- Alasan Talak
dalam Fiqih dan UU
Dalam hukum islam
mensyariatkan putusnya perkawinan memalui talak, tapi bukan berarti agama islam
menyukai terjadinya talak dari sebuah pernikahan. Dan talak ini pun tidak boleh
dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Sehingga hanya dalam keadaan tertentulah talak
ini dizinkan oleh syara’.
أبغض الØلال إلى الله تعالى الطلاق. (رواه ابو دود)
Sesuatu hal yang
halal yang paling dibenci Allah adalah talak.
Bagi orang-orang
yang menjatuhkan talak tanpa ada alasan, dianggap telah mempermainkan hukum
Allah.[1]
Sehingga Rasulullah bersabda:
“Apakah yang
menyebabkan salah seorang kamu mempermainkan hukum Allah, ia mengatakan: aku
sesungguhnya telah mentalak (isteriku) dan sungguh aku telah merujuk (nya)”, (HR. An-Nasa’i
dan Ibnu Hubban)
Sehingga talak
diperbolehkan harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan yang
terakhir yang ditempuh oleh suami isteri, setelah cara-cara lain yang telah
diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah
tangga suami isteri tersebut. Sehingga dapat dipahami, bahwa talak merupakan
jalan terakhir. Adapun alasan-alasan talak menurut fiqih secara mendetail akan
dicantumkan di dalam pembahasan hukum talak.
Sedangkan dalam
Undang-Undang Perkawinan (UUP) tidak mengenal istilah talak, tapi perceraian.
Adapun alasan-alasan perceraian ditentukan dalam pasal 39 ayat 2 UUP juncto
pasal 19 huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975[2]
yang berbunyi:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.
Salah satu
pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu
pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.
Salah satu
pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d.
Salah satu
pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang
lain;
e.
Salah satu
pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.
Antara suami
dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.[3]
Berbeda dengan
UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjelaskan tentang talak, sebagaimana
dalam pasal 117 yang berbunyi: “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131”.
Adapun
alasan-alasan perceraian yang dijelaskan dalam KHI sama dengan yang dijelaskan
dalam PP tentang Perkawinan, tapi ada penambahan 2 poin. Ini bisa dilihat di
KHI pasal 116 yang berbunyi:
Perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.
Salah satu
pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu
pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.
Salah satu
pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d.
Salah satu
pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang
lain;
e.
Salah satu
pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.
Antara suami
dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga;
g.
Suami menlanggar taklik talak;
h.
Peralihan agama tau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[4]
Selengkapnya Baca:
[1] Titik Triwulan Tutik, Hukum
Perdata dalam Sitem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana. 2008), hlm. 131.
[2] Dalam
Undang-Undang Perkawinan hanya dijelaskan dalam pasal 39 ayat 2 yang berbunyi:
“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Adapun alasan-alasan perceraian
tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawainan tersebut. Untuk kelancaran UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksaan UU no. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
[3] Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, file berbentuk PDF yang didownload dari www.hukumonline.com pada tanggal 5 April
2012.
[4] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi
Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), (Bandung: CV.
Nuansa Aulia. 2009), cet. ke-2, hlm. 36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar