Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Konsep Al-Qur'an Tentang Tuhan



MAKALAH


OLEH: 
MUHAMAD ZAINAL MAWAHIB (092111127)
MAHASISWA FAKULTAS SYARI'AH
IAIN WALISONGO SEMARANG

KONSEP AL-QUR'AN TENTANG TUHAN


PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
Keberadaan alam semesta yang ada sekarang ini tidak ada dengan begitu saja, tanpa ada yang mengadakan. Semua umat manusia -kecuali orang atheis- mempercayai adanya Tuhan sebagai Pencipta yang sekaligus mengatur alam raya ini. Karena ini merupakan sebuah fitrah yang dimiliki manusia (Al-Rum:30)[1]. Kalau kita menengok sejarah, banyak sekali konsep Tuhan kepercayaan manusia. Di antaranya seperti orang-orang Yunani yang menganut paham politeisme (keyakinan banyak Tuhan): Bintang adalah Tuhan (Dewa). Venus adalah Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan, sedangkan Tuhan Tertinggi adalaha Apollo atau Matahari.
            Selain itu ada orang-orang Hindu yang menyakini bahwa dewa-dewa dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka. Hal itu terlihat dalam Hikayat Mahabarata. Masyarakat Mesir tidak terkecuali, mereka menyakini adanya Dewa Iziz, Dewi Oziris dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia pun demikian menyakini bahwa ada tuhan Gelap dan Tuhan Terang.[2]
            Keyakinan tentang adanya Maha Penguasa ini juga dimiliki oleh masyarakat Arab, mereka lebih bersifat politeisme. Walaupun ketika mereka ditanya tentang Pencipta langit dan bumi, mereka menjawab "Allah", namun anggapan mereka keliru atas "Allah". Mereka menganggap Allah merupakan golongan Jin, memiliki anak-anak wanita dan manusia karena tidak mampu berdialog dengan Allah, karena ketinggian dan kesucian-Nya. dengan begitu mereka, menjadikan malaikat-malaikat dan berhala-berhala untuk disembah sebagai perantara mereka dengan Allah.
            Itu lah di antara sekian banyak keyakinan tentang Pencipta dibalik keberadaan langi dan bumi serta isinya. Memang bermacam-macam konsep yang ditawarkan. Hal itu muncul karena masalah Tuhan adalah sebuah permasalahan metafisika. Dimana metafisika berkenaan dengan sebab-sebab puncak dari obyek-obyek yang berada di luar pengamatan dan pengalaman.[3]
            Agama Islam melalui kitab suci Al Qur'an datang dengan membawa ajaran tauhid untuk meluruskan keyakinan yang salah. Sebagaimana tujuan diturunkannya al-qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia. Dimana al Qur'an mengarahkan kita kepada tujuan hidup yang benar dan mampu membebaskan diri dari kegelapan menuju terang benderang.[4]
Makalah ini akan berusaha menguraikan tentang konsep Tuhan yang ada di dalam al Qur'an. Dengan tujuan kita dapat memahami secara mendalam tentang pemahaman konsep Tuhan yang ada di al Qur'an.
b.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok utama dalam pembahasan makalah ini adalah konsep al-Qur'an tentang Tuhan. Pembahasan tersebut dapat dibentuk dalam sebuah rumusan masalah sederhana agar mempermudah dalam memahami. Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana cara al qur'an dengan melalui istilah-istilahnya memperkenalkan konsep Tuhan kepada masyarakat Pra-Islam?
2.      Bagaimana argumentasi al qur'an dalam menjelaskan tentang keesaan Tuhan?
PEMBAHASAN
a.      Konsep Tentang Tuhan di Arab Pra-Islam
Masyarakat Arab Jahiliyah pada saat itu, ketika Nabi Muhammad diutus, merupakan kaum yang sudah mengenal kata "Allah". Kata "Allah" sudah biasa digunakan oleh kaum Kafir Quraisy Mekkah. Sebagai contoh adalah Abdullah yang merupakan nama ayahanda Nabi Muhammad.
Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa semitik, dan istilah Arab Allah atau al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti "Tuhan". El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau sang Tuhan. Ia adalah kata Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena itu, menurutnya, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten, bukan hanya dengan al-Qur'an dan tradisi Islam, tetapi juga dengan tradisi-tradisi biblikal tertua".[5]
Dengan begitu, konsep pemahamannya berbeda dengan agama Islam. Arab Pra-Islam memang mengenal Allah sebagai Pencipta dan bersumpah atas nama Allah, namun anggapan mereka yang salah dalam memahami Allah itu sendiri. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ (61) اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (62) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (63)
"Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba- hamba-Nya dan dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya). (Al-'Ankabut [29]:61-63)
Mereka menganggap bahwa ada hubungan antara Allah dan golongan jin,
وَجَعَلُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَبًا وَلَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ إِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ (158)
 "Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. dan Sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka ).", (As-Saffat: 158)
Dan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita.
أَفَأَصْفَاكُمْ رَبُّكُمْ بِالْبَنِينَ وَاتَّخَذَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ إِنَاثًا إِنَّكُمْ لَتَقُولُونَ قَوْلًا عَظِيمًا (40)
"Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya).", (Al-Isra': 40)
Serta mereka menyakini bahwa manusia tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah karena ketinggian dan kesucian-Nya, sehingga mereka menjadikan malaikat-malaikat dan berhala-hala untuk disembah sebagai perantara mereka kepada Allah.
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (3)
"Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.", (Az-Zumar: 3)
Konsep "Allah" sebagai "Rabb" di kalangan Kafir Quraisy tidak menyetuh esensi Allah SWT. Karena mereka banyak menggunakan kata "Allah" untuk tuhan-tuhan manurut mereka masing-masing. Di dalam ka'bah sendiri terdapat 360 barhala, yang seluruhnya sebagai bahan sembahan para kabilah-kabilah bangsa arab sebagai wujud keyakinan bertuhan.[6] Semuanya merujuk pada konsep Rabb, karena tidak ada yang berani menamakan berhala mereka sebagai "Allah", karena Allah satu dzat yang tidak dapat disentuh.[7]
Mereka mencampur-adukan antara monoteisme yang dibawa nabi Ibrahim dan paganism (kepercayaan kepada berhala untuk disembah). Kepercayaan ini muncul, bermula dengan adanya berhala yang dibawa ke tanah Arab oleh Amr bin Luhay.[8]
Berdasarkan penjelasan singkat tersebut dapat dipahami bahwa konsep Tuhan pada masa Pra-Islam lebih bersifat politeisme (keyakinan Tuhan banyak). Walaupun kepercayaan mereka seperti itu, tetapi mereka menyakini bahwa Tuhan itu satu.
b.     Iatilah-Istilah Al-Qur’an Menyebut Tuhan
Agama islam adalah agama yang mengenalkan Tuhan dengan melalui isi kandungan ayat-ayat al-Qur'an. Kata "Allah " dalam al-Qur'an terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam wahid, ahad, ar-Rabb, Al-Ilah atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum atatu kewajaran beribadah kepada selain-Nya serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada penjelesan tentang tauhid.[9]
 Dari kata-kata tersebut yang kembali pada Tuhan kemudian dikenal dengan istilah"Al-Asma’ Al-Husna".
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأَسْمَاء الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (24)
"Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."(QS. Al-Hasyr: 24).
Menurut jumhur ulama jumlahnya ada 99. Ini berdasarkan hadits:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلَّهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا مَنْ حَفِظَهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
 "Rasulullah bersabda: Allah mempunyai 99 nama, bagi siapa yang menjaganya maka dia masuk surga, dan sesungguhnya Allah itu ganjil, maka  Allah menyukai sesuatu yang ganjil."(HR. Muslim)[10]
Dan perincian jumlah tersebut sebagaimana yang ada di Kitab Sunan Ibnu Majah.[11]
حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا إِنَّهُ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ مَنْ حَفِظَهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَهِيَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الصَّمَدُ الْأَوَّلُ الْآخِرُ الظَّاهِرُ الْبَاطِنُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ الْمَلِكُ الْحَقُّ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ الْعَلِيمُ الْعَظِيمُ الْبَارُّ الْمُتْعَالِ الْجَلِيلُ الْجَمِيلُ الْحَيُّ الْقَيُّومُ الْقَادِرُ الْقَاهِرُ الْعَلِيُّ الْحَكِيمُ الْقَرِيبُ الْمُجِيبُ الْغَنِيُّ الْوَهَّابُ الْوَدُودُ الشَّكُورُ الْمَاجِدُ الْوَاجِدُ الْوَالِي الرَّاشِدُ الْعَفُوُّ الْغَفُورُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ التَّوَّابُ الرَّبُّ الْمَجِيدُ الْوَلِيُّ الشَّهِيدُ الْمُبِينُ الْبُرْهَانُ الرَّءُوفُ الرَّحِيمُ الْمُبْدِئُ الْمُعِيدُ الْبَاعِثُ الْوَارِثُ الْقَوِيُّ الشَّدِيدُ الضَّارُّ النَّافِعُ الْبَاقِي الْوَاقِي الْخَافِضُ الرَّافِعُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الْمُعِزُّ الْمُذِلُّ الْمُقْسِطُ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ الْقَائِمُ الدَّائِمُ الْحَافِظُ الْوَكِيلُ الْفَاطِرُ السَّامِعُ الْمُعْطِي الْمُحْيِي الْمُمِيتُ الْمَانِعُ الْجَامِعُ الْهَادِي الْكَافِي الْأَبَدُ الْعَالِمُ الصَّادِقُ النُّورُ الْمُنِيرُ التَّامُّ الْقَدِيمُ الْوِتْرُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
 Sebenarnya dalam masalah jumlah "Al-Asma'ul Al-Husna" ini ada perbedaan,. Itu dikuatkan dengan adanya pendapat yang diambil oleh Ibnu Al-'Arabi dari sebagian ahli sufi dalam kitab Syarah Al-Tirmidzi, bahwa Allah mempunyai seribu nama dan Rasul-Nya juga mempunyai seribu nama.[12]
Ini berbeda dengan pendapat yang disebutkan oleh Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya dari sebagian golongan, menyatakan bahwa Allah mempunyai 5000 (lima ribu) Nama: Seribu di terdapat di dalam Al-Qur'an dan Hadits Shahih, Seribu di kitab Taurat, Seribu di Kitab Injil, Seribu di kitab Zabur dan Seribu di Al-Lauh Al-Mahfudz.[13]
Berbeda lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Husain Ath-Thabathaba'I. Dia menyimpulkan bahwa ada 127 nama Allah yang ditemukan dalam Al-Quran, kesemuanya merupakan Al-Asma' Al-Husna. Rinciannya dikemukakan dalam Tafsirnya Al-Mizan ketika menafsirkan QS. Al-A'raf : 180.
c.      Al-Qur’an Memperkenalkan Tuhan
Uraian al-Qur’an tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad Saw dimulai dengan pengenalan tentang dan sifat-Nya. Ini terlihat secara jelas ketika wahyu pertama turun.[14]
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."(QS. Al-'Alaq: 1-5)
Dalam rangkaian ayat-ayat yang terdapat di dalam wahyu pertama kali turun menunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kata Rabbuka (Tuhanmu), bukan kata "Allah".[15] Hal ini menggarisbawahi bahwa wujud Tuhan Yang Maha Esa dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya.
Dari satu sisi memang dikenal satu ungkapan yang oleh sementara pakar dinilai sebagai Hadis Qudsi yang berbunyi:[16]
"Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak untuk dikenal, maka Ku ciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku".
Di sisi lain, tidak digunakannya kata" Allah" pada wahyu-wahyu awal itu adalah dalam rangka meluruskan keyakinan kaum musyrik, karena mereka juga menggunakan kata "Allah" untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan mereka tentang Allah berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh Islam.[17]
Dari kekeliuran-kekeliuran tersebut, al-Qur'an melakukan pelurusan-pelurusan yang dipaparkannya dengan berbagai gaya bahasa, cara dan bukti. Sekali dengan pernyataan yang didahului dengan sumpah, misalnya:
وَالصَّافَّاتِ صَفًّا (1) فَالزَّاجِرَاتِ زَجْرًا (2) فَالتَّالِيَاتِ ذِكْرًا (3) إِنَّ إِلَهَكُمْ لَوَاحِدٌ (4) رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَرَبُّ الْمَشَارِقِ (5)
"Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya[18], Dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat), Dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran, Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa. Tuhan langit dan bumi dan apa yang berada di antara keduanya dan Tuhan tempat-tempat terbit matahari." (QS. Al-Shaffat: 1-5).
Dalam ayat lain diajukan pertanyaan yang mengandung kecaman, seperti:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39)
"Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?", (QS. Yusuf: 39)
Dan juga al-Qur'an menggunakan perumpamaan, seperti:
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41)
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka Mengetahui." (QS Al-'Ankabut: 41)
Ayat ini member perumpamaan mengenai orang-orang yang meminta perlindungan kepada selain Allak, sebagai serangga yang berlindung ke sarang laba-laba. Serangga itu tentu akan terjerat menjadi mangsa laba-laba, dan bukannya terlindungi olehnya. Bahkan jangankan serangga yang berlainan jenisnya, yang satu jenis pun seperti jantan laba-laba, berusaha diterkam oleh laba-laba betina begitu mereka selesai berhubungan seks. Kemudian telur-telur laba-laba yang baru saja menetas, saling tindih-metindih sehingga yang menjadi korban adalah yang tertindih.
Dalam kesempatan lain, al-Qur'an memaparkan kisah-kisah yag bertujuan menegakkan tauhid, seperti kisah Nabi Ibrahim ketika menghancurkan dan memorak-porandakan berhala-berhala kaumnya (Al-Anbiya' ayat 51-71).
d.     Argumentasi Al-Qur’an Tentang Ke-Esa-an Tuhan
Nabi Musa a.s. suatu ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya.
فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ (143)
"Engkau sekali-kali tidak  akan  dapat  melihat-Ku. Tetapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, Maha suci Engkau, aku bertobat  kepada-Mu, dan  aku  orang  yang pertama (dari kelompok) orang beriman".(QS Al-A’raf: 143).
Peristiwa ini membuktikan bahwa manusia agung pun tidak berkemampuan untuk melihat-Nya -paling tidak- dalam kehidupan dunia ini. Agaknya kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa kita dapat mengakui keberadaan sesuatu tanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin, hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah kita mengakui adanya "nyawa" bukan saja tanpa  melihatnya bahkan tidak mengetahui substansinya?
Di sisi lain ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidak dapat melihat sesuatu. Pertama, karena sesuatu yang akan dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir lebih-lebih di malam yang kelam tidak mungkin ditemukan oleh seseorang. Namun kegagalan itu  tidak berarti pasir yang dicari  tidak ada wujudnya. Kedua, karena sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapat melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahaya matahari dibanding dengan kemampuan matanya untuk melihat? Tetapi bila malam tiba, dengan mudah ia dapat melihat.
Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalam beberapa saat saja, bahkan sesaat setelah menatapnya ia akan menemukan kegelapan. Kalau demikian wajar jika mata kepalanya tak mampu melihat Tuhan Pencipta matahari itu.
Dahulu para filosof beragumen tentang wujud dan keesaan Tuhan, yang dikenal dengan bukti ontologi, kosmologi, dan teleologi. Bukti ontologi menggambarkan bahwa kita mempunyai ide tentang Tuhan, dan tidak dapat membayangkan adanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti kosmologi berdasar pada ide "sebab dan akibat" yakni, tidak mungkin terjadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir pastilah Tuhan. Bukti teleologi, berdasar pada keseragaman dan keserasian alam, yang tidak dapat terjadi tanpa ada satu kekuatan yang mengatur keserasian itu.[19]
Bukti-bukti yang dipaparkan tersebut, dikemukakan oleh Al-Quran dengan berbagai cara, baik tersurat maupun tersirat. Secara umum dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti Keesaan Tuhan dengan tiga bagian pokok, yaitu:[20]
1.      Kenyataan Wujud Yang Nampak
Dalam konteks ini, Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai bukti khususnya keberadaan alam raya ini dengan segala isinya. Berkali-kali manusia diperintah untuk melakukan nadzar, fikr,'aql, serta berjalan di permukaan bumi, guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang mewujudkan.
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?"(QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).
أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوجٍ (6) وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (7)
"Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?. Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata." (QS. Qaf:6-7).
Dalam dua ayat tersebut tentang kenyataan tauhid, dikemukakannya keindahan dan keserasian alam. Adapun tentang keserasiannya, maka dinyatakannya:
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ (4)
"Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah." (QS. Al-Mulk:3-4).
2.      Rasa Yang Terdapat Dalam Jiwa Manusia.
Dalam konteks ini, misalnya al-Qur'an mengingatkan manusia.
قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ السَّاعَةُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (40) بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ (41)
"Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang kepadamu hari kiamat, apakah kamu menyeru (Tuhan) selain Allah; jika kamu orang-orang yang benar!". (Tidak), tetapi Hanya dialah yang kamu seru, Maka dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadanya, jika dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)." (QS. Al-An'am:40-41)
هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ (22)
"Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka Telah terkepung (bahaya), Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, Pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur".(QS. Yunus:22)
Demikian al-Qur'an menggambarkan hati manusia, karena itu sungguh tepat pandangan sementara filosof yang menyatakan bahwa manusia dapat dipastikan akan terus mengenal dari berhubungan dengan Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini selama tabiat kemanusiaan masih sama seperti sediakala, yakni memiliki naluri mengharap, cemas dan takut. Karena kepada siapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa takut atau harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus.
3.      Dalil-Dalil Logika
Di dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil aqliyah tentang keesaan Tuhan. Misalnya,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (101)
"Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana dia mempunyai anak padahal dia tidak mempunyai isteri. dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-An'am:101)
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آَلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ (22)
"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan." (QS. Al-Anbiya': 22)
Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa seandainya ada dua Pencipta, maka akan kacau ciptaan tersebut. Karena jika masing-masing Pencipta menghendaki sesuatu yang tidak dikehendak oleh pencipta yang lain. Maka seandainya keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau tidak akan mewujud. Kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah satas sesuatu.
Selain itu, ada juga ayat al-Qur'an yang mengajak mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan hujjah mereka,
أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آَلِهَةً قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ هَذَا ذِكْرُ مَنْ مَعِيَ وَذِكْرُ مَنْ قَبْلِي بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ (24)
"Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: "Unjukkanlah hujjahmu! (Al Quran) Ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku[21]". Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, Karena itu mereka berpaling." (QS. Al-Anbiya': 24)
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الْأَرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ ائْتُونِي بِكِتَابٍ مِنْ قَبْلِ هَذَا أَوْ أَثَارَةٍ مِنْ عِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (4)
"Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang Telah mereka ciptakan dari bumi Ini atau Adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al Quran) Ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar" (QS. Al-Ahqaf: 4)
PENUTUP
Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan tentang konsep Tuhan dalam Al Qur'an. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan bahan pertimbangan untuk kita semua dalam melangkah ke depan. Dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dari berbagai segi. Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridli, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Al-Asqalani, Ibnu hajar, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah.
Beheshti, Muhammad Husaini, Metafisika Al-Qur'an, (Edisi Terjamahan dari God in The Quran: A Metapysical Study),  Bandung: Penerbit Arasyi, 2003.
Dzulhad, Qosim Nursheha, artikel berjudul Konsep Kata Allah dalam Wacana Keagamaan, artikel ini kami browsing dari www.kampusislam.com
Hisyam, Ibnu, Al Sirah Al Nabawiyah, dalam kompilasi Ibnu Ishaq.
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur'an Al-'Adhim, Maktabah Syamilah.
Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah.
Muslim, Imam, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah.
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur'an, Bandung: Penerbit Pustaka,1996.
Saifullah, Mohamad, Fiqih Islam Lengkap,; Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam dengan Berbagai Permasalahannya, Surabaya: Terbit Terang, 2005.
Syihab, M. Quraisy, Wawasan Al Qur'an, dalam bentuk Ebook yang disusun oleh M. Arifin, S.Kom, M.A.


[1]Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
[2] M. Quraisy Syihab, Wawasan Al Qur'an, dalam bentuk Ebook yang disusun oleh M. Arifin, S.Kom, M.A.
[3] Muhammad Husaini Beheshti, Metafisika Al-Qur'an, (Edisi Terjamahan dari God in The Quran: A Metapysical Study),  Bandung: Penerbit Arasyi, 2003, hal. 19.
[4] Mohamad Saifullah, Fiqih Islam Lengkap,; Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam dengan Berbagai Permasalahannya, Surabaya: Terbit Terang, 2005, hal. 25.
[5] Artikel Qosim Nursheha Dzulhadi, Konsep Kata Allah dalam Wacana Keagamaan, artikel ini bisa dilihat di www.kampusislam.com
[6] Ibnu Hisyam, Al Sirah Al Nabawiyah, dalam kompilasi Ibnu Ishaq.
[7] Ibid.
[8] Selengkapnya lihat, Ali Hasan Al-Aridli, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hal. 54.
[9] M. Quraisy Syihab, op.cit.
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah.
[11] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah.
[12] Ibnu hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah.
[13] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Adhim, Maktabah Syamilah.
[14] M. Quraisy Syihab, op.cit.
[15] Dalam pembahasan ini, M. Quraisy Syihab memberi sebuah catatan. Dia menjelaskan bahwa dalam wahyu pertama hingga kedelapan belas tidak terdapat kata "Allah". Nanti pada wahtu kesembilan belas yaitu pada surat al-Ikhlas, barulah pada wahyu ini kata "Allah" dijelaskan secara rinci sebagai jawaban terhadap kaum musyrik yang mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad Saw.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."(QS. Al-Ikhlash:1-4).
[16] M. Quraisy Syihab, op.cit
[17] Perbedaan anggapan tentang Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam al Qur'an (QS. Al-Shaffat: 158), (QS.  Al-Isra': 40) dan (QS. Al-Zumar: 3). 
[18]Yang dimaksud dengan rombongan yang bershaf-shaf ialah para malaikat atau makhluk lain seperti burung-burung.
[19] M. Quraisy Syihab, op.cit
[20] Ibid.
[21] kepercayaan tauhid itu adalah salah satu dari pokok-pokok agama yang tersebut dalam Al Quran dan kitab-kitab yang dibawa oleh rasul-rasul sebelum nabi Muhammad s.a.w.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini