Pokok
Pikiran Keadilan Ibnu Taimiyyah dalam Konsep Politik Kenegaraan
1. Hubungan Negara
dan Agama
Al-Qur’an tidak memuat secara eksplisit perintah
untuk mendirikan sebuah negara.Di dalam al-Qur’an hanyalah konsep-konsep ad hoc
yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat seperti
musyawarah dan konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, menegakan keadilan, persamaan,
tolong-menolong dan kebebasan/toleransi beragama. Karena itulah, dapat
dimaklumi jika sebagian pemikir muslim dalam karangn politiknya mengembangkan
teori kemunculan negara tidak selalu berpijak pada ayat-ayat al-Qur’an.
Melainkan banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.Tidak terkecuali juga Ibnu Taimiyyah,
menurut Rosebthal Ibnu Taimiyyah juga dipengaruhi oleh filasafat Yunani.[1]
Namun berbeda dengan pemikir islam lainnya sperti Ibnu Abi Rabi’, al Farabi, al
Mawardi, al Ghazali dan Ibnu Khaldun yang menguraikan secara sosiologis tentang
asal mula timbulnya negara. Ibnu Taimiyyah kurang tertarik dengan persoalan
asal usul negara dan lebih memfokuskan kepada suatu permasalahan mengapa sebuah
pemerintahan harus berdiri.[2]
Konsep Ibnu Taimiyyah mengenai kebutuhan akan
negara didasarkan pada akal dan hadis. Argument rasionalnya adalah terletak
pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung, bekerjasama dan
menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut
suatu agama atau tidak. Argumen rasional tersebut juga diperkuat dengan
landasan dari sunnah. Ia mengajukan sejumlah sunnah atau hadis nabi yang menekankan
perlunya kepemimpinan dan pemerintahan. Ibnu Taimiyyah mengutip sabda nabi,”Apabila ada tiga orang melakukan perjalanan,
maka angkatlah salah satu dari mereka sebagai pemimpin”.[3]
Beliau juga mengatakan bahwa tujuh puluh tahu di bawah kepemimpinan yang zalaim
lebih maslahat daripada semalam tanpa ada pemimpin.[4]
Menurut Ibnu Taimiyyah, seorang pemimpin
mempunyai status ganda, sebagai duta Tuhan yang bertanggungjawab kepada yang
mengutusnya dan sebagai wakil hamba yang bertanggungjawab pula dalam mengemban
amanah orang-orang yang telah menunjuknya. Dalam kedudukannya sebagi duta ia
tidak boleh menyimpang dari ketetapan yang telah digariskan oleh yang
mengangkatnya. Begitu pula, dalam kedudukannya sebagai wakil, ia pun tidak
boleh mengkhianati amanah orang-orang yang diwakilinya.[5]
Dalam kaitannya hubungan antara agama dan negara,
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa kekuasan dan pemerintahan dibutuhkan untuk
mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian
penegakan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekedar
instrumen untuk melaksanakan ajaran-ajaran islam.Beliau juga mengatakan
seandainya kekayaan dan kekuasaan dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri
kepada Allah, sudah barang tentu antara kehidupan agama dan duniawi akan
tercipta keserasian.[6]
2. Hakikat Negara
Ibnu Taimiyyah agaknya memilki pandangan yang
berbeda tentang konsep ketatanegaraan. Beliau tidak mempersoalkan bentuk sebuah
negara. Tapi yang terpenting dan fokus bagi beliau adalah pelaksanaan syariah
dalam suatu negara. Hal ini menandakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam
mengatasi segala wewenang yang lain dalam negara adalah syari’ah.[7]
Sikap Ibnu Taimiyyah ini menggiring kita untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa
konsep kedaulatan yang dipakai oleh Ibnu Taimiyyah adalah konsep kedaulatan hukum.
Ada beberapa alasan yang menguatkan bahwa konsep kenegaraan yang dibangun oleh
Ibnu Taimiyyah adalah kedaulatan hukum antara lain :[8]
a. Syar’iah
merupakan sumber hukum yang tertinggi dan berada di atas segalanya. Segala
bentuk tindakan dan perbuatan manusia harus memilki landasan, atau paling tidak
dijiwai oleh kesesuaian dengan Syari’ah. Maka, apabila timbul konflik ataupun
perbedaan pendapat, penyelesaiannya haruslah merujuk pada ketentuan Syari’ah.
Lebih dari itu, ketaatan kepada sebuah pemerintahan hanya dapat diberikan
sepanjang pemerintahan itu konsisten dan tunduk pada Syari’ah yang telah
digariskan oleh Allah dan Rosul-Nya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
b. Penerapan hukum
dilakukan tanpa pandang bulu, baik terhadap orang yang terhormat, orang yang
hina, maupun orang yang lemah. maka, jika suatu tindak kriminal telah terbukti,
tak ada seorangpun atau apapun yang dapat membatalkan hukuman atas pelanggaran
itu.
c. Untuk menindak
pihak yang diduga melakukan pelanggaran, dibutuhkan suatu pembuktian yang
memadai. Jadi penerapan sanksi tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang,
sekalipun oleh penguasa sendiri. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah mengutip sebuah
hadis bahwa pada zaman nabi saw ada seorang wanita yang secara sembrono menuduh
orang melakukan perbutan mesum. Atas hal itu nabi berkata,”Jika sekiranya saya boleh menjatuhkan hukuman rajam pada diri seseorang
tanpa pembuktian, sungguh saya akan merajam perempuan ini.’ Jelaslah
syari’ah menganut asa praduga tak bersalah.
d. Menetapkan hukum
qishas dan hudud dalam rangka memelihara manusia dari ancaman jiwa dan fisik,
dari penganiayaan salah satu anggota tubuhnya, dari penghinaan terhadap
kehormataan pribadnya dan dari tuduhan fitnah atas dirinya.
3. Tujuan dan Fungsi
Tujuan Negara
Dari pembahasan sebelumya kita mengetahui
negara bagi Ibnu Taimiyyah tak lebih sebagai sarana bukan sebagai tujuan.Negera
diselenggarakan agar tujuan syari’ah dapat terwujud. Jadi dalam hal ini,
mempersoalkan tujuan negara sesungguhnya secara tak langsung mempertanyakan apa
yang menjadi tujuan dari syari’at itu sendiri.
Adapun fungsi negara menurut Ibnu Taimiyyah
berdasarkan dua kitab politik karangannya, al-Siyasah dan al-Hisbah, sedikitnya
bisa disimpulkan fungsi suatu negara dalam ranka mencapai tujuan negara yaitu:[9]
a. Pelaksanaan
dasar-dasar agama islam
b. Penegakan
hokum/keadilan dan perlindungan hak
c. Pemeliharaan
ketertiban dan keseimbangan ekonomi
d. Penyediaan
insfrastruktur sosial
e. Pembelaan
keamanan Negara
4. Sumber Penerimaan
Negara
Harta
negara yang tercantum dalam al-qur’an dan as-Sunah terbagi mejadi tiga jenis
yaitu ghanimah, sedekah dan fai[10]
a. Ghanimah
Sektor penerimaan in berupa harta begerak yang
diperoleh dari hasil peperangan melawan musuh (kafir). Allah telah menyebutkan
hal tersebut dalam surat al-Anfal yang diturunkan ketika perang badar. Surat
ini dinamakan al-Anfal (Pemberian) karena ghanimah dapat memberikan tambahan
bagi kaum muslimin. Allah swt berfirman:
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ} [الأنفال: 1]
“Mereka
menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah:
"Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu
bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang
beriman."
Di masa awal islam, harta tak bergerak (tanah)
juga digolongkan sebagai ghanimah dan dibagikan kepada mereka yang turut serta
dalam peperangan. Sedangkan pada zaman khalifah Umar bin Khattab, harta tak
bergerak itu tidak dipertimbangkan lagi sebagai ghanimah, sehingga tetap
merupakan kepunyaan pemlik yang mengelolanya. Hanya saja, pemilik itu
diwajibkan membayar pajak kepada Negara.[11]
b. Sedekah (zakat)
Yang dimaksud sedekah disini adalah zakat.[12]
Zakat merupakan salah satu kewajiban orang islam yang memilki arta berlebih.
Oleh karenanya, zakat merupakan sumber yang terpenting dalam penerimaan negara.
Zakat bukanlah semata-mata diperuntukan utuk memenuhi keperluan Negara semata,
namun lebih sebagai aset Negara dalam melaksanakan kegiatan pembangunan,
khususnya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi diantara warga Negara sehingga
dapat berperan sebagai dasar tejadinya kesetiakawan social. Adapaun orang-orang
yang berhak menerima zakat adalah mereka yang telah disebutkan oleh Allah swt
dalam al-Qur’anul karim.
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَرْضَ فِي الصَّدَقَةِ بِحُكْمِ نَبِيٍّ وَلَا غَيْرِهِ، حَتَّى كَانَ هُوَ الَّذِي جَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَجْزَاءٍ، فَإِنْ كُنْتَ مِنَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ
Artinya: Sesungguhnya
Allah tidak ridho apabila zakat itu dibagikan berdasarkan kehendak Nabi atau selainnya,
akan tetapi zakat itu diperuntukkan bagi 8 golongan, jika engkau termasuk salah
satu golongan tersebut, engkau akan aku beri.
c. Fa’i
Pada mulanya fa’i diartikan sebagai harta
benda yang diperoleh darimusuh tanpa peperangan. Tapi bagi Ibnu Taimiyyah,
semua jenis harta diluar ghanimah dan sedekah digologkan sebagai fa’i.
jenis-jeis fa’i itu adalah:[13]
a. Jizyah (pajak
atas orang-orang Yahudi dan Nasrani)
b. Upeti tahunan
dari musuh yang ditakluka
c. Hadiah-hadiah yang
diperuntukan kepada kepala negara
d. Bea cukai atau
pajak perdagangan lintas negara
e. Hukuman-hukuman
denda
f.
Harta-harta yang tak bertuan
g. Harta peninggalan
yang tak mempunyai ahli waris
h. Harta sitaan,
piutang, ataupun harta titipan yang tidak diketahui pemiliknya
5. Alokasi Pembelanjaan
Negara
Bagi Ibnu Taimiyyah, kas negara merupakan
amanah yang berada di tangan penguasa yang harus dikelola dengan baik
berdasarkan syari’at untuk kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain,
penguasa tak lebih sebagai pegawas dan pengemban amanah, dan bukan seperti
halnya seorang raja yang dapat membagi-bagikan harta tersebut sekehendak
hatinya.
Sehubungan denga hal itu, Ibnu Taimiyyah menyitir
sabda nabi Muhammad saw,”Demi Allah,
sesungguhnya aku tak akan memberikan sesuatu kepada seseorang dan tidak pula
akan menghalangi seseorang dari haknya, melainkan aku ini hanyalah pelaksana
yang berbuat sebagaimana yang diperintahkan kepadaku”[14]
Dalam mengalokasikan anggaran anggaran belanja
itu, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa pembelanjaan wajib dilakukan berdasarkan
skala prioritas, dimulai dari sektor yang paling primer hingga sekunder, dan
menjangkau kepentingan umum umat seluas-luasnya. Adapun target-target alokasi
pembelanjaan itu adalah sebagai berikut:[15]
a. Biaya pertahanan
dan keamanan
b. Gaji pembesar,
pegawai negara, dan pelaksana tugas yudisial dan keagamaan
c. Pembangunan
sarana dan fasilitasumum, seperti benteng, jalan, jembatan dan pelabuhan
d. Pembangunan
saranan dan fasilitas penujang pendidikan
Walaupun begitu, Ibnu Taimiyyah agaknya tidak
bermaksud bahwa semua sumber penerimaan tidak hanya saja dialokasikan utuk
target-target pembelanjaan di atas. Ghanimah dan sedekah misalnya dialokasikan
sesuai dengan ketentuan yang telah diatur al-Qur’an. Adapaun fa’i memang
disediakan untuk memenuhi semua kebutuhan belanja negara.
Hal yang terpenting perlu dicatat bahwa Ibnu
Taimiyyah tidak mewajibkan semua sumber penerimaan dari pos zakat dibagikan
secara merata kepada delapan golongan mustahik zakat. Menurutnya pembagian
zakat didasarkan pada tingkat kebutuhan dan kepentingan. Jika salah satu golongan
lebih membutuhkan ketimbang golongan yang lain, maka zakat dibagikan lebih
besar kepada golongan mustahik yang membutuhkan itu. Lebih jauh Ibnu Taimiyyah
merumuskan dua criteria pembagian zakat yaitu memenuhi kebutuhan umat islam dan
mendukung perjuangan umat islam. Jadi jika ada calon mustahik yang tidak
memenuhi salah satu criteria itu, ia tidak berhak menerima zakat.
Akan halnya sektor penerimaan negara lainnya,
fa’i haruslah dibayar sekalipun penguasa
tersebut bertindak zalaim. Ibnu Taimiyyah menegaskan pernyataan ini dengan
mengutip sabda nabi,”Berikanlah olehmu
kepada mereka apa yang menjadi haknya,karena Allah swt akan meminta
pertanggungjawaban mereka dari harta yang mereka pergunakan”.[16]
6. Etika politik
dalam berbangsa dan bernegara
a. Amanah
Ibnu Taimiyyah memandang istilah amanah
mencakup dua konsep yaitu kekuasan (politik) dan harta benda (ekonomi).
Berhubung kekeuasan merupakan amanah yang harus ditunaikan, wajarkiranya jika
kita melihat Ibnu Taimiyah menempatkan sifat amanah sebagai slah satu syarat
menjadi seorang pemimpin. Dalam kaitannya dengan kekuasaan politik, amanah
mengandung arti keharusan menunaikan amanat yang menjadi tanggung jawabnya,
baik amanat dari Tuhan ataupun dari sesama manusia
Ibnu Taimiyyah juga menuliskan beberapa kezaliman-kezaliman
yang dilakukan oleh seorang penguasa terhadap rakyatnya dan tindakan
pencegahannya antara lain:[17]
1. Pemerintah hendaknya
menahan diri untuk tidak mengambil atau merampas harta benda rakyat ataupun
harta negara yang bukan menjadi haknya. Jika terdapat harta benda milik rakyat
yang diperoleh secara tidak halal, maka hatus dikembalikan oleh penguasa kepada
pemiliknya
2. Pembesar dan
pejabat dalam melaksakan tugas-tugasnya seyogyanya tidak menerima hadiah dari
siapapun. Sebab hadiah semacam ini akan membawa pengaruh bagi segala pelaksanaan
tugas-tugasnya dan bisa pula berakibat timbulnya perbuatan kolusi dan korupsi.
3. Apabila terdapat
harta benda yag terlanjur disita oleh negara secara ilegal dan harta benda
itupun sudah tidak diketahui lagi siapa pemiliknya untuk dikembalikan, maka
harta semacam itu seyogyanya dipergunakan untuk kepentingan umum saja seperti
sektor pertahanan kemanan dan pembayaran gajai para tentara
4. Yang
direalisasikan dalam pembanguan adalah kemaslahatan secara sempurna dan menekan
seminimal mungkin timbulnya kerusakan. Dalam mempertimbangkan manfaat dan
kerusakan yang mungkin muncul sebagai konsekuensi pembangunan, kiranya harus
dilihat mana dianatara keduanya yang lebih dominan. Jika ternyata aspek manfaat
lebih dominan, maka pembangunan dapat diteruskan. Sebalikya jika aspek
kerusakan yang lebih domain, maka pembangunan sebaiknya segera dihentikan.
b. Keadilan
Bagi Ibnu Taimiyyah, keadilan merupakan pilar
fundamental bagi sebuah pemerintahan. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai Ibnu
Taimiyyah berpendapat bahwa pemerintahan yang adil walaupun dipimpin oleh orang
kafir adalah lebih baik daripada sebuah pemerintahan yang muslim tapi berlaku
zalaim. Denga kata-katanya Ibnu
Taimiyyah mengungkapkan,”Sesugguhnya
Tuhan menolong pemerintahan yang zalim walaupun muslim. Keadilan walaupun
dengan kekafiran memungkinkan kehidupan dunia yang terus berkesinambungan,
tetapi kezaliman sungguhpun dengan keislaman tak akan mampu melestarika
kehidupan dunia” dengan mengungkapkan hal itu, Ibnu Taimiyyah sesungguhnya
hendak mengajukan bahwa esensi lebih penting daripada bentuk dan nilai lebih
berharga daripada simbol.[18]
Bagi Ibnu Taimiyyah, negara tak lain adalah
istrumen untuk mewujudkan keadilan sosial. Maka apapun label, simbol dan bentuk
yang dipakai oleh negara dan pemerintaan, sejauh berguna bagi terwujudnya
cita-cita keadilan adalah islami dan wajib untuk didukung. Sebaliknya, suatu
negara pemerintahan dengan label, simbol dan bentuk apapun yang cenderung selalu
melecehkan cita-cita keadilan dan kepentingan rakyat banyak adalah tidak islami
dan tidak perlu ditaati. Bertolak dari itu semua, tidak diragukan lagi bahwa
Ibnu Taimiyyah menghendaki agar pemerintah berlaku adil dalam melaksanakan
tugas-tugasnya.
Selengkapnya Baca Makalah tentang Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi:
[1] M. Arskal Salim
G.P., Etika Intervensi Negara … hal. 47
[2] M. Arskal Salim
G.P., Etika Intervensi Negara…. hal. 48
[3] Ibnu Taimiyyah,
Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj:Muhammad Munawwir Az-Zahdi, Surabaya,
Dunia Ilmu Offset, 1997 hal.158
[10] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,
Politik Islam Ta’liq Siyasah Syar’iyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jakarta,
Griya Ilmu, 2009, hal.88
[11] M. Arskal Salim G.P., Etika Intervensi Negara … hal. 66
[12] Muhammad bin Shalih
alutsaimin, Politik Islam Ta’liq Siyasah Syar’iyyah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, Jakarta, Griya Ilmu, 2009, hal.96
[13] M. Arshal hal. 68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar