Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Dilema Kredit Sosial

Perjuangan masyarakat untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya terus berjalan. Mereka saling menopang untuk bahu-membahu dalam rangka menutupi keterbatasan. Ketergantungan antara satu dengan yang lain ini masih menjadi andalan. Keadaan demikian membuat mereka terasa nyaman dan sangat membantu.  Dalam kondisi ini pula, mereka merasa sangat butuh terhadap keterbantuan yang datang dari setiap orang.
Keterbantuan ini sangat mereka rasakan manakala di setiap kebutuhan dalam rangka melangsungkan hidup ini tertutupi dan terpenuhi. Sebab tanpa keterbantuan yang datang ini, mareka merasa akan termusnahkan oleh segala hal yang ada di sekitarnya. Sehingga keterbantuan ini menjadi sebuah harapan yang paling ditunggu dan diharapkan, apapun bentuk keterbantuan yang datang. Tetapi merasa keterbantuan mereka itu tidak lain sebuah penindasan yang diramu dalam keterbantuan.
Salah satu keterbatuan yang masyarakat yang selama ini berkembang adala ketika “duwe gawe” atau ingin merayakan sebuah perayaan apa pun, seperti menikahkan anaknya, walimatul khitan dan sebagainya. Kebutuhan ketika ingin mengadakan “duwe gawe” ini tidak sedikit, mulai menyiapkan aneka makanan, minuman, menyewa “tratak” dan yang lain. “Duwe gawe” yang apabila ditanggung sendiri mereka merasa berat dan tidak mampu memenuhi segala keperluannya, maka mereka merasakan angin segar dengan adanya keterbantuan dari saudara dan warga sekitar yang berada di lingkungannya. Kegelapan yang mereka takutkan pun tidak takut lagi dihadapi sebab akan ada lampu penerangnya.
Saudara dan warga sekitar menjelang “duwe gawe” berdatangan membawa kebutuhan yang diperlukan seperti beras, gulan teh, kelapa dan yang lain. Bahkan dari sekian orang ada yang membawa berupa uang. Segala macam bantuan yang akan membantu kebutuhan “duwe gawe” ini menenangkan warga yang ingin mengadakan “duwe gawe”. Meskipun beban yang akan dijalani berat ketika “duwe gawe”, namun mereka dapat tidur pulas, seperti tanpa beban dan terninakbobokan olehnya.
Keterbantuan mereka bukanlah keterbantuan tanpa ada akibat. Justru akibat dari keterbantuan ini berupa keharusan membalikkan apa yang telah diterima senilai dengan orang yang memberikan bantuan. Keharusan ini menjadi pengikat di antara mereka, manakala yang telah memberikan bantuan harus dikembalikan ketika orang yang membantu akan mengadakan “duwe gawe”. Keadaan ini semakin menjadi kuat dan menyiksa ketika telah sampai pada waktu mengembalikan namun orang yang pernah dibantu dalam kondisi terbatas.
Keadaan orang yang pernah dibantu yang terbatas ini pun harus memutar kepala sekeras-kerasnya untuk mengambil solusi dalam rangka menebus “kredit sosial” yang berjalan. Pada ujungnya menjual harta yang dimiliki menjadi salah satu pilihan, seperti menjual tanah, menjual ternak dan sebagainya. Bahkan alternatif yang ditawarkan oleh “lintah darat” seperti yang digaungkan oleh para rentenir dan lembaga-lembaga yang memberikan jasa pinjaman memberikan solusi yang dapat “diandalkan”.
Dinamika ini tidak lain adalah hanya tutup sulam tanpa ujung akan terus berlanjut untuk meneruskan keadaan yang semakin memkeruh air comberan. Pengembalian pinjaman harus ditanggung tiap bulan bagi peminjam dengan penambahan angka yang tak sesuai dengan yang dipinjam. Semakin lama peminjam menunda pengembalian pinjaman, maka semakin besar pula yang harus dikembalikan. Sebab tidak ada sebuah ada lembaga pemberi jasa yang memberikan jasanya tanpa ada imbal balik. Bahkan pemberi jasa itu sebanyak mungkin mencari keuntungan bermodalkan jasa yang diberikan. Di sinilah air comberan yang sudah keruh menjadi semakin keruh lagi.
Bagi yang mampu dan sanggup mengarungi samudra yang penuh badai, mungkin itu terasa aman untuk terus berlayar. Namun bagi yang merasa tak memiliki keterbatasan dan kelengkapan kapal, harus mematangkan niatan untuk berlayar. Bahkan mereka pun harus mengikuti arus yang tak tahu arahnya. Arus ini mengharuskan mereka menerima sanksi sosial pun berlaku di lingkungan tersebut.
Apabila mereka telah berani memutuskan untuk mengikuti arus “kredit sosial”, maka mereka pun harus siap mengalami “sanksi sosial”. Sanksi sosial yang berupa pengucilan terasa lebih menyakitkan dan menganggap keberadaannya tidak dianggap. Dalam kondisi demikian apabila mereka yang tak mampu memberikan dan mengembalikan “kredit sosial” ini itu berarti mengikhlaskan dirinya keluar dari dalam ruang keterasingan. Ucapan “sampai jumpai lagi” dengan keterpaksaan harus terucap dari bibirnya.

Sleman, 13 Agustus 2015.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini