Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Tekstualitas dan Kontekstualitas dalam Hadits

MAKALAH
TEKSTUALITAS DAN KONTEKSTUALITAS DALAM HADIS
Mengawali pembahasan, perlu diketahui bagaimana definisi tekstual dan kontekstual. Pertama, tekstual, berasal dari kata teks yang bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran. (Tim Penyusun KBBI, 1989: 576). Dengan demikian, tekstual berarti ide, pelajaran, atau pemahaman yang didasarkan kepada sumber tertulis. Menurut Suryadi, tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa. Dampaknya, pemikiran-pemikiran ulama ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis(Suryadi, 2001:141)
Kedua, kontekstual, berasal dari kata konteks yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; dan situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.( Tim Penyusun KBBI: 1989: 458). Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadis.
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditemukan pemahaman bahwa memahami hadis Nabi secara tekstual berarti mengambil pelajaran atau pemahaman berdasarkan apa adanya teks hadis. Sedangkan memahami hadis secara kontekstual berarti memaknai hadis Nabi sesuai dengan petunjuk teks dengan mempertimbangkan situasi saat teks hadis muncul sehingga dilahirkan kejelasan pemahaman terhadap hadis.
Cara Memahami Hadis Nabi secara Tekstual dan Kontekstual
v Cara Memahami Hadis secara Tekstual
Pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan apabila hadis yang bersangkutan, setelah dihubung-hubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. (M. Syuhudi Ismail, 1994: 6).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi yang memiliki asbab wurud menuntut didahulukannya metode kontektual dari pada tekstual. Hal ini, menurut penulis tidak lain untuk mengembangkan pemahaman hadis Nabi agar ajaran islam tidak stagnan, dan tercipta ajaran yang dinamis.
Di samping ketentuan di atas, hadis-hadis yang harus dipahami secara tekstual adalah (M. Syuhudi Ismail, 1994):
a.      Hadis Nabi yang berbentuk jawami’ al kalim yaitu hadis yang memiliki redaksi padat makna, yang tidak dapat digantikan dengan redaksi lain yang muradif. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu, yang dapat dipahami secara kontekstual.
b.      Hadis Nabi yang memiliki makna ajaran islam yang universal, tanpa ada batasan waktu, dan tempat.
c.      Hadis nabi yang menggunakan redaksi analogi.
d.      Hadis Nabi yang menerangkan tentang informasi langit semisal tentang keutamaan nabi Muhammad, hari akhir, siksa kubur, dan sebagainya.
e.      Hadis yang menerangkan informasi ibadah dan kewajiban semisal shalat, doa, dzikir, dan sebagainya.
v Cara Memahami Hadis secara Kontekstual
Munculnya pemahaman kontekstual, disinyalir telah muncul pada masa Rasulullah, saat para sahabat berbeda pendapat dalam menanggapi perkataan Nabi “Jangan shalat hingga sampai Bani Quraidhah”. Sahabat yang memahami secara kontekstual melaksanakan shalat di dalam perjalanan, sebelum sampai di Bani Quraidhah.
Jauh sebelum munculnya kata pemahaman kontekstual, Imam Qarafi telah membagi atau memilah-milah hadis Nabi dihubungkan dengan posisi Nabi; pertama, Hadis yang muncul kaitannya Nabi sebagai utusan Allah. Kedua, hadis Nabi yang muncul kaitannya Nabi sebagai pribadi (manusia biasa). Ketiga, hadis nabi yang muncul kaitannya Nabi sebagai Mufti. Keempat, Hadis nabi yang muncul kaitannya Nabi sebagai Qadhi. Kelima, hadis nabi yang muncul kaitannya dengan Nabi sebagai kepala Negara. Pendapat tersebut, menurut penulis menjadi landasan dirumuskannya konsep-konsep pemahaman kontekstual terhadap hadis nabi.
Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan jika “dibalik” teks suatu hadis, terdapat petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual) (M. Syuhudi Ismail, 1994: 6).
Di antara hadis yang dapat dimaknai secara kontekstual adalah sebagai berikut:
a.      Hadis yang memiliki sebab khusus namun memiliki makna yang universal.
b.      Hadis yang sulit dipahami secara tekstual, dan jika dipaksakan tekstualisasi maka terjadi ketimpangan makna (simbolik).
c.      Hadis nabi yang memiliki makna yang bersifat temporal dan atau kondisional
d.      Hadis nabi yang menerangkan tentang fisik dan kebiasaan yang sifatnya manusiawi.
Dasar Pemahaman terhadap Hadis secara Tektual dan Kontekstual
Salah satu ciri ajaran agama islam adalah menampilkan sisi metafisik yang tidak dapat dijangkau oleh indera, logika, dan kemampuan manusia. Hal-hal metafisik tersebut antara lain berupa fenomena ruh, hari kiamat, adanya kebangkitan manusia setelah wafat, surga, dan neraka.
Ciri lain ajaran islam adalah adanya ketentuan yang tidak dapat ditawar lagi dalam keadaan ikhtiar dan darurat karena ia sebagai pokok agama. Misal dari ajaran tersebut adalah ibadah shalat.
Dengan demikian, ajaran-ajaran islam yang berkaitan dengan pokok agama, yang bersifat tauqifi bukanlah lahan untuk melakukan kontekstualisasi. Bahaya yang timbul jika mengkontekstualisasikan ajaran tersebut adalah rusaknya dasar-dasar agama. Misalnya, atas nama kontekstual, seseorang melaksanakan shalat dengan bahasa yang berbeda sesuai dengan tempat ia hidup.
Adapun dasar yang digunakan oleh ulama atau pemikir muslim yang berusaha memahami hadis nabi secara kontektual, berpijak pada hal-hal berikut ( M. Sa’ad Ibrahim, 2004:168-169):
1.      Masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad S.A.W,bukan sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabakan sebagainya bersifat tipikal. Misalnya pranata dzihar "انت علي كظهر أمي" (bagiku engkau bak punggung ibuku). yang ungkapan tersebut hanya berlaku bagi konteks budaya Arab, jika ditransfer dalam budaya keindonesiaan maka jelas maknanya beda.
2.      Dalam keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”.Misalnya tentang ziarah kubur,yang semula dilarang karena kehawatiran terjebak kepada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti akhirnya diperbolehkan.
3.      Peran sahabat sebagai pewaris Nabi yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati hadis Nabi dengan risalah yang diembannya telah mencontohkan kontekstualisasi Nash (teks).Misalnya Umar bin Khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.
4.      Implementasi pemahaman terhadap Nash (teks)secara tekstual sering kali tidak sejalan dengan kemashlahatan yang justru menjadi alasan kehadiran islam itu sendiri.
5.      Pemahaman tekstual secara membabibuta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru diintroduksi oleh nash itu sendiri.
6.      Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan denagn kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spessifik yang baru.
7.      Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks islam secara kontekstual. Sebagai trademark islam-al islamu din al- aqli wa al-fikru(islam itu agama rasional dan intelektual).
8.      Kontekstualisasi pemahaman teks-teks islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana dan kapan saja selalu dipandang positif optimis oleh islam yang di buktikan dengan sikap khasnya yang akomodatif terhadap pranata sosial yang ada(mashlahat),yang terumks-tekuskan dalam kaidah “al ‘aadatu Muhkamatun.(tradisi itu dipandang legal).
9.      Keyakinan bahwa teks-teks islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa,mengandung makna bahwa didalam teks yang terbatas tesebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya,yang harus terus menerus dilakukaneksternalisasi melalui interprestasi yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Khozin Afandi,  Hermeneutika, Alfha: Surabaya, 2007
Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin as Suyuthi, al Luma’ fi Asbab Wurud al Hadis, Dar al Fikr: Beirut, 1996
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari, al Jami’ al Musnad as Shahih al Mukhtashar min Umur Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, Dar Thauq an Najah: t.tp, 1422.
Afifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Renaisan, Jakarta, 2005
Asjmuni Abdurrahman, Memahami Makna Tekstual, Kontekstual, dan Liberal ; Koreksi Pemahaman atas Loncatan Pemikiran, cet. ke-2, Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, 2008
Badri Khaeruman, Otentitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadits Kontemporer, Cet. 1, PT Remaja Rosda Karya: Bandung, 2004
Debdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1998
Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadits Nabi di Era Teknologi Informasi, Cet. II, Rasail: Semarang, 2010
Hamim Ilyas, “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama,” dalam  Fazlur Rahman, dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer, Tiara Wacana : Yogyakarta, 2002.
Hasbi As Siddiqi,  Problematika Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam, Bulan Bintang; Jakarta, 1964
M. Hasbi as Shiddiqie, Sejarah Ilmu Hadits. Bulan Bintang: Jakarta, 1993.
Muhammad Abu Syuhbah, al Wasith fi ‘Ulum wa Mushthalah al Hadis, Dar al Fikr: Beirut, t.t
Muhyar Fanani. Ilmu ushul Fiqih Di Mata Filsafat Ilmu. Wali Songo Press: Semarang, 2009
Mushadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Aneka Ilmu: Semarang, 2000
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi Metode dan Pendekatan, EESAD; Yogyakarta, 2001
Richard E. Palmer, ‘Hermeneutics’ dikutip dalam Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, (Yayasan Paramadina, Jakarta: 1996)
Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritik Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2001
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadits Nabi saw. Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Cet. III, Mizan: Bandung, 1993
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, PT. Bulan Bintang; Jakarata,1994
Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, LPPI UMY: Yogyakarta, 1996
Yusuf Al-Qardhawi, Memahami Hadis Nabi SAW, Kharisma; Bandung, 1993
Zuhad, Metode Pemahaman Hadis Mukhtalif dan Asbab al Wurud, Rasail: Semarang, 2011




Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini