Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Sejarah Peradaban Islam pada Masa Abbasiyah

MAKALAH
SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA ABBASIYAH
A.       Sejarah berdirinya Dinasti Abbadiyah
Nama Dinasti Abbasiyah diambilkan dari nama seorang dari paman Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Ummayah atas kekhalifahan Islam, sebab jika dilihat dari nasab maka orang Abbasiyah lebih dekat dengan Nabi yaitu cabang keturunan Bani Hasyim.[1]
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni yang pertama dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat yang jauh-jauh, dan dalam kesempetan menunaikan haji di Makkah. Yang kedua ialah menggabungkan para pengikut Abu Muslim al-Khurasani dengan pengikut Abbasiyah, dan kekuatan itu berdiri di atas nama Abbasiyah, yang sudah menggunakan kekuatan bersenjata untuk melawan kekuatan Umaiyah.[2]
Imam Ibrahim, pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan itu diketahui oleh khalifah Umaiyah terakhir, Marwan ibn Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan Umaiyah dan dipenjarakan di Harran sebelum dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya, Abu al-Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu ketika ia akan terbunuh, dan memerintahkannya untuk pindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah. Segeralah Abu al-Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah diiringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain, seperti Abu Ja’far, Isa ibn Musa dan Abdullah ibn Ali.[3]
Pada tahun 750 M Dalam peperangan di Dzab II, gerakan Abbasiyah mencapai hasil, dengan mengalahkan Marwan II yang melarikan diri ke mesir. Pada tahun itu juga di masjid Kuffah (Irak) Abu al-Abbas al-Saffah[4] mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Pada Januari 750 M/132 H, Marwan II dibunuh oleh pasukan Abbasiyah, maka mulai saat itulah secara de facto berdiri Dinasti Abbasiyah. Sebelum Saffah wafat (754 M), ia mengangkat saudaranya Abu Ja’far dengan gelaar al-Mansur sebagai penggantinya.[5]
Para khalifah Bani Abbasiyah sebanyak 37 orang, sebagaimana tercantum dibawah ini[6]:
1)       Abu Abbas as-Saffah
2)       Abu ja’far al-Mansur
3)       Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi
4)       Abu Muhammad Musa al-Hadi
5)       Abu Ja’far Harun ar-Rasyid
6)       Abu Musa Muhammad al-Amin
7)       Abu ja’far Abdullah al-Makmun
8)       Abu Ishaq Muhamad al-Mu’tasim
9)       Abu Ja’far Harun al-Wasiq
10)   Abul Fadhl Ja’far al-Mutawakkil
11)   Abu Ja’far Muhamad al-Muntasir
12)   Abul Abbas Ahmad al-Musta’in
13)   Abu Abdullah Muhamad al-Mu’tazz
14)   Abu Ishaq Muhamad al-Muhtadi
15)   Abul Abbas Ahmad al-Mu’tamid
16)   Abul Abbas Ahmad al-Mu’tadid
17)   Abu Muhammad Ali al-Muktafi
18)   Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir
19)   Abu Mansur Muhammad al-Qahir
20)   Abul Abbas Ahmad ar-Radi
21)   Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi
22)   Abul Qasim Abdullah al-Mustaqfi
23)   Abul Qasim al-fadl al-Muti’
24)   Abul Fadl Abdul Karim at-Ta’i’
25)   Abul Abbas Ahmad al-Qadir
26)   Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im
27)   Abul Qasim Abdullah al-Muqtadi
28)   Abul Abbas Ahmad al-Mustazhir
29)   Abu Mansur al-Fadl al-Mustarsyid
30)   Abu Ja’far al-Mansur ar-Rasyid
31)   Abu Abdullah Muhammad al-Muqtafi
32)   Abul Muzaffar al-Mustanjid
33)   Abu Muhammad al-Hasan al-Mustadi’
34)   Abu al-Abbas Ahmad an-Nasir
35)   Abu Nasr Muhammad az-Zahir
36)   Abu Ja’far al-Mansur al-Mustansir
37)   Abu Ahmad Abdullah al-Musta’sim
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur, maka, puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833- 842 M), al-Wasiq (842-847 M), al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa khalifah Abu Ja’far al-Mansur dalam bidang politik, Negara cukup stabil dan maju setelah ia memadamkan api pemberontakan. Setelah memperkokoh posisi sendiri dan kedaulatan Abbasiyah yang cukup kuat, Mansur mulai melakukan ekspansi ke luar. Salah satunya disebabkan pemimpin suku Turan di pegunungan Tabaristan dan Ispahan sering mengganggu wilayah-wilayah muslim dan menyiksa penduduk disana. Oleh karena itu pangeran Mahdi memberi pelajaran dengan menaklukan daerah itu termasuk Tabaristan dan Gilan menjadi dalam genggaman Mahdi. Walaupun Mansur memperkokoh dan menaklukan Asia-Afrika, namun Oman, Sind, dan sebagian dari khurasan tidak sepenuhnya mengakui khalifah baru ini. Sebagian besar Afrika Utara terutama wilayah Eropa Barat Daya –Andalusia-- lepas dari kedaulatannya setelah ad-Dakhil dapat membunuh panglima dan Gubernur Jendral al-Maghrib di Qayrawan yang dikalahkan dan kepalanya dikirim ke Baghdad.[7]
Setelah Mansur wafat pada 775 M, Mahdi menjadi khalifah (775-785), yang populer bersikap sangat lunak terhadap rival politiknya,lebih dermawan, dan lebih berperan dalam pembelaan Islam. Periodenya identik dengan Negara yang aman dan kekayaan negeri bertamambah. Sebelum wafat Mahdi mengangkat dua orang putera mahkota: Hadi dan Harun, supaya kekuasaan Abbasiyah tetap di tangan keturunan dari al-Abbas. Namun hal ini menjadi sumber kericuan, kekacauan, dan persaingan berebut kekuasaan. Setelah Mahdi wafat, penggantinya, Hadi mengendalikan kerajaan dengan keras. Ia tidak menghargai mawalli yang menjadi tulang punggung saat revolusi dan berdirinya Abbasiyah. Hadi melanggar keputusan ayahnya yang mengangkat saudaranya, Harun sebagai penggantinya, justru mengangkat anaknya sendiri, Ja’far. Tiba-tiba Hadi wafat 786 M maka saudaranya, Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dibaiat oleh pendukungnya menjadi khalifah. Setelah kuat posisinya, Harun memaksa Ja’far untuk meninggalkan kekuasaannya. Periodenya identik dengan Islam memasuki The Golden Age of Islam.[8]
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid dan puteranya Al-Ma’mun. kekayaan banyak dimanfaatkan Harun Ar-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusartraan berada pada zaman keemasannya.[9]
Al-Ma’mun pengganti Ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu, pada masa pemerintahannya penerjemahan-penerjemahan buku digalakkan. Al-Mu’tashim khalifah berikutnya memberi peluang besar kepada orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Pilihan khalifah Al-Mu’tashim terhadap unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antar golongan Arab dan Persia pada masa Al-Ma’mun dan sebelumnya. Bahkan, perebutan perebutan kekuasaan antara Al-amin dan Al-Ma’mun dilatarbelakangi dan diperhebat oleh persaingan antara golongan Arab yang mendukung Al-Amin dan golongan Persia yang mendukung Al-Ma’mun. Al-Mu’tashim dan khalifah sesudahnya, Al-Watsiq, mampu mengendalikan mereka. Namun khalifah Al-Mutawakkil, yang merupakan awal kemunduran politik Bani Abbas, adalah khalifah yang lemah.[10]  
B.       Sistem Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Pemerintahan kekhalifahan Bani Abbas bertumpu pada sistem yang pernah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa sebelumnya, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakan oleh Khalifah kedua, Abu Ja’far al-Mansur yang dikenal sebagai pembangun khalifah tersebut. Sedangkan sebagai pendiri Abbasiyah ialah Abul Abbas as-Saffah. Dukungan dan sumbangan bangsa Persia kentara sekali ketika Abbasiyah berdiri dengan munculnya Abu Muslim al-Khurrasani, dan memang wilayah operasional wangsa ini berada dibekas reruntuhan kerajaan Persia. Kebangkitan orang-orang Persia itu antara lain juga karena sudah bosannya mereka terhadap kebijaksanaan pemerintahan Umaiyah yang diskriminatif terhadap bangsa non-Arab yang menjadikan mereka warga kelas dua yang disebut kaum mawalli. Maka, tidak mengherankan bila kekhalifahan Abbasiyah mengambil nilai-nilai Persia dalam sistem pemerintahannya.[11]
Bangsa Persia mempercayai adanya hak agung raja-raja yang didapat dari Tuhan, oleh karena itu para Khalifah Abbasiyah memperoleh kekuasaan untuk mengatur Negara langsung dari Allah, bukan dari rakyat, yang berbeda dari sistem kekhalifahan yang diterapkan oleh Khulafaurrasyidin yang dipilih oelh rakyat. Kekuasaan mereka yang tertinggi diletakan pada ulama, sehingga pemerintahannya merupakan sistem teokrasi. Khalifah bukan saja berkuasa di bidang pemerintaha duniawi tetapi mereka juga berhak memimpin agama yang mendasarkan pemerintahannya pada agama. Abbasiyah memprotes Umaiyah yang mementingkan kemegahan duniawi. Diansti baru tersebut juga ingin mempertahankan bidang keagamaan, dan menggunakan simbol-simbol yang dianggap suci bagi mereka dengan meneyertakan mantel dan tongkat Nabi ketika dilaksanakan pelantikan khalifah dan upacara-upacara keagamaan. Khalifah Abbasiyah juga memakai gelar Imam untuk menunjukan aspek keagamaannya. Gelar itu telah lama dipaki oleh kelompok Syi’ah.
Namun, dalam hal pengangkatan putra mahkota, Abbasiyah meniru sistem yang dilaksanakan oleh Umaiyah, yakni menetapkan dua orang putra mahkota sebagai pengganti pendahulunya yang berakibat fatal karena dapat menimbulkan pertikaian anatara putra mahkota. Isa ibn Musa umpamanya menjadi korban kebijakan itu dengan tidak pernah menjabat khalifah walau telah ditetapkan oleh Khalifah terdahulu. Demikian pula yang terjadi pada diri al-Amin dan al-Makmun, kedua saudara itu saling membunuh. Harun ar-Rasyid nyaris menjadi korban kebijakan kakaknya, al-Hadi. Tetapi tradisi mengangkat dua putra mahkota itu tidak berjalan selama masa Abbasiyah, Harun ar-Rasyid mengangkat tiga anaknya menjadi putra mahkota, al-Makmun mengangkat satu putra mahkota nyang bukan dari putranya, tetapi saudaranya yang lain yang justru tidak ditetapkan sebagai putra mahkota oleh ar-Rasyid. Walau demikian al-Makmun tidak menyalahi wasiat ayahnya karena memang ayahnya memberi kebebasan kepadanya untuk mengangkat atau tidak saudaranya yang telah ditetapkan oleh ayahnya. Sedangkan Khalifah al-Wasik, anak al-Mu’tasim yang juga seorang cucu ar-Rasyid tidak mengangkat seorang pun dari anaknya sebagai calon penggantinya.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode[12]:
a.    Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama
b.    Perode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama
c.     Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih[13] dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. 
d.    Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk[14] dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
e.    Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.
Bani Abbasiyah mencapai  puncak keemasan hanya pada periode pertama. Pada periode periode sesudahnya pemerintahan ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya.
Khalifah Al Mu’tashim memilih unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan arab dan Persia pada masa Al Ma’mun dan sebelumnya.[15] Masuknya unsur turki dalam pemerintahan Abbasiyah  semakin menambah persaingan antar bangsa, al Mu’tashim dan khalifah sesudahnya al Watsiq mampu mengendalikan mereka. Namun khalifah al Mutawakil adalah khalifah yang lemah sehingga ini merupakan awal kemunduran politik Bani Abbas. Pada masa kekuasaanya orang-orang dengan mudahnya merebut kekuasaan dari tanganya. Setelah al Mutawakil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada ditangan Bani Abbas , meskipun mereka masih memegang jabatan Khalifah. Dari duabelas khalifah dalam periode kedua ini hanya empat orang yang mati dengan wajar, selebihnya kalau tidak dibunuh maka diturunkan dari tahta dengan paksa.[16] Setelah tentara turki itu lemah dengan sendirinya, didaerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekaan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan kekuasaan kecil. Inilah permulaan masa disintegrasi dalam sejarah politik islam.[17]
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu dengan pembayaran upeti. Namun pada ahirnya daerah-daerah tersebut akan memerdekaan diri dari pemerintahan pusat Baghdad[18]. Dengan alasan mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, selain itu penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan kepada peradaban kebudayaan dari pada politik dan ekspansi yang mengakibatkan propinsi propinsi pinggiran mulai lepas dari genggaman Bani Abbas. Hal tersebut terjadi karena adanya seseorang pemimpin atau tokoh yang kuat yang bermunculan didaerah tersebut dan hendak memimpin pemberontakan yang kemudian berhasil memedekakan dengan penuh[19]. Seperti Abd al Rahman muda satu-satunya keturunan dianasti Umayyah yang berhasil melarikan diri dari pembantaian massal yang menandai naiknya rezim baru, ia bertempat tinggal didaratan kordova spanyol yang pada saat itu masih menjadi bagian propinsi pinggiran pemerintahan Abbasiyah. Kemudian ia mendirikan sebuah dinasti pada tahun 756, dan dinasti inilah yang mulai menjadi besar dan mengungguli kemajuan imperium Abbasiyah yang masih berkembang, begitu juga propinsi lainya yang segera menyusul untuk memisahkan diri pula.[20] Selain itu adapula seorang Gubernur yang ditunjuk oleh khalifah, kedudukanya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Dengan adanya dinasti kecil yang memishakan diri tersebut, akan mengakibatkan masa pemerintahan bani Abbasiyah mengalami masa kemunduran diakibatkan karena pemisahan dinasti dinasti kecil tersebut.[21]
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, dinataranya adalah[22]:
a.    Yang berbangsa Persia
a)   Thahiriyyah di Khurasan
b)  Shafariyah di Fars
c)   Samaniyah di Transoxania
d)  Sajiyah di Azerbaijan
e)   Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad
b.    Yang berbangsa Turki
a)   Thuluniyah di Mesir
b)  Ikhsidiyah di Turkistan
c)   Ghaznawiyah di Afghanistan
d)  Dinasti Seljuk
c.    Yang berbangsa Kurdi
a)   Al-Barzuqani
b)  Abu Ali
c)   Ayubiyah
d.   Yang berbangsa Arab
a)   Idrisiyah di Maroko
b)  Aghlabiyah di Tunisia
c)   Dulafiyah di Kurdistan
d)  Alawiyah di Tabaristan
e)   Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil
f)    Mazyadiyah di Hillah
g)   Ukailiyyah di Maushil
h)  Mirdasiyah di Aleppo
e.    Yang mengaku dirinya sebagai khalifah
a)   Umawiyyah di spanyol
b)  Fathimiyah di Mesir

C.        Abbasiyah: Dinasti Ilmu Pengetahuan
Dinasti Umayyah adalah dinasti yang melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam. Pada masa inilah Islam mulai memperkokoh peradaban, sehingga tradisi menerjemah pun dimulai pada dinasti ini, tepatnya ketika ia dipimpin oleh salah seorang rajanya yang bernama Khalid bin Walid. Diantara sunnah Allah di muka bumi ini adalah bahwa segala sesuatu selalu dimulai dari hal-hal kecil, lalu lambat laun ia menjadi besar. Hal ini pulalah yang dialami oleh umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mencapai kebangkitan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.[23]
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa dinasti Abbasiyah (terutama saat dipimpin oleh para khalifah awal seperti al-Mansur, al-Rasyid, al-Makmun dan beberapa khalifah setelah mereka) adalah merupakan periode kecemerlangan peradaban islam hal ini disebabkan karena mereka sangat sadar akan pentingnya ilmu penegtahuan untuk sebuah peradaban. Mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu yang bermanfaat adalah pilar amal kebaikan serta sumber dari kehidupan bermakna[24]
a.    Perkembangan Ilmu Naqli
Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (al-Qur’an dan Hadis), yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Yaitu[25]:
a)   Ilmu Tafsir
Para shabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka’ab, cara mereka menafsirkan ialah dengan manafsirkan ayat dengan hadis atau atsar atau kejadian yang mereka saksikan ketika ayat turun, sesudah itu para tabi’in yang mengambil dari tafsir dari para sahabat tersebut diatas, tafsir pada masa ini ditambah dengan cerita Israiliyat. Terakhir lahirlah para mufasir dengan cara menyebut satu ayat kemudian menerangkan tafsirnya yang diambil dari sahabat dan tabi’in. Tafsir seperti yang termasyhur di antaranya Tafsir Ibnu Jarir At-Thabary.



b)  Ilmu Hadis
Yang mula-mula menulis hadis dengan menyaring hadis yang shahih adalah Imam al-Bukhary yang hasilnya terkenal dengan kitab al-Jami’ as Shahih, diikuti oleh muridnya yaitu Imam Muslim dengan kitabnya Shahih Muslim. Dengan usaha kedua penyusun ini terbentuklah sumber hadis yang bersih. Sesudah itu tampil beberapa imam menyaring hadis-hadis yang belum di saring oleh kedua imam tadi, Abu Dawud, At Turmudzy, An Nasai, Ibnu Majah, yang masing-masing kitabnya disebut Sunan.
c)   Ilmu Kalam
Lahirnya ilmu Kalam untuk membela Islam dengan bersenjatakan filsafat seperti halnya musuh yang memakai senjata itu. Karena semua masalah termasuk masalah agama telah bergeser dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Diantara pelopor dan ahli ilmu Kalam yang terbesar yaitu Washil bin Atho, Abu Huzail al-Allaf, Abu Hasan al-Asyari, dan Imam Ghazali.
d)  Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman Abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta bersunyi diri beribadah. Bersamaan dengan lahirnya ilmu Tasawuf muncul pula ahli-ahli dan ulama-ulamanya, antara lain:
·      Al-Qusyairy, beliau alim dalam ilmu-ilmu fiqh, hadis, ushul, adab, terutama tasawuf. Kitab beliau yang terkenal mengenai tasawuf adalah al-Risalahul Qusyairiyah
·      Abu Hafas Umar bin Muhamad Syahabuddin, kitab karangannya dalam ilmu tasawuf adalah Awariffu Ma’arif
·      Imam al-Ghazali, dalam fiqh beliau menganut madzhab Syafi’I beliau membawa aliran baru dalam dunia tasawuf dengan kitab Ihya Ulumuddin
e)   Ilmu Bahasa
Dalam masa Abbasiyah, ilmu bahasa tumbuh dan berkembang dengan suburnya karena bahasa Arab yang semakin dewasa dan menjadi bahasa internasional. Ilmu bahasa memerlukan suatu ilmu yang menyeluruh, yang dimaksud dengan ilmu bahasa adalah nahwu, sharaf ma’ani, bayan, bad’I, arudh, qamus, dan insya.
f)    Ilmu Fiqh
Zaman Abbasiyah yang merupakan zaman keemasan tamadun Islam telah melahirkan ahli-ahli hukum (fuqaha) yang tersohor dalam sejarah Islam dengan kitab-kitab fiqhnya yang terkenal sampai sekarang.
Pada masa Abbasiyah  melahirkan ulama fiqh yang kita kenal sekarang imam madzhab:
·      Imam Abu Hanifah, kitab-kitab madzhab Imam Abu Hanifah yaitu: Fiqhul Akbar, Musnad, Washiyyatuhu Li Binihi, Washiyyatuhu Li Ashhabihi.
·      Imam Malik, kitab-kitab madzhab Imam Malik yaitu: Al-Muwatta, Risalah fil Wa’dhi, Kitabul Masail.
·      Imam Syafi’I, kitab-kitab madzhab Imam Syafi’I yaitu: Kitabul Um, As-Sunnah al-Ma’tsur, Ushul Fiqh, Musnad asy-Syafi’i.
·      Imam Ahmad, kitab-kitab madzhab Imam Ahmad yaitu: al-Musnad fil Hadis, Kitab as-Sunnah, Kitab Zuhud.
b.    Perkembangan Ilmu Aqli
Ilmu aqli adalah ilmu yang didasarkan kepada pemikiran (rasio). Ilmu aqli kebanyakan dikenal oleh umat Islam berasal dari terjemahan asing: yaitu Yunani, Persia, atau India.
a)   Abad Penerjemahan
Usaha penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Arab sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Umawiyah, tetapi usaha besar-besaran dimulai sejak khalifah al-Mansur dari Abbasiyah. Pada zaman al-Ma’mun kemauan usaha penerjemahan mencapai puncaknya dengan didirikannya “Sekolah Tinggi Terjemah” di Baghdad, dilengkapi dengan lembaga ilmu yang disebut Bait al-Hikmah, suatu lembaga yang dilengkapi dengan observatorium, perpustakaan, dan badan penerjemah. Pada tahun 856 M khalifah al-Mutawakkil mendirikan Sekolah Tinggi Terjemah di Baghdad yang dilengkapi dengan museum buku-buku.[26]
b)  Abad pembentukan Ilmu aqli
Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu para ahli dikalangan kaum muslimin mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua ilmudan pemikiran filsafat yang pernah berkembang masa itu serta melakukan penelitian secara empiris dengan mengadakan eksperimen dan pengamatan serta mengembangkan pemikiran spekulatif dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak itu mulailah masa pembentukan ilmu-ilmu Islam dalam bidang aqli yang sering dinamakan abad keemasan yang berlangsung antara 900-1100 M.[27]
Ilmu-ilmu aqli tersebut adalah:
·      Ilmu Kedokteran, orang yang kemudian terkenal sebagai dokter Islam antara lain, Al-Razi dan Ibnu Sina
·      Ilmu Filsafat, tokoh-tokoh yang muncul pada masa itu adalah, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd
·      Ilmu Optik, dalam ilmu ini yang terkenal namanya adalah Abu Ali al-Hasan bin al-Haytam
·      Ilmu Astronomi, tokoh-tokoh yang muncul dalam ilmu ini adalah, Al-Fazari, Al-Farghani, Al-Battani, dan Al-Biruni
·      Ilmu Hitung, tokoh-tokoh yang muncul dalam ilmu ini adalah, Al-Khawarizmi dan Umar Al-Khayyam.
·      Ilmu Kimia, tokoh-tokoh yang muncul dalam ilmu ini adalah,Jabir bin Hayyan dan Al-Razi.
·      Ilmu Tarikh dan Geografi (Ilmu Bumi), tokoh yang terkenal dalam bidang ini adalah Al-Idrisy.

D.       Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
a.       Faktor Internal
a)   Persaingan antar bangsa
b)  Kemrosotan ekonomi
c)   Konflik keagamaan
d)  Perebutan kekuasaan anatara putra mahkota
b.      Faktor Eksternal
Disamping faktor-faktor internal tersebut, ada juga faktor eksternal yang membawa nasib dinasti ini terjun kejurang kehancuran total. Yaitu, serangan bangsa Mongol. Latar belakang penghancuran dan penghapusan pusat Islam Baghdad, salah satu faktor utama adalah gangguan kelompok Assasin yang didirikan oleh Hasan ibn Sabbah di pegunungan Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi’ah Isma’iliyah ini sangat mengganggu di wilayah Persia dan sekitarnya. Baik di wilayah Islam maupun wilayah mongol tersebut.[28]
Setelah beberapa kali penyerangan terhadap Asasin akhirnya Hulagu, cucu Chenggis Khan, dapat berhasil melumpuhkan pusat kekuasaan mereka di Alamut. Kemudian menuju ke Baghdad. Sebelumnya khalifah al-Mu’tashim dikirimi surat oleh Hulaghu agar kahalifah bekerja sama untuk membasmi Assasin. Surat itu jatuh ke tangan Wazir al-Qemi, beraliran Syi’ah, yang tidak ingin kerja sama dengan Hulaghu untuk membasmi sekte Assasin, maka wazir surat atas nama khalifah dengan bahasa yang kurang baik/kasar yang oleh Hulaghu merasa dihina dan tidak diterimanya, maka dengan tentara yang banyak Hulaghu menyerang Baghdad. Hal ini menjadi sebab kekalahan Islam di tangan Mongol-Ilkhan. Setelah membasmi mereka di Alamut tentara Mongol mengepung kota Baghdadselama dua bulan, setelah perundingan damai gagal, akhirnya khalifah menyerah, namun tetap dibunuh oleh Hulaghu.[29]




[1] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, cet I, hal 143
[2] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, cet I, hal 88
[3] Ibid
[4] Selanjutnya disebut Saffah, Abu al-Abbas bergelar al-Saffah yang artinya penumpah darah/peminum darah karena merupakan khalifah yang dikenal sebagai pembunuh missal, yaitu dengan menyingkirkan rival politiknya.
[5] M. Abdul karim, Op, Cit, hal 144
[6] Ali Mufrodi, Op, Cit, hal 98-99
[7] M Abdul Karim, Op, Cit, hal 146-148
[8] Ibid, hal 148-149
[9] Badri Yatim, Op, Cit, hal 52-53
[10] Ibid, hal 62
[11] Ali Mufrodi, Op, Cit, hal 100-101
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, cet 23, hal 49-50
[13] Pendiri Dinasti Buwaih adalah Buwaihiya dengan mengambil gelar Mu’iz al-Daulah dari khalifah Mustakfi Billah, ia memerintah sebagai wazir utama (amir al-umara) dan mengambil segala kekuasaan atas orang sunni. Lihat M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, cet I, hal 156-157
[14] Bangsa Turki Seljuk merupakan kelompok bangsa Turki yang berasal dari suku Ghuzz. Dinasti Turki Seljuk dinisbatkan kepada nenek moyangnya yang bernama Saljuq ibn Dukak (Tukak). Ia adalah salah seorang anggota suku Ghuzz yang berada di Kinik, dan akhirnya menjadi kepala suku Ghuzz yang dihormati dan dipatuhi perintahnya. Lihat Syafiq A. Mugni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, cet I, hal 13
[15] Badri Yatim, Op,Cit, hal 61- 62
[16] Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh Al Dawlah Al Islamiyah, Beirut: al Maktab Al Tijari, tanpa tahun,  hal. 362
[17] Badri Yatim,Op. Cit, hal 63
[18] Ali Mufrodi, Op, Cit,hal . 109
[19] Badri Yatim, Op. Cit, hal. 64
[20] Philip K. kithi, History of the Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2005. Hlm 570
[21] Keren Amstrong, Islam: A Short Story, Sepintas Sejarah Islam. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002. Hlm.72
[22] Badri Yatim, Op, Cit, hal 65-66
[23] Yusuf al-Qardhawi (ed.), Meluruskan Sejarah Islam, diterjemahkan oleh Cecep Taufiqurrahman, dari “ Tarikhuna al-Muftara ‘Alaih” ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) cet I, hal 122-123.
[24] ibid
[25] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet I, hal 56-57

[26] Ibid, hal 78-80
[27] Ibid, hal 81-82
[28] M Abdul Karim, Op, Cit, hal 166
[29] ibid



Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini