Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Islam dan Kebudayaan Arab; Sebuah Perjumpaan

MAKALAH
ISLAM DAN KEBUDAYAAN ARAB

1.     Kondisi Arab pra Islam.
A.      Teritorial Arab pra Islam.
Sejauh ini kita telah menggunakan istilah Arab untuk menyebut orang-orang yang tinggal di semenanjung Arab tanpa melihat wilayah geografis mereka. Kita harus membedakan antara orang-orang Arab selatan dan orang-orang Arab utara, yang termasuk didalamnya orang-orang Nejed di Arab tengah. Pemisahan wilayah itu secara geografis, dipisahkan oleh gurun yang tanpa tanda untuk wilayah utara dan selatan. Hal ini terungkap melalui karakter orang-orang yang mendiami masing-masing wilayah tersebut. [1]
Orang-orang Arab utara kebanyakan merupakan orang-orang nomad yang tinggal di Hijaz dan Nejed, sedangkan orang Arab selatan kebanyakan adalah orang perkotaan yang tinggal di Yaman, Hadramaut dan di sepanjang pesisirnya. Orang Arab utara berbicara dengan bahasa al-Qur’an, yaitu bahasa Arab paling unggul.[2] Karena itu, ketika kita menyebut orang-orang Arab dan bahasa Arab, maka yang kita maksudkan adalah orang-orang Arab utara dan bahasa Arab al-Qur’an.
Sementara orang Arab selatan menggunakan bahasa Semit kuno. Orang-orang Arab selatan adalah orang yang pertama mencapai kemajuan dan mengembangkan peradaban mereka sendiri. Orang Arab utara (termasuk Hijaz dan Nejed) tidak pernah terlibat dalam pencaturan internasional hingga datangnya Islam. Orang Arab utara baru mengembangkan budaya tulis menjelang masa Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, istilah jahiliyah lebih erat hubungannya dengan orang arab utara yang dipenuhi dengan kisah peperangan, dll.[3]
Semenanjung Arab telah ada pada zaman Yunani. Ptolemeus membagi wilayah Arabia ke dalam tiga wilayah utama. Pertama, Arabia petra, yaitu bagian barat laut, memanjang di barat dari perbatasan mesir sampai Busra melalui semenanjung Sinai. Garis ini menyinggung di bagian barat laut, Tadmur, Yahudi, dan Palestina. Kedua, Arabia Deserta, yaitu meliputi seluruh daerah pedalaman Arabia yang kurang diketahui: daerah ini di timur laut mempunyai perbatasan dari euffrat dan Mesopotamia dan berakhir di garis batas laut Arabia Petra. Ketiga, Arabia felix, yaitu wilayah sisa dari semenanjung Arabia setelah dikurangi daerah yang dibatasi oleh Laut Merah di bagian Barat, Teluk Persia di sebelah timur, Lautan Hindia di sebelah selatan dan di utara oleh Arabia Petra, dan Arabia Deserta.[4]
Penduduk Arab dibagi menjadi dua, yakni Qahtan dan Adnan. Qahtan semula berdiam di Yaman, namun setelah hancurnya bendungan Ma’rib sekitar tahun 120 SM, mereka bermigrasi ke utara dan mendirikan kerajaan Hirah dan Gassan. Sedangkan Adnan adalah keturunan Ismail ibn Ibrahim, yang banyak mendiami Hijaz, Tahama, Nejad, Palmerah, dan lain-lain yang lebih dikenal sebagai penduduk Arab utara.[5]
Dari segi tempat tinggal, penduduk Arab terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ahl al-Hadharah (penduduk kota) dan kelompok ahl al- Badiyah (Penduduk gurun pasir). Karena keadaan geografi dan kondisi alam sangat memengaruhi pranata sosial, ekonomi, dan politik bangsa arab, maka adanya perbedaan di antara kalangan Arab tersebut. Orang gurun pasir kebanyakan tinggal di Arab utara yang buta huruf dan tidak maju (nomads). [6]

B.      Kemajuan Bangsa Arab pra Islam.
Bangsa Arab telah dapat mendirikan kerajaan, diantaranya ialah Saba’, Ma’in, dan Qutban serta Himyar, semuanya di Yaman. Di utara Jazirah berdiri kerajaan Hirah (Manadirah) dan Gassan (Gassasinah). Hijaz menunjukkan wilayah yang tetap merdeka sejak dahulu karena miskinnya daerahnya, namun terdapat tempat suci, yakni makkah yang di dalamnya berdiri ka’bah sebagai pusat beribadah sejak dahulu.[7]
Sejak dahulu, telah ada pengaturan kekuasaan di Makkah. Suku Amaliqah adalah yang berkuasa di sana sebelum lahirnya ismail. Kemudian datang suku jurhum ke makkah dan dapat menggeser kedudukan Amaliqah. Ketika jurhum berkuasa itu lahirlah ismail, yang lalu kawin dengan anggota suku tersebut. Lama suku jurhum menguasai mekkah, yang nantinya diganti oleh suku Khuza’ah pada tahun 207 SM, dan akhirnya Khuza’ah digeser oleh Quraisy kira-kira tahun 440 M, di bawah pimpinan Qusai. Qusai mengatur urusan yang berkenan dengan ka’bah , ia meninggal pada tahun 480 M, dan diganti oleh anaknya Abdud Dar. Tetapi sepeninggal Abdu Dar terjadi perselisihan di antara cucu cucu Qusai dan anak saudaranya yakni Abdul Manaf, mengenai siapakah yang berhak mewarisi kekuasaan atas Makkah. Pertentangan itu diselesaikan dengan membagi kekuasaan, yakni pengaturan air dan pajak atas Makkah diserahkan kepada Abdu Syam, penjagaan ka’bah diserahkan pada cucu-cucunnya Abdud Dar. Sedangkan Abdu Syam menyerahkan lagi urusannya kepada saudaranya yang bernama Hasyim, tetapi anak Abdu Syam, Umaiyah, berlaku sombong dan memusuhi pamanya sendiri, Hasyim. Urusan-urusan itu akhirnya dipegang oleh anak Hasyim, Abdul Muthalib, kakek Nabi saw. Ia merupakan orang yang terhormat, bijaksana dalam memegang tampuk pemerintahan atas Mekkah sehingga dapat bertahan sampai 59 tahun memerintah kota itu. [8]
C.      Sosial-Kultural Arab Pra Islam.
1)  Kedudukan Wanita.
Kondisi dan kedudukan wanita tidak ada harganya di mata Masyarakat. Wanita di anggap tidak lebih dari barang yang di perjual belikan. Terdapat juga dalam beberapa suku, ibu tiri menikah dengan anak tirinya, saudara kandung menikah dengan sesama saudaranya.
Mengenai kasus penguburan anak hidup-hidup, itu tidak berlaku pada semua suku di Arab. Tradisi itu berlaku pada beberapa suku di antaranya pada bani Tamim dan bani Asad. Mereka membunuh anak-anak karena punya keyakinan, bahwa anak perempuan adalah penyebab kemiskinan dan keluarga menjadi malu. Walaupun demikian, hal ini tidak berlaku di bani lainnya atau bahkan sebaliknya, mereka sangat menyayangi anak-anaknya, termasuk perempuan.[9]
2)     Eksistensi Suku.
Sejarah mencatat, di dunia Arab pra Islam, eksistensi suku menjadi acuan utama dalam seluruh aktivitas kehidupan masyarakat. Fanatisme suku telah menjadi satu pilar kehidupan masyarakat Arab pra Islam.
Dalam tata pergaulan sosial, meskipun dikenal sebagai orang yang keras dan kejam pada musuhnya, orang badui merupakan sahabat yang setia dan pemurah. Tidak bersikap ramah kepada tamu di sebuah negeri yang tidak mengenal hotel dan penginapan, atau mengganggunya setelah menerimanya sebagai tamu, merupakan bentuk pelanggaran, bukan saja terhadap norma dan kehormatan sosial, tetapi juga penghinaan kepada Tuhan itu sendiri, Sang Pelindung sejati.[10]
Kuatnya semangat dan ikatan kesukuan memunculkan satu jenis semangat yang dikenal dengan sebutan ‘ashabiyyah (semangat kesukuan) yang mengisyaratkan loyalitas suka rela dan tanpa syarat kepada anggota klannya. Islam memanfaatkan sistem kesukuan ini untuk tujuan militer. Islam membagi prajuritnya ke dalam sejumlah unit yang didasarkan atas garis kesukuan, membentuk koloni di wilayah taklukannya sebagai karib.[11]
3)     Keunggulan Bahasa dalam Puisi.
Satu-satunya keunggulan artistek masyarakat Arab pra Islam adalah dalam bidang puisi. Kecintaan orang Arab pada puisi merupakan salah satu asset cultural mereka. Menurut peribahasa Arab, ada tiga ciri manusia sempurna, yaitu kefasihan mengungkapkan jatidir secara tegas dan elegan dalam bentuk prosa dan puisi, kemapuan memanah, dan menunggang kuda. Berdasarkan struktur bahasa yang unik, bahasa Arab memiliki ungkapan kalimat yang padat, efektif, dan singkat. Islam memanfaatkan secara maksimal karakteristik bahasa itu dan karakteristik penuturnya. Dari sanalah muncul kemukjizatan gaya dan susunan kalimat al-Qur’an, yang dijadikan argument utama oleh umat Islam untuk membuktikan kemurnian agama mereka. Kemenangan Islam hingga batas tertentu merupakan kemenangan bahasa, lebih khusus kemenangan sebuah kitab.[12]
4)     Tradisi Pernikahan.
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab telah mengenal tradisi pernikahan. Menurut Musdah Mulia menguraikan dua bentuk pernikahan lainnya, yang terjadi di masyarakat Arab pra Islam. Pertama, perkawinan badal, yaitu perkawinan dimana dua orang suami bersepakat untuk saling tukar menukar istri tanpa melalui talak. Kedua, perkawinan al-Syighar, yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuannya atau saudara perempuannya sebagai pasangan dirinya. [13]
Dalam kasus-kasus sosial yang terjadi, selalu perempuan menempati posisi yang kalah dan dieksploitasi. Pengaruh dari tradisi dan pola pikir masyarakat Arab dalam memandang dan memosisikan perempuan begitu kuat di dalam lembaga perkawinan yang mereka bangun.
Tujuan perkawinan pada saat itu adalah sebagai arena penyaluran dan pemuasan syahwat laki-laki. Ini bisa di lihat dalam praktik perkawinan al-rahthun (seorang perempuan mempunyai pasangan laki-laki lebih dari seorang), perkawinan khadan (perkawinan sembunyi-sembunyi tanpa akad), perkawinan badal (dua orang suami bersepakat untuk saling tukar menukar istri tanpa melalui talak) dan al syighar (seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa mahar).[14]
D.     Agama, Hukum, dan Ekonomi Bangsa Arab Pra Islam.
Agama orang Arab merepresentasikan bentuk keyakinan bangsa Semit paling awal dan primitif. Berbagai kultus orang arab selatan terhadap benda-benda langit, kuil, acara ritual dan pengorbanan yang rumit menggambarkan sebuah tahap perkembangan yang lebih tinggi dan lebih maju, sebuah tingkat keyakinan yang telah dicapai oleh masyarakat perkotaan.
Pemujaan terhadap al-‘Uzza, al-Lat, dan Manat, tiga anak perempuan Allah, memiliki tempat pemujaan masing-masing yang disakralkan di daerah yang kemudian menjadi tempat kelahiran Islam. Al-Lat (dari kata Ilahah, yang berarti tuhan perempuan) memiliki tempat pemujaan suci di dekat Thaif, tempat berkumpul orang Mekkah dan lainnya beribadah haji dan menyembeli binatang korban. Al-‘Uzza (yang paling agung, bintang kejora) di puja di Nakhlah, sebelah timur Mekkah. al-‘Uzzah merupakan berhala yang paling diagungkan oleh orang Quraisy. Manah (berasal dari maniyah, pembagian nasib) adalah dewa yang menguasai nasib. Tempat suci utama nya adalah sebuah batu hitam di Qudayd, di sebuah jalan antara Mekkah dan Madinah. Dewa nasib ini sangat populer di kalangan suku Aus dan Khazraj, yang memberikan dukungan kepada Nabi ketika Hijrah dari Mekkah dan Madinah.[15]
Sebelum kedatangan Islam, di bangsa Arab telah terdapat bermacam agama, yaitu paganisme, Kristen,[16] Yahudi,[17] dan Majusi[18]. Kondisi kehidupan beragama pada saat ini sangat ironis sekali, orang Yahudi berubah menjadi orang yang angkuh, sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah. Sedangkan agama Nasrani berubah menjadi agama peganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan percampuradukan antara Tuhan dan Manusia.[19]
Masyarakat Arab telah mengenal agama tauhid semenjak kehadiran nabi Ibrahim. Bekas-bekas ajaran nabi Ibrahim masih tersisa ketika Islam diperkenalkan pada masyarakat Arab. Bekas yang masih terasa adalah penyebutan kata Allah sebagai tuhan mereka walaupun dalam perkembangannya mengalami proses pembiasan, orang Arab beranggapan bahwa menyembah berhala bukanlah menyembah wujudnya, melainkan hal itu dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Allah.[20] Secara fisik peninggalan Ibrahim dan Ismail yang masih terpelihara adalah bait al Allah atau Ka’bah yang berada di pusat kota Mekah.
Dalam bidang hukum, bangsa Arab pra Islam berpegang kuat pada adat. Artinya, semata-mata didasarkan atas kebiasaan yang sudah berlangsung secara turum temurun dari nenek moyang mereka, misalnya tentang perkawinan. Dalam bidang ekonomi, di kalangan bangsa Arab pra Islam ada hukum mubadalah (tukar menukar barang), al-ba’I (jual beli), kerja sama menggarap ladang (muzara’ah), dan praktik Riba, termasuk di dalamnya praktik ba’i al-munabadzah (jual beli yang bersifat spekulatif).[21]
Dengan sedikit gambaran tentang kondisi sosial bangsa arab pra Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat arab pra Islam sudah ada tatanan kehidupan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Arab pra Islam adalah bangsa yang memiliki peradaban, jika dilihat dari kacamata Islam, peradaban itu merupakan peradaban yang tidak beradab.
KARAKTER ORANG ARAB.
Salah satu sifat orang Arab yang positif adalah kekeluargaan. Mereka lebih mementingkan kelompok daripada perseorangan. Nilai keakraban ini diekspresikan lewat sentuhan dan pelukan dalam pertemuan, dan pandangan mata yang dalam, terutama dengan orang yang menjadi kawan atau sahabat. Nilai kekeluargaan orang Arab juga diterapkan dalam tata cara makan. Sering kaum pria Arab makan bersama dengan menggunakan satu piring besar, dengan menggunakan tangan mereka. Sifat positif juga terlihat pada janji yang selalu mereka tepati, kemulian jiwa dan keengganan menerima kehinaan dan kezaliman, pantang mundur, kelemah lembutan, serta keserdehanaan pola kehidupan badui.[22]
Salah satu sifat orang arab yang sering dipandang negatif adalah sifat kasar dan keras, terutama orang arab Mekah. Orang Arab Madinah cenderung lebih santun. Meskipun warga Arab Saudi umumnya beragama Islam, ini tidak berarti bahwa cara mereka berkomunikasi berdasarkan syariah. Sebagian dari cara mereka berkomunikasi bersifat kultural semata-mata.[23]
2.     Islam dan Kebudayaan Arab.
Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat (Transformasi sosial) itu dapat berupa perubahan kebudayaan dan tatanan sosial.  Ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat.[24] oleh karena itu, Islam memanfaatkan budaya, adat, atau kebiasaan suatu kaum yang bersifat positif, tetap dalam jalur kebolehan syar’i, hal itu dapat dijadikan hukum.
Salah satu penetapan hukum dalam Islam, yaitu ‘Urf. Ulama ushul fiqh mengartikan dengan kebiasaan, atau adat yang dilakukan oleh mayoritas kaum. Definisi ini masih mencakup dalam definisi kebudayaan pada suatu kaum, karena masih berkaitan dengan kebiasaan yang di lakukan oleh suatu masyarakat atau kaum. [25]
Para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, diantaranya adalah :
1.      العادة محكمة     artinya, adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
2.      لا ينكر تغير الاحكم بتغير الازم و الأمكنة   artinya, tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.[26]
Beberapa contoh kebudayaan arab yang di masukkan dalam ajaran Islam, seperti Khitbah atau lamaran, yang merupakan kebiasaan orang Arab jika mau menikahi seorang wanita, jual beli pesanan atau salm, membunyikan rebana saat merayakan pernikahan. Akan tetapi perlu digaris bawahi, bahwa Islam memberikan warna budaya tersendiri bagi bangsa Arab. Hal ini terbukti, bahwa Islam membentuk keberadaan bangsa Arab, memperkokoh kesatuan akidah masyarakat, membangkitkan gerakan beramal,
PENDIDIKAN ISLAM
Dalam metode penyebaran Islam yang dilakukan nabi Muhammad saw, baik di Mekkah maupun di Madinah, memiliki beberapa fokus materi pendidikan yang berbeda. Materi pada fase Makkah, dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, materi pendidikan tauhid, materi ini lebih difokuskan untuk memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim yang telah diselewengkan oleh masyarakat Makkah saat itu. Hasilnya kebiasaan masyarakat arab yang memulai perbuatan atas nama berhala, diganti dgn ucapan bismillahirahmannirrahim. Kedua, materi pengajaran al-Qur’an. Materi ini dapat dirinci pada, materi baca tulis al-Qur’an, materi menhafal al-Qur’an, materi pemahaman al-qur’an.
Materi pada fase Madinah yaitu:[27]
1.      Pendidikan ukhuwah antara kaum muslimin.
Strategi awal Nabi Muhammad saw, saat berada di Madinah adalah menyatuka ukhuwah masyarakat Madinah, terutama suku Auz dan Khazraj. Ketika Islam telah diterima penuh oleh masyarakat Madinah, maka Nabi menyatukan hubungan kekeluargaan antara kaum muslimin, seperti mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshar.
2.      Pendidikan kesejahteraan sosial.
Dalam Islam sangat ditekankan untuk selalu peduli antara sesama. Nabi Muhammad saw berusaha agar kehidupan masyarakat Islam tetap baik dari segi ekonomi, sehingga tidak adanya perbedaan kasta.
3.      Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat.
Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan menolong kerabat dekat lebih utama, banyak yang turun di Madinah. Karena pada saat itu, kaum muslimin hidup berdampingan dengan kerabatnya yang beragama yahudi.
4.      Pendidikan hankam (pertahanan dan keamanan ) dakwah Islam.
Ketika di Madinah, Nabi Muhammad saw mendirikan pemerintahan Islam yang berdasarkan piagam Madinah (Charter of Madinah). yang selanjutnya ketika pemerintahan diteruskan oleh kepemimpinan khulafaur rasyidin, dakwah Islam sampai ke luar Jazirah Arab.
I.                   Analisis dan Kesimpulan.
Kemajuan peradaban yang dialami oleh bangsa Arab pra Islam sangat berkembang baik. Hal ini dapat dilihat dari terbentuknya beberapa kerajaan pada saat itu seperti, Saba’, Ma’in, dan Qutban serta Himyar, semuanya di Yaman. Di utara Jazirah berdiri kerajaan Hirah (Manadirah) dan Gassan (Gassasinah). Selain itu, sistem ekonomi juga berkembang melalui transaksi perdagangan di setiap daerah serta penyewaan ladang dengan sistem kerja sama. Melihat kemajuan pada bangsa Arab pra Islam, maka kata jahilliyah yang sering ditujukan ke bangsa Arab pra Islam, tidak tepat jika dikaitkan dengan kemajuan yang ada pada saat itu. Jahilliyah bangsa Arab pra Islam lebih tepat jika ditujukan pada aspek keagamaan dan hukum yang berlaku pada saat itu.
Menggantungkan segala kehidupannya pada berhala, masyarakat Arab telah menyelewengkan ajaran tauhid yang mereka telah terima dari nenek moyang mereka, yakni agama nabi Ibrahim.  Penganiayaan dan penindasan terhadap kaum yang lemah, seperti budak, menjadi hal yang pantas di pandangan masyarakat Arab pra Islam.
Kedatangan Islam dalam kehidupan dan peradaban bangsa Arab, sebagai penyempurnaan, perbaikan, dan pembaharuan. Penyempurnaan bagi ajaran atau agama sebelumnya, perbaikan terhadap pemahaman, pemikiran, tindakan yang melenceng dari norma baik, pembaharuan hukum, ajaran dan sosial yang lebih bersifat universal, untuk seluruh manusia di muka bumi, tidak hanya untuk bangsa Arab saja. Jazirah arab hanya sebagai tempat dimana agama Islam diturunkan, kebudayaan Arab pun sudah ada jauh sebelum Islam datang, sehingga Islam bukanlah agama yang lahir dari budaya Arab atau budaya Arab itu bukanlah budaya Islam.
Agama Islam dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia, disebabkan beberapa faktor, diantaranya juga berkaitan dengan kepribadian orang Arab yang lebih fanatik terhadap kesukuan nya, dan ajarannya. Ketika orang Arab telah menyatakan keislamannya, maka dengan sendirinya mereka menjaga penuh keutuhan Islam, walau harus melalui perang. Faktor yang lainnya adalah Islam toleran terhadap budaya di daerah yang berbeda dengan daerah dimana Islam lahir. Kebudayaan dijadikan sebagai salah satu metode dalam penetapan hukum dalam Islam, karena kebudayaan membentuk sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu, Islam adalah agama yang murni dari Allah, yang seluruh ajarannya berdasarkan al-Qur’an dan Sunah (Hadits) Rasulullah, bersifat universal untuk seluruh manusia dan tempat, selama tidak menyimpang dari aspek tauhid dan dasar syar’i maka Islam dapat menerima perubahan baik dari segi hukum maupun praktik ibadahnya.

DAFTAR PUSTAKA
al-Mubarakfuri, Syafiyurrahman, Shirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,       2000,
Amin, Ma’rufin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta:         Elsas.
Armstrong, Karen, Sejarah Muhammad, Magelang: Pustaka        Horizon
Gusmian, Islah, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami? Yogyakarta: Pustaka             Marwa
Hasan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota        kembang, 1989
Hitti, Philip K., History of the Arabs, Jakarta : Serambi Ilmu,
Karim, M. Abdul,  Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka          Book Publisher, 2007
Mufrodi, Ali,  Islam dikawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: logos
Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta :   Gramedia, 2004
Mulyana, Deddy, Komunikasi Lintas Budaya, Bandung: PT. Remaja        Rosdakarya
Nadvi, Sayyid uzaffaruddin, Sejarah Geografi Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,           1997.
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan kebudayaan Islam, Jil II, Pusataka Al-Husna,          Jakarta, 1993.





[1]  Philip K. Hitti, History of the Arabs, di terjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dari judul History of the Arabs ; from the earliest times to the present, Jakarta : Serambi Ilmu, hal. 16
[2] Philip K. Hitti, Ibid, hal .20
[3] M. Abdul Karim, Op.Cit. hal. 51
[4] Sayyid uzaffaruddin Nadvi, Sejarah Geografi Qur’an, terj. Jum’an Basalim, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal. 58-59.
[5]  Hassan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djahdan Human dari judul tarikhul islam as Siyasi wad dini was saqafi wal ijtima’I, Kota kembang: Yogyakarta, 1989, hal. 15.
[6] Karen Armstrong, Sejarah Muhammad, penj. Ahmad Asnawi, dari judul Muhammad, a Biography of the Prophet, Magelang: Pustaka Horizon. Hal. 76
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, hal.17.
[8] Dr. Ali Mufrodi, Islam dikawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: logos, hal. 6-8. Lihat juga Ahmad Syalabi, Sejarah dan kebudayaan Islam, Jil II, Pusataka Al-Husna, Jakarta, 1993. Hal 26-35
[9] Philip K. Hitti, History of the Arabs,Op.Cit.  hal. 29
[10] Philip K. Hitti, History of the Arabs. Op.Cit.  hal. 31
[11] Dr. Ali Mufrodi, Op.Cit. hal.  8
[12] Philip K. Hitti. History of arab, Op.Cit.  hal. 113
[13]  Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta : Gramedia, 2004, hal. 10
[14]  Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami? Yogyakarta: Pustaka Marwa. Hal. 65 - 76
[15] Philip K. Hitti, History of the Arabs, Op.Cit,  hal.123.
[16]  Seperti Waraqah ibn Naufal, Usman ibn Huwairis.
[17]  Agama Yahudi dipeluk oleh penduduk Yahudi imigran yang tinggal di Yaman dan Yastrib (Madinah) yang besar jumlahnya
[18]  Agama majusi (Mazdaisme) di peluk oleh orang-orang Persia.
[19]  Syafiyurrahman al-Mubarakfuri, Shirah Nabawiyah, penj. Khatur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, hal. 46.
[20]  Hal ini diterangkan di dalam al-Qur’an Q.S. az-Zumar ayat 3, Kami tidak menyembah kepada mereka, tetapi hanya agar mereka mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya.
[21] Ahmad Syalabi, Sejarah dan kebudayaan Islam, Jil II, Pusataka Al-Husna, Jakarta, 1993. Hal 26-35

[22]  Shafiyurrahman, Shirah Nabawiyah, hal. 64
[23]  Deddy Mulyana, Komunikasi Lintas Budaya, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 99-103.
[24]  Ma’rufin Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, hal. 3.
                  [25]  Ma’rufin Amin, Ibid . hal.5        
[26]  Ma’rufin Amin, Ibid . hal.7          
[27] Karen Armstrong, Op.Cit. hal. 105


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini