Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Sejarah Peradaban Islam di Demak

MAKALAH
SEJARAH PERADABAN ISLAM DI DEMAK

Sejarah Islam di Demak
1)     Berawal dari Kerajaan Demak
Awal dari Islam di Demak yaitu dari Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Demak, dan berdiri pada tahun 1478 M. Hal ini didasarkan atas jatuhnya kerajaan Majapahit yang diberi tanda Candra Sengkala: Sirna hilang Kertaning Bumi, yang berarti tahun saka 1400 atau 1478 M.[1]
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Fatah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden Fatah adalah bangsawan kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kerajaan ini didapatkan dari Walisongo yang terdiri atas sembilan orang ulama besar, pendakwah Islam paling awal di pulau Jawa.[2]
Raden Fatah membuka madrasah atau pondok pesantren. Desa Glagahwangi ramai dikunjungi orang-orang dan menjadi pusat ilmu pengetahuan dan  agama, serta menjadi pusat peradagangan bahkan akhirnya menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa. Desa Glagahwangi, dalam perkembangannya akhirnya menjadi ibukota negara dengan nama Bintoro Demak.[3]
Kerajaan Demak sangat berperan besar dalam proses Islamisasi pada masa itu. Kerajaan Demak berkembang sebagai  pusat perdagangan dan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Wilayah kekuasaan Demak meliputi Jepara, Tuban, Sedayu Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Di samping itu, Kerajaan Demak  juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik yang berkembang menjadi pelabuhan transito (penghubung).[4]
2)     Letak Kerajaan Demak
Secara geografis Kerajaan Demak terletak di daerah Jawa Tengah, tetapi pada awal kemunculannya kerajaan Demak mendapat bantuan dari para Bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah menganut agama Islam.
Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat di antara Pegunungan Muria dan Jawa. Pada abad XVI Demak telah menjadi gudang padi dari daerah pertanian di tepian selat tersebut.
Yang menjadi penghubung antara Demak dan Daerah pedalaman di Jawa Tengah ialah Sungai Serang yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara.[5]
3)     Pemerintahan Kerajaan Demak
Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak adalah sebagai berikut :
ü  Raden Fatah
Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500-1518 M. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Demak berkembang dengan pesat, karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Kerajaan Demak menjadi kerajaan agraris-maritim. Barang yang diekspor kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu. Diekspor ke Malaka, Maluku dan Samudera Pasai.
Wilayah kekuasaan kerajaan Demak meliputi daerah Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Kerajaan Demak juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan, dan Gresik yang berkemabng menjadi pelabuhan transito (penghubung).
Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Terutama jasa para Wali sangatlah besar, baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Dibangun masjid Demak.
Raden Fatah menaklukan kerajaan Majapahit dan memindahkan seluruh benda upacara dan pusaka kerajaan Majapahit ke Demak. Raden Fatah mendapat gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah.
ü  Adipati Unus
Adipati Unus memerintah Demak dari tahun 1518-1521 M. Pada tahun 1512 Demak mengirimkan armada perangnya menuju Malaka. Namun sesampainya di sana, armada dihujani meriam oleh pasukan portugis. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1521 oleh pangeran Adipati Unus. Tetapi gagal. Adipati Unus mengadakan perluasan wilayah kerajaan. Dia menghilangkan kerajaan Majapahit yang beragama Hindu.
Adipati Unus meninggal dalam usia yang masih muda pada tahun 938 H/1521 M.dan tidak meninggalkan seorang putera mahkota. Setelah Adipati Unus meninggal, tahta kerajaan Demak dipegang oleh saudaranya, Sultan Trenggana.[6]
ü  Sultan Trenggana
Sulltan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. Dibawah pemerintahannya, kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah Jawa Barat. Pada tahun 1522 M kerajaan Demak mengirim pasukannya ke Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah. Daerah-daerah yang berhasil di kuasainya yaitu Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh). Peristiwa yang terjadi pada tanggal 22 juni 1527 M itu kemudian di peringati sebagai hari jadi kota Jakarta.
Dalam usaha memperluas kekuasaannya ke Jawa Timur, daerah yang berhasil di kuasai yaitu Maduin, Gresik, Tuban dan Malang. Akan tetapi ketika menyerang Pasuruan 953 H/1546 M Sultan Trenggana gugur. Sultan Trenggana berkuasa selama 42 tahun.[7] Sultan Trenggana memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.
4)     Keruntuhan Kerajaan Demak
Setelah wafatnya Sultan Trenggana menimbulkan kekacauan politik yang hebat di keraton Demak. Negeri-negeri bagian berusaha melepaskan diri dan tidak mengakui lagi kekuasaan Demak. Dalam keluarga istana sendiri timbul pertentangan di antara para waris yang saling berebut tahta dan menbunuh. Pengganti Sultan Trengggana adalah pengeran Sekar Seda Ing Lepen, ia dibunuh oleh Sunan Prawoto. Arya Penangsang, anak laki-laki Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, membalas dendam dan menbunuh Sunan Prawoto. Arya Penangsang berhasil naik tahta namun tidak berkuasa lama karena ia di kalahkan oleh Jaka Tingkir.
Jaka tingkir naik tahta. Ia bergelar Sultan Handiwijaya serta memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang pada tahun 1568. Pada tahun 1582 Jaka Tingkir wafat. Putranya yang bernama Pangeran Benawa diangkat menjadi penggantinya. Timbul pemberontakan yang dilakukan oleh Arya Panggiri, namun dapat digagalkan. .
Pengeran Benawan menyadari bahwa dirinya lemah, tidak mampu mengendalikan pemerintahan, ia menyerahkan kekuasaan kepada saudara angkatnya, Sutawijaya pada tahun 1586. Pada waktu itu Sutawijaya telah menjabat bupati Mataram, sehingga pusat kerajaan Pajang dipindahkan ke Mataram.[8]
5)     Peradaban kerajaan Islam Demak Pada Abad XVI
Banyak bagian dari peradaban lama, sebelum zaman Islam telah diambil alih oleh Keraton-keraton Jawa Islam di Jawa Tengah.
Peranan penting masjid Demak sebagai pusat peribadatan kerajaan Islam pertama di Jawa. Peradaban Jawa Islam yang lainnya, seperti wayang orang, wayang topeng, gamelan, tembang macapat dan pembuatan keris, sejak abad XVII oleh hikayat Jawa dipandang sebagai hasil penemuan para Wali yang hidup sezaman dengan kesultanan Demak.[9]
Kesenian tersebut telah mendapat kedudukan penting dalam peradaban Jawa sebelum Islam, kemungkinan berhubungan dengan ibadat. Pada waktu Islam masuk di daerah Jawa maka tata cara non Islam diganti dengan upacara keagamaan Islam, seperti seni wayang dan gamelan yang berisi nilai-nilai ajaran Islam. Dan dari kemenyan dan mantra-mantra di ganti dengan doa-doa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa awal masuknya Islam adalah berawal dari berdirinya kerajaan Demak. Seiring berkembangnya waktu dengan peran dari para Walisongo yang menyebarkan agama Islam dengan sabar dan bersungguh-sungguh serta bisa membaur dengan masyarakat, yang akhirnya memeluk agama Islam, dan mayoritas penduduk Demak beragama Islam.

Peradaban Islam dan Akulturasi Budaya di Demak
Indonesia adalah Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai daerah dan mempunyai banyak sekali suku, adat-istiadat, tradisi, bahasa atau yang disebut kebudayaan. Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya. Maka setiap individu diwajibkan untuk menjaga, melestarikan dan memelihara kebudayaan masing-masing.
Menurut A.A. Fyzee, peradaban (civilization) berasal dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris) yang berarti seorang yang berkemajuan. Dalam hal ini peradaban diartikan dalam dua cara: proses menjadi berkeadaban dan suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju.
Peradaban Islam memiliki tiga pengertian yang berbeda. Yaitu:
1)     Kemajuan dan tingkat kecerdasan akal yang dihasilkan dalam suatu periode kekuasaan Islam mulai dari periode Nabi Muhammad Saw. sampai perkembangan kekuasaan sekarang.
2)     Hasil-hasil yang dicapai oleh umat Islam dalam lapangan kesusasteraan, ilmu pengetahuan dan kesenian.
3)     Kemajuan politik atau kekuasaan Islam yang berperan melindungi pandangan hidup Islam terutama dalam hubungannya dengan ibadah-ibadah, penggunaan bahasa, dan kebiasaan hidup kemasyarakatan.[10]
Islam di Nusantara telah menghasilkan peradaban dari unsur-unsur budaya pra-Islam  menuju peradaban Islam. Diantaranya:
a)     Konsep kedudukan dan status manusia, yang hanya bisa dibedakan sesuai tinggkat ketaqwaan kepada Tuhannya.[11] Bukan dari kekayaaan atau kasta, bukan dari ketampanan dan kecantikan fisik, dan bukan dari suku.
b)     Konsep penguburan Islam yaitu adanya penyelenggaraan perawatan jenazah dari memandikan mensholatkan dan memakamkan. Dalam Islam tidak ada pesta kematian, jenazah dikubur tidak dibakar ataupun diawetkan seperti halnya tradisi sebelum datang Islam.
Akulturasi merupakan perpaduan dua kebudayaan yang tidak menghilangkan sifat dari kebudayaan yang lama. Dalam masyarakat Demak banyak terdapat akulturasi kebudayaan yang terjadi.
Tradisi merupakan sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Maka dari itu kita harus senantiasa melestarika tradisi-tradisi daerah daerah kita masing-masing.
Beberapa peradaban Islam dan akulturasi kebudayaan, yang akhirnya menjadi sebuah tradisi di Demak yang masih ada sampai sekarang, diantaranya:
1)     Masjid Agung Demak
Ada peradaban manusia yang berkembang berbasis agama, yang diwujudkan melalui arsitektur, seni lukis dan seni tulis. Arsitektur Islam ini menghasilkan kemegahan bagi istana para sultan baik berupa bangunan publik seperti keratin, bangunan keagamaan seperti masjid, makam dan pertamanan, dll. Seni tulis (kaligrafi) yang mengagungkan asma Allah dan firman-Nya dikembangkan melalui berbagai gaya dan dilukiskan pada berbagai media seperti batu, kaca, kulit, bambu, kain dan kayu. Hal ini mengubah seni Islam yang banyak mengandung unsur Arab dipadukan dengan budaya lokal. [12]
Masjid Agung Demak yang terletak di alun-alun kota Demak ini, berada pada jarak 22 km di sebelah timur laut Semarang Jawa Tengah. Dan merupakan masjid tertua di pulau Jawa dan masjid kerajaan Islam pertama di Jawa. Menurut legenda masjid ini didirikan oleh Walisanga dalam tempo satu malam.[13]
Bangunan Masjid Agung Demak mempunyai unsur Hindu-Jawa, dilihat dari segi arsitekturnya masih bergaya Hindu yang dimodifikasi dengan nuansa Islam. Atapnya yang terbuat dari kayu jati bersusun tiga, menggambarkan kaitan antara iman, Islam dan ihsan. Pintu masuk ke bangunan utama masjid ada lima buah, menggambarkan rukun Islam. Jendelanya ada enam buah yang melambangkan rukun iman.[14] Motif-motif hiasan lain yang terdapat di dalamnya tampaknya punya hubungan dengan zaman kerajaan Majapahit.[15]
Ada beberapa pendapat tentang tahun dibangunnya Masjid Agung Demak, diantaranya:
ü  Didirikan pada tahun 1479 M. dari gambar kura-kura di mimbar masjid itu dari budaya Cina yang mempengaruhi struktur bangunan di pulau Jawa. Seperti setiap rumah Jawa asli di Jawa mempunyai serambi. Dan menyebutkan para sultan Demak adalah keturunan Cina.
ü  Namun, sebagian ahli sejarah menolak pendapat itu, dan mengatakan masjid Demak dibangun pada tahun 1466 M. Melihat pada pintu masuk masjid ada lukiran gambar petir yang mengartikan Naga Salira Warni.
ü  Ada yang berpendapat pada tahun 1401 M. yang tertera dalam Serat Babad Tanah Jawi yang menjelaskan pembangunan masjid Demak ketika pemerintahan Sultan Demak II yaitu Raden Fatah.[16]
Sepanjang sejarah Masjid Agung Demak ini pernah mengalami perubahan status  sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1466 M berfungsi sebagai surau (pesantren), pada tahun 1477 M berfungsi sebagai masjid Kademangan, dan pada tahun 1479 M sebagai masjid Kasultanan.
Bangunan yang terbuat dari kayu jati berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 matap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali dari walisanga. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, dan sebelah timur laut terbuat dari beberapa potongan balok yang diikat menjadi satu  dari Sunan Kalijaga.[17]
Fungsi Masjid Agung Demak, diantaranya:
ü  Sebagai pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah, hampir seluruh Pulau Jawa. Melakukan ekspansi sambil berdakwah.
ü  Tempat para walisanga mengadakan musyawarah guna mengadakan sekaten. Membunyikan gamelan dan rebana, orang-orang yang berkerumun dan memenuhi depan gapura walisangan mengadakan tabligh dan rakyat dituntun mengucapkan dua syahadat.[18]
ü  Di masjid ini, para wali mendidik alim ulama di zamannya. Dan melakukan pengIslaman di beranda depan masjid. Orang-orang yang datang mendengarkan ceramah, qasidahan dan rebana setelah itu mereka mengucapkan syahadatain.[19]
2)     Ziarah ke Makam Sunan Kalijaga, Sultan Fatah dan Sultan Trenggana
Dalam budaya Jawa terdapat penghormatan terhadap leluhur sehingga makamnya disebut dengan pasarean, terutama makam dari para sultan dan para Wali.[20]
Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari Walisongo. Sunan Kalijaga bernama Raden Said atau Jaka Said. Disebut juga Syekh Malaya, Lokajaya, Raden Abdurrahman da Pangeran Tuban.[21] Asal usul perkataan kalijaga ada tiga pendapat, yaitu:
a)     Raden Said yang sedang bertapa mati raga di pinggir kali dengan bersandar pada pohon jati yang telah mati, yang batangnya condong ke kali itu. Demikian lamanya bertapa mati raga hingga pohon jati yang mati telah hidup kembali berimbun daun. Ketika Sunan Bonang berkelana dan mendapati yang bertapa itu adalah Raden Sahid maka Sunan Bonang menamainya dengan Jagakali, Sunan Kalijaga. 
b)     Kalijaga berasal dari bahasa Arab, dan oleh orang lidah orang Jawa berubah pengucapan yaitu qadli zakka yang berarti hakim suci atau penghulu suci.
c)      Kalijaga berasal dari nama desa tempat tinggal yang pernah di didiami oleh Raden Sahid. Hoesein Djajaningrat mengatakan bahwa kalijaga karena Sunan Kalijaga telah menetap di desa Kalijaga. Sebelum Sunan Kalijaga datang, desa itu sudah bernama Kalijaga.[22]
Sebagai waliyullah, sunan Kalijaga termasuk orang yang dikasihi Allah  atau Kekasih Allah. Para sunan senantiasa menampilkan perilaku yang serba berkebajikan sesuai dengan tugas berdakwah, beramar ma’ruf nahi munkar, memerintah dan mengajak ke aarah kebaikan dan melarang perbuatan munkar.
Peran Sunan Kalijaga dalam berdakwah sangat banyak baik kegiatan keagamaan, pdalam pemerintahan, kegiatan seni dan budaya lainnya. Dalam hal keagamaan, Sunan Kalijaga beserta wali yang lain membangun Masjid Agung Demak untuk tempat beribadah dan sebagai kegiatan dakwah. Sunan Kalijaga berpendirian bahwa dakwah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi dan merubahnya sedikit demi sedikit memberi warna yang baru pada yang lama, sikap yang beginilah dilihat dari kebudayaan mengarah pada akulturasi antara kebudayaan lama dengan kebudayaan baru dan hasil kreasinya ke arah yang lebih Islami.[23]
Dalam media dakwah Sunan Kaijaga menggunakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan dan kesenian wayang. Dalam hal ini Sunan Kalijaga mempunyai kreasi baru dengan adanya wayang kulit dengan segala perangkat gamelannya. Wang kulit ini merupakan pengembangan baru dari wayang beber. Salah satu karyannya adalah wayang Punakawan Pandawa yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Wayang senantiasa dipergunakan oleh Sunan Kalijag dalam berdakwah diberbagai daerah, hal ini sangat efektif karena dapat mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap agama. dan karena kemampuannya mendalang ia dijuluki Ki Dalang Sida Brangti.[24]
Dan pada zaman sekarang, bagi masyarakat Jawa, wayang tidak hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan. Wayang bukan hanya sebagai sarana hiburan tetapi juga sebagai media komunikasi, penyuluhan dan pendidikan.[25] Namun, yang disayangkan adalah banyak dari kalangan remaja saat ini sudah tidak bersemangat dan jarang menonton wayang apalagi bisa jadi dalang. Kita sebagai generasi muda harus bisa mencintai wayang ini, agar semakin berkembang lagi.
Dalam didang politik pemerintahan beliau beserta Wali yang lain memberi nasihat tentang pelaksanaan tata pemerintahan agar senantiasa dijiwai keIslaman. Seperti nasihat Sunan Kalijaga tentang teknik pembangunan kota Kabupaten maupun Kotapraja ada empat bangunan yaitu:  1) istana keraton atau Kabupaten, 2) Alun-alun, 3) satu atau dua pohon beringin, 4) masjid. Letaknya kabupaten memangku alun-alun dengan pohon beringi di tengah alun-alun membelakangkan gunung atau menghadap laut, dan letak masjid selalu di sebelah baratnya. Tata letak ini didasarkan pada falsafah baldatun tthoyyibatun wa rabbun ghafur, yaitu negeri yang sejahtera diridlahi oleh Allah.[26]


Maka sebagaimana lazimnya para Wali, Sunan Kalijaga memiliki karamah. Maka makam Sunan Kalijaga dikeramatkan oleh masyarakat dan ramai diziarahi orang sebagaimana makam di Kadilangu Demak.[27] Makam ini di beri cungkup indah, kelambu dan tembok keliling dan sering di ziarahi oleh masyarakat.[28] Hal ini merupakan penghormatan atas jasa-jasa beliau dan mendoakan beliau dengan membacakan yasin atau tahlil.
Para sultan Demak yang wafat, pemakamannya berada di samping Masjid Agung Demak.[29] Setiap hari, terutama pada malam jumat kliwon banyak peziarah yang berdatangan dari berbagai daerah. Menurut kepercayaan masyarakat, malam jumat kliwon adalah malam keramat. Pada malam itu pintu makam Sultan Trenggana dibuka setelah shalat isya’ hingga pukul 10 malam.
Tata cara berziarah menurut sebagian masyarakat adalah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. menabur bunga dan dilanjutkan dengan tahlil, tahmid, tasbih dan doa. Khusus pada malam jumat kliwon prosesi ziarah diawali dengan pengajian yang antara lain menceritakan sejarah singkat perjuangan para Sultan Demak yang disampaikan oleh penglawang (penjaga makam). Dan para peziarah biasanya menghabiskan waktunya untuk I’tikaf dan dzikir di Masjid hingga menjelang subuh.[30]
3)     Slametan
Upacara berkaitan dengan kematian dari tradisi pra-Islam yang masih kelanjutan sampai sekarang adalah upacara menghantarkan arwah agar bias selamat dan sampai tujuan. Dalam Islam dikenal dengan slametan atau tahlilan, ada yang hari pertama sampa ke tujuh, 40 hari, 100 hari dan seterusnya. Modifikasi Islam ditandai dengan bacaan-bacaan doa bersifat Islam seperti pembacaan ayat-ayat suci al-Quran.
Pada perkembangan dewasa ini slametan tak hanya untuk mendoakan orang yang meninggal dunia seperti yang diungkapkan oleh Geertz, slametan bisa diadakan alam rangka merayakan, memperbaiki atau menyucikan atau hampir seluruh kesempatan apapun.[31]
Menyelengarakan slametan bertujuan untuk mendapatkan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Dan mengharap kepada Allah agar dimudahkan dalam segala hal, dijauhkan dari marabahaya dan diberikan derajat yang luhur. Dan hal ini segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Dalam artian hal yang baik-baik.[32]
Di daerah Demak jika ada seseorang ingin membangun rumah ia mengadakan slametan dulu agar rumah yang dibangun dilancarkan dan berkah barokah, tenang, dan membawa kebahagiaan. Jika ada orang yang menikahkan anaknya maka akan mengadakan slametan baik pra akad maupun pasca akad nikah. Agar acara pernikahannya lancar, rumah tangga anaknya langgeng dan bahagia dengan mengadakan slametan ini doa jadi ajang untk mendapat doa dan restu dari orang-orang yang diundang dan hadir dalam slametan. Ada juga yang memiliki motor baru maka orang tersebut akan mengadakan slametan agar kedepannya motornya bisa digunakan dengan baik dan bermanfaat serta keselamatan, dll.
4)     Grebeg besar atau Besaran
Menurut riwayat, Sunan Kalijaga memperoleh wasiat antakusuma, yaitu sebuah bungkusan yang berisi baju hadiah dari Nabi Muhammad SAW. yang jatuh dari langit di hadapan para Wali yang sedang bermusyawarah di dalam masjid itu. Sunan Kalijaga sebelum wafatnya meminta agar ada upacara pencucian baju tersebut dilakukan setiap bulan Besar atau 10 Dzulhijjah. Maka setiap tahun di bulan itu masyarakat dari berbagai penjuru daerah berbondong-bondong untuk menyaksikan upacara itu, yang kin dikenal dengan Grebeg Besar atau orang Demak menyebutnya Besaran.
Grebeg bukanlah peringatan haul Sultan Fatah, menurut K.H. Habib Luthfi bin Yahya menyatakan bahwa grebeg dimaksudkan untuk mengingatkan masyarakat bahwa pada hari ini adalah musim pelaksanaan ibadah haji, sedangkan Sultan Fatah wafat pada malam selasa legi 13 Jumadil Akhir 921 H. tetapi peringatan haulnya dilaksanakan setiap awal bulan Agustus.
Selain grebeg dan haul, ada kegiatan rutin lainnya (selapanan) yaitu pengajian yang digelar setiap malam jumat kliwon menjelang dibukanya pintu makam Sultan Trenggono. Dan juga pada bulan Ramadlan, setiap malam hitungan, mulai malam ke 21 ramadlan di Masjid Agung Demak diselenggarakan shalat tasbih.[33]
Peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Demak bercorak Islam. Hal tersebut tampak dari peninggalan-peninggalan sejarahnya berupa masjid, makam, batu nisan, kitab suci Al-Quran, kaligrafi dan karya sastra. Sampai sekarang pun Demak di kenal sebagai pusat pendidikan agama Islam. Dan dengan sebutan Demak kota Wali.

DAFTAR PUSTAKA

Badri, Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 1994.
H.J.De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986.
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Muarif Ambary, Hasan, Menemukan Peradaban, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Nasional, Perpustakaan, Jejak Para Wali Dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Buku Kompas, 2006.
Pranowo, Bambang, Memahami Islam Jawa, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011.
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang, 2009.
Sofwan, Ridin, dkk.,  Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sujatmo, Wayang Dan Budaya Jawa, Semarang:Dahara Prize, 1992.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004.
Tjandrasasmita, Uka, Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Islam di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2012.
Wiyasa Bratawijaya, Thomas, Mengungkap Dan Mengenal Budaya Jawa, Jakarta: Pradya Paramita, 1997.
Zein, Abdul Baqir, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
http://noviapingkanita.blogspot.com/diakses, pada tanggal 22 november 2014.




[1]Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang, 2009, hlm. 193-194.
[2]H.J.De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986, hlm. 41.
[3]Novia pinkanita, Sejarah Kerajaan Demak, http://noviapingkanita.blogspot.com/diakses pada tanggal 22 november 2014, jam 09.33.
[4]Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di Nusantara, Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang, 2009, hlm. 38.
[5]Novia pinkanita, Sejarah Kerajaan Demak, http://noviapingkanita.blogspot.com/diakses pada tanggal 22 november 2014, jam 09.33.
[6]H.j.De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama Di Jawa…, hlm. 43-45.
[7] H.j.De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama Di Jawa…, hlm. 46.
[8]H.j.De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama Di Jawa…, hlm. 95-98.
[9]H.j.De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama Di Jawa…, hlm. 79-81.
[10]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004, hlm. 314.
[11]Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998, hlm. 95.
[12] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban…, hlm. 95-96.
[13] Perpustakaan Nasional, Jejak Para Wali Dan Ziarah Spiritual…, hlm. 171.
[14] Abdul Baqir Zein,  Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 210-211.
[15] Perpustakaan Nasional, Jejak Para Wali Dan Ziarah Spiritual…, hlm. 171.
[16] Abdul Baqir Zein,  Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia…, hlm. 210-211.
[17] Perpustakaan Nasional, Jejak Para Wali Dan Ziarah Spiritual…, hlm. 172.
[18] Perpustakaan Nasional, Jejak Para Wali Dan Ziarah Spiritual…, hlm.174-175.
[19] Abdul Baqir Zein,  Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia…, hlm. 210.
[20]Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban…, hlm. 98.
[21]Ridin Sofwan, dkk.,  Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 83.
[22]Ridin Sofwan, dkk.,  Islamisasi di Jawa…, hlm. 93-95.
[23]Ridin Sofwan, dkk.,  Islamisasi di Jawa…, hlm. 120-121.
[24]Ridin Sofwan, dkk.,  Islamisasi di Jawa…, hlm. 122.
[25]Sujatmo, Wayang Dan Budaya Jawa, Semarang:Dahara Prize, 1992, hlm. 18.
[26]Ridin Sofwan, dkk.,  Islamisasi di Jawa…, hlm. 122-123.
[27]Ridin Sofwan, dkk.,  Islamisasi di Jawa…, hlm. 124.
[28]Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban…, hlm. 201.
[29]Uka Tjandrasasmita, Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Islam di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2012, hlm. 87.
[30]Perpustakaan Nasional, Jejak Para Wali Dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Buku Kompas, 2006, hlm. 174.
[31]Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011, hlm. 148.
[32]Thomas Wiyasa Bratawijaya, Mengungkap Dan Mengenal Budaya Jawa, Jakarta: Pradya Paramita, 1997, hlm. 233.
[33] Perpustakaan Nasional, Jejak Para Wali Dan Ziarah Spiritual…, hlm. 171-173.


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini