Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Status Anak Luar Pernikahan (Kajian Qawa’id Al-Fiqhiyah Terhadap Putusan MK)


PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Status anak di luar pernikahan memasuki babak yang baru pasca dikeluarkannnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang berbunyi: “anak yang dilahirkan di luar pernikahan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarganya”.[1]
Selama ini yang dikenal dalam ketentuan Pasal 43 UU Perkawinan, bahwa setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hal keperdataan secara yuridis normatif tidak mempunyai hubungan dengan ayah biologisnya, meskipun diketahui secara pasti siapa ayah biologisnya. Sehingga seorang anak tersebut tidak dapat menuntut hak-haknya secara keperdataan baik dalam hal nafkah, pendidikan maupun warisan. Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibunya selaku sesosok yang melahirkannya.
Pencantuman keterangan sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama ayahnya akan berdampak negatif baik dalam tatanan sosial mapun psikologis anak dan juga ibunya.
Namun, pasca putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan dengan teknologi atau alat bukti yang sah menutu hukum, sehingga kedudukan anak luar nikah seakan memasuki dunia yang akan mengayominya. Persoalan ini dalam beberapa waktu membuat greget dan geger lapisan masyarakat, khususnya orang islam.
B.     Rumusan Masalah
Berkaitan dengan persoalan status anak di luar nikah tersebut. Maka dari itu penulis bermaksud untuk menggali pemahaman tersebut dari perspektif fiqh dengan menggunakan qawa’id al-fiqhiyah.
1.      Bagaimana perspektif fiqh dengan menggunakan qawa’id al-fiqhiyah terhadap persoalan putusan MK tentang status anak di luar nikah?
PEMBAHASAN
A.     Pemahaman Anak di Luar Nikah
Apabila diperhatikan dengan seksama dalam putusan tersebut, maka ada kata-kata dalam teks yang mempunyai makna ambigu, yaitu kata-kata “anak yang di luar pernikahan”. Ada dua kemungkinan lingkup pengertian “anak di luar pernikahan” dalam putusan ini. Pertama, sesuai dengan konteksnya yaitu anak yang dilahirkan dari hasil nikah sirri yaitu pernikahan yang tidak dicatatkan. Kedua, anak yang dilahirkan dari hasil kumpul kebo.[2] Sedangkan menurut  Chatib Rasyid, selaku Ketua PTA Semarang mengatakan bahwa yang dimaksud di luar nikah dalam putusan MK ini adalah anak yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan. Sehingga ia membagi menjadi 2 jenis anak yang tidak sah, yaitu pertama anak yang sah secara materiil tapi tidak sah secara formil[3], yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah tetapi tidak dicatatkan pada KUA atau Kantor Pencatatan Sipil. Kedua anak yang tidak secara materiil dan juga tidak sah secara formil, seperti anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada ikatan perkawinan.[4]
Hal ini berdasarkan dari status pernikahan yang dilakukan oleh suami isteri, yaitu dicatatkan atau tidak pernikahan tersebut. Sebab definisi nikah para ulama’ fiqih adalah akad yang diatur oleh agama yang menjadikan kehalalan hubungan suami isteri.[5] Dan anak yang dihasilkan statusnya anak yang sah. Sedangkan menurut pemerintah bahwa pernikahan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa.[6]
Perbedaan yang mendasar di antara kedua pandangan tersebut adalah dalam konsep agama nikah dengan syarat dan rukun tertentu yang sesuai dengan hukum agam yang menjadikan kehalalan hubungan suami isteri. Sementara dalam konsep negara, perkawinan dengan syarat administrasi yang telah diatur oleh negara menjadikan hubungan suami isteri telah resmi dan diakui oleh pemerintah. Sehingga akibat dari ini adalah istilah anak di luar pernikahan yaitu bisa jadi anak yang dilahirkan dari pernikahan tapi tidak dicatatkan atau memang anak yang tidak hasil dari pernikahan secara agama.
Mengingat putusan MK ini bersifat mengikat dan final, maka akibat hukum langsung dari putusan ini adalah adanya penegasan bahwa hubungan keperdataan anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan yang sebelumnya ditetapkan hanya dengan ibu dan keluarganya, pasca putusan ini juga dengan ayah biologis dan keluarganya. Termasuk hak keperdataan tersebut adalah relasi keperdataan yang lain seperti masalah hak nafkah, perwalian, kewarisan dan sejenisnya. Dalam islam ini sangat erat dengan norma agama.
Sedangkan dalam Islam, kita jumpai dari beberapa hadits yang menyebutkan anak zina yaitu anak yang lahir dari pernikahan yang tidak sah. Sehingga dalam Islam ada dua konsep anak yaitu anak yang yang lahir dari pernikahan yang sah dan anak yang lahir dari luar pernikahan yang sah, anak ini disebut dengan anak zina. seperti dalam hadits berikut;
قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا " لأهل أمه من كانوا" . رواه أبو داود[7]
B.     Status anak Luar Nikah
Pada dasarnya, semua anak yang terlahir ke dunia ini dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan apapun dari segala perbuatan orang tuanya atau pun orang lain, meskipun ia terlahir sebagai hasil zina (anak hasil pernikahan yang tidak sah).
عن ‏أبي هريرة ‏رضي الله عنه قال ‏‏قال النبي ‏صلى الله عليه وسلم ‏كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه  . رواه البخارى[8]
Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR al-Bukhari)

وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ   (الانعام : ١٦٤)
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (QS. Al-An’am : 164)

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (الزمر : ٧)
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu. (QS. Al-Zumar: 7)

Berdasarkan dari pemetaan anak yang di luar nikah di atas maka, di sini dibedakan antara anak dari pernikahan yang tidak dicatatkan dengan anak yang benar-benar tidak ada pernikahan secara agama. Untuk anak yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan maka anak tersebut nasabnya kepada ibu dan bapaknya. Dan hal yang seperti ini sejalan dengan syari’ah, meskipun tidak dicatatkan karena pencatatan nikah tidak merupakan syarat dan rukun akad nikah.
Sedangkan anak yang lahir tidak dari dari suatu pernikahan maka di sini jelas pula statusnya, yaitu dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya. Dan mereka berhak mendapatkan perlakuan yang baik. Akan tetapi dalam realitas masyarakat anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yag menyebabkan kelahirannyya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak diangggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahirannnya hanya dinisbatkan kepada ibunya.
Namun  dalam hadits terkait dengan status anak zina disebutkan bahwa anak hasil zina atau anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah dinasabkan kepada ibunya.[9] Setiap anak zina tidak ada hubungan kewarisan dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannnya. Akibatnya anak tersebut hanya saling mewarisi dengan ibunya. Sebagiaman hadits nabi
قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا " لأهل أمه من كانوا" . رواه أبو داود[10]
Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud)

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث "  رواه الترمذى[11]
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)

Berdasarkan nash-nash yang jelas di atas bahwa jelas anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapaknya. Dengan begitu, anak tersebut hanya ada hubungan nasab wariasan, wali nikah dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dengan adanya nash yang menanggapi tentang suatu masalah maka tidak ada ijtijad tentang masalah tersebut. Karena dalam melakukan istinbath al-hukum terlebih dahulu melihat pada nash yaitu al-Qur’an Hadits, kemudian Ijtima’ para Ulama’ terkait dengan persoalan tersebut. Apabila sudah ada di dalam nash maka permasalahan tersebut dikembalikan pada nash. Ini sesuai dengan qawa’id al-ushuliyah
لا اجتهاد في مورد النص
“Tidak ada ijtihad di hadapan nash”

Putusan MK ini usaha untuk memberikan perlindungan kepada anak dengan cara memberikan status hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Memang ini dapat memberikan sedikit ruang kegembiraan. Akan tetapi apabila putusan ini diberlakukan kepada status anak zina juga, dalam artian ada hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, maka akan mendatangkan madharat juga, seperti contoh anak yang merupakan hasil pemerkosaan.
Dalam kasus ini, pemberian hubungan keperdataan justru akan menyiksa anak dan ibunya. Hal lain, pemberian hubungan keperdataan antara anak di luar nikah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak hanya menyebabkan adanya tanggung jawab laki-laki pada anaknya, tetapi laki-laki tersebut dengan juga memiliki hak untuk mengasuh. Artinya dengan hubungan keperdataan tersebut, dia memiliki hak kuasa asuh yang bisa jadi justru melahirkan konflik dengan ibunya. Belum lagi dari perspektif hubungan anak dengan bapak, maka putusan ini bisa mengakibatkan ketidakadilan terhadap dalam menjalani keluarga, khususnya dalam hal kewarisan dan keperdataan lainnnya.
Tidak dipungkiri ini hal ini dapat mendatangkan mashlahah untuk menghilangkan madharat pada anak dan juga mengurangi beban ibu dalam mengurusi anak tersebut, tapi apabil hal itu diperhatikan dengan lebih luas maka hal ini juga dapat mendatangkan madharat, bahkan bisa dikatakan madharat-nya itu lebih banyak.
Selain itu juga, mempertimbangkan Maka
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَر[12]
“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ[13]
“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.

إذا تعارضت المصلحة والمفسدة روعي أرجحهما[14]
“Apabila bertentangan antara mashlahat dan mafsadat maka dihindari yang paling rajih di antara keduanya”.

Atau dalam kaidah lain disebutkan,
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أَوْ ضَرَرَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا[15]
"Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil."

Apabila MK berupaya untuk melindungi anak, maka alangkah baiknya yang dimaksud dengan hubungan keperdataan ini tidak memasukkan di dalamnya nasab, wali nikah dan warisan. Sebab apabila ketiga hal ini masukkan maka hal ini bertentangan dengan norma agama yang telah dijelaskan dalam nash. Sehingga ini sebagai bentuk hukuman (ta’zir) dari pemerintah agar ayah biologisnya itu bertangung jawab atas akibat dari perbuatannnya, seperti dengan bentuk memberikan nafkah dan biaya untuk pendidikannnya. Dan kebijakan seperti ini akan mendatangkan mashlahat bagi anak dan ibu dalam perekonomian. Dan kebijakan ini bisa diberlakukan berdasarkan kaidah
تصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصَلَحَةِ
Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”

KESIMPULAN
Status anak dalam persoalan ini dapat dipetakan menjadi tiga, yaitu anak yang sah menurut agama dan diakui oleh negara, anak yang sah menurut agama tapi tidak diakui oleh negara dan anak perzihanan yaitu anak yang lahir tidak dari suatu pernikahan secara agama.
Untuk status anak yang sah tidak ada persoalan, begitu juga anak yang lahir dari pernikahan yang sah secara agama secara agama mereka dinasabkan kepada bapak dan ibu. Sehingga nantinya ada hubungan wali nikah, nasab dan warisan. Dan ini berbeda dengan anak perzinahan dalam segi penasabannnya. Ketentuan status anak perzinahan atau anak yang lahir dari suatu pernikahan yang sah dalam Islam dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya. Karena ini sudah ada nash yang menjelaskan tentang hal itu. Meskipun ini akan membuat madharat kepada anak dan ibu.
Memang, apabila anak perzinahan dinasabkan juga kepada ayah biologis maka nasib anak ini bisa terjamin kehidupannya. Akan tetapi hal ini juga akan mendatangkan madharat juga bagi anak hasil pemerkosaan dan lain sebagainya. Sehingga dalam hal ini kembali kepada kaidah Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.



PENUTUP
Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan tentang status anak di luar pernikahan dalam konteks fiqh. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan bahan pertimbangan untuk kita semua dalam melangkah ke depan. Dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dari berbagai segi. Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, juz. 2, t.t.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadits Nomor 1930, Maktabah Syamilah.
Al-Jaziri, A. Rahman, Al-Fqih ‘Ala Mazhahib al-Arba’ah, jilid IV, t.t. 1-3.
Al-Lujjaji, Abdullah Ibn Sa’id, Al-Qawa’id sl-Fiqhiyah, Indonesia: Darul Al-Rohman, t.t.
Al-Thirmidzi, Sunan Al-Thirmidzi, Hadits Nomor 2039, Maktabah Syamilah.
Hakim,  Abdul Hamid, Al-Sullam, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, 2007
Imam Bukhari,  Shahih Bukhari, Hadits Nomor. 1296. Maktabah Syamilah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, PDF yang didonwload pada tanggal 31 Mei 2012.
Rasyid, H. Chatib, Makalah yang disampaikan pada saat Seminar Nasional dengan tema “Status Anak Luar Nikah dan Hak-Hak Keperdataan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang diselenggarakan oleh IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 10 April 2012.
Sholeh, Asrorun Ni’am, Perlindunagn Anak Terhadap anak di Luar Pernikahan, makalah ini disampaikan pada saat Seminar Nasional dengan tema “Status Anak Luar Nikah dan Hak-Hak Keperdataan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang diselenggarakan oleh IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 10 April 2012.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. File berbentuk PDF yang didownload dari www.hukumonline.com pada tanggal 30 Mei 2012.



[1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, PDF yang didonwload pada tanggal 31 Mei 2012.
[2] Asrorun Ni’am Sholeh, Perlindunagn Anak Terhadap anak di Luar Pernikahan, makalah ini disampaikan pada saat Seminar Nasional dengan tema “Status Anak Luar Nikah dan Hak-Hak Keperdataan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang diselenggarakan oleh IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 10 April 2012.
[3] Sebagaimana dalam pasal 42 ayat (1) UU. No.1 Tahun 1974 yang berbunyi: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing kepercayaannya itu”. Dan ayat (2) yang berbunyi: tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[4] Lihat dalam makalah H. Chatib Rasyid yang disampaikan pada saat Seminar Nasional dengan tema “Status Anak Luar Nikah dan Hak-Hak Keperdataan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang diselenggarakan oleh IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 10 April 2012.
[5] A. Rahman al-Jaziri, Al-Fqih ‘Ala Mazhahib al-Arba’ah, jilid IV, t.t. 1-3.
[6] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. File berbentuk PDF yang didownload dari www.hukumonline.com pada tanggal 30 Mei 2012.
[7] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadits Nomor 1930, Maktabah Syamilah.
[8] Imam Bukhari,  Shahih Bukhari, Hadits Nomor. 1296. Maktabah Syamilah.
[9] Abu Bakar al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, juz. 2, t.t. hlm. 128.
[10] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadits Nomor 1930, Maktabah Syamilah.
[11] Al-Thirmidzi, Sunan Al-Thirmidzi, Hadits Nomor 2039, Maktabah Syamilah.
[12] Abdul Hamid Hakim, Al-Sullam, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, 2007), hlm. 72
[13] Ibid.
[14] Ibid, hlm. 73
[15] Abdullah Ibn Sa’id al-Lujjaji, Al-Qawa’id sl-Fiqhiyah, (Jakarta: Darul Al-Rohman, t.t.), hlm. 44.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini