pandang itulah, akhirnya suatu
matan hadis dapat ditarik kesimpulannya.
Setelah
langkah di atas selesai, sebagai hasil penelitian dapatlah ditarik suatu
kesimpulan penelitian hadis (natijah). Apabila matan yang
diteliti ternyata shahih dan sanadnya juga shahih, maka
dalam natijah disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas shahih.
Apabila matan dan sanadnya berkualitas dhaif, maka dalam natijah
disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas dhaif. Apabila matan
dan sanad berbeda kualitasnya, maka perbedaan tersebut harus dijelaskan.[28]
Kualitasnya
dapat dinyatakan dengan menyebutkan kualitas sanad dan matannya
masing-masing. Apabila sanad hadisnya hasan dan matan hadisnya shahih,
maka dalam natijah disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas hasan
shahih (hasan al-isnad dan shahih al-matan). Hal-hal tersebut
dapat dijadikan pertimbangan dalam rangka menarik suatu kesimpulan dari suatu
aktivitas penelitian hadis.
[3] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 229.
[10]Umma Farida, Paradigma Periwayatan dan
Kritik Matan Hadis Perspektif Jamal al-Banna, (Yogyakarta: Idea Press,
2009), hlm. 59.
[12]Tahammul berarti mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan metode
tertentu. Sedangka ada’ berarti meriwayatkan hadits dan menyampaikannya
kepada orang lain dengan menggunakan bentuk kata tertentu. Jadi, tahammul wa
ada’ al-hadits adalah proses periwayatan hadits, baik menerima atau
menyampaikannya secara sengaja dengan menggunakan teori dan metode tertentu
demi terpeliharanya hadits. Lihat Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadits,
(Gorontalo: Sultan Amai Press, 2008), hlm. 87.
[15]Thobaqot dapat diartikan dengan kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu
generasi atau satu masa dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama
dalam periwayatan saja. Maksud berdekatan dalam isnad adalah satu perguruan
atau satu guru atau diartikan berdekatan dalam berguru. Jari, para gurunya
sebagian periwayat juga menjadi para gurunya sebagian periwayat yang lain.
Lihat Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 109.
[17]Mahmud Al-Tohhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij
Dan Studi Sanad, (Semarang: Dina Utama, 1995), hlm. 164.
[20]Umma Farida, Paradigma Periwayatan dan
Kritik Matan Hadis Perspektif Jamal al-Banna ..., hlm. 59.
[23]Phil. H. Kamaruddin Amin, Menguji Kembali
Keakuratan Metode Kritik Hadits, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 57.
[25]Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan
Al-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 204-206.
[26]Salahuddin Bin Ahmad Al-Adlabi, Manhaj
Naqdil Matan, (Beirut: Dar Al-Afaq Al-Jadidah, 1983), hlm. 126.
[27]Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit, Al-Kifayah
fi Ilm al-Riwayah, (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, tth), hlm. 432.