A. Pendahuluan
Dalam ilmu astronomi,
bahasa universal adalah cahaya atau lebih umumnya gelombang elektromagnetik
(EM), termasuk sinar-X, sinar ultra violet, sinar infra merah, dan gelombang
radio. Semua benda langit bercerita tentang dirinya dengan pancaran gelombang
EM. Ilmu pengetahuan dalam bidang Fisika dan matematika menjadi juru bahasanya
untuk mengurai secara mendetail etntang hal tersebut.
Sebagai contoh
mengidentifikasi objek yang sangat panas, seperti pada peristiwa tumbukan
materi yang sangat kuat akibat tarikan Lubang Hitam (Black Hole),
bercerita tentang dirinya dengan pancaran sinar-X. Dengan fisika dapat ditafsirkan
bahwa objek itu sangat panas dan apa yang mungkin menyebabkannya. Objek-objek
yang sangat dingin, seperti “embrio” bintang (protostar), bercerita banyak kepada
astronom dengan pancaran sinar infra merah dan gelombang radio. Galaksi-galaksi
yang sedang berlari menjauh memberikan pesan lewat spektrum cahayanya yang
bergeser ke arah merah (red shift).
Maka untuk dapat
mendengarkan dan memahami cerita alam semesta yang “sayup-sayup” itu digunakan
teleskop. Teleskop berfungsi untuk menangkap isyarat-isyarat yang sangat redup.
Agar cerita itu dapat difahami makna fisisnya, teleskop itu perlu dilengkapi
detektor yang berfungsi merekam informasi dari objek alam semesta itu. Wujudnya
bisa berupa skema pengamatan visual, foto, isyarat elektronik, atau data digital
yang bisa diolah komputer.
Dalam proses
pengolahan data tersebut diperlukan alat yang dapat membantu untuk mendapatkan
data yang dibutuhkan yaitu sebauh alat detektor. Sehingga detektor di sini
merupakan salah satu komponen teleskop yang sangat penting yang ada di dalamnya.
Dari sekian banyak macam-macam detektor yang ada, dalam teleskop menggunakan
detektor cahaya, karena obyek yang ditangkap oleh detektor ini adalah sebuah
fenomena alam yang keberadaannya sangat jauh. Dengan bantuan teleskop yang dilengkap detektor yang dapat
menangkap gelombang elektromagnetik, maka hal itu dapat teramati dalam sebuah komputer.
B. Detektor
Teleskop Optik
Teleskop atau
teropong adalah perangkat yang berfungsi mengumpulkan sebanyak mungkin
gelombang elektromagnetik dari objek yang sangat jauh. Secara umum kita kenal
ada dua jenis teleskop: optik dan radio. Teleskop optik merupakan susunan
cermin dan/atau lensa untuk memfokuskan cahaya. Semakin besar diameternya,
semakin banyak cahaya yang mampu dikumpulkan sehingga makin mampu mendeteksi
objek-objek langit yang sangat redup. Teleskop radio merupakan antena parabola
yang menangkap gelombang radio yang dipancarkan objek-objek langit. Semakin
besar ukurannya, semakin tinggi resolusinya hingga mampu mendeteksi detil objek-objek
dingin di alam semesta.
Alam semesta
ini sangat gelap. Semakin jauh menembus kedalaman langit, semakin redup
objeknya. Oleh karenanya teleskop saja belum memadai untuk mendeteksi
objek-objek redup itu. Perlu detektor yang mampu memperkuat citra dan mampu
meningkatkan kontras antara objek dan langit di sekitarnya. Kombinasi antara
teleskop dan detektornya menentukan keandalan perangkat kerja astronom dalam
mengurai kegelapan alam semesta.
Saat ini
astronom berusaha mendapatkan perangkat kerja dengan teleskop yang sekecil
mungkin agar praktis pengoperasiannya, namun mampu mendeteksi detil objek yang
diteliti. Ini menuntut peningkatan kualitas detektor dan metode pengolahan
citranya.
Astronom
sebagai pengguna teknologi memanfaatkan teknologi untuk mengenali langit lebih
dalam. Misalkan, sebuah teleskop kecil berkemampuan penguatan 40.000 kali (bila
benar ada), itu akan meningkatkan ambang batas magnitudo sebesar 11,5, yang
berarti meningkatkan ambang batas mata manusia dari 6,5 magnitudo menjadi 18 magnitudo
(ukuran kecerlangan relatif dalam astronomi, makin besar harganya berarti makin
redup objek yang diamati). Ini akan sangat menarik minat astronom untuk
melakukan pengamatan objek langit redup, termasuk sky deep survey (mendeteksi objek-objek langit sampai
yang sangat redup).
Pembahasan
detektor tidak lepas dengan istilah radiasi. Radiasi merupakan suatu cara perambatan energi dari sumber
energi ke lingkungannya tanpa membutuhkan medium atau bahan penghantar
tertentu. Radiasi nuklir memiliki dua sifat yang khas :
v tidak dapat dirasakan secara langsung dan
v dapat menembus berbagai jenis bahan.
Oleh karena itu untuk menentukan ada atau tidak adanya
radiasi nuklir diperlukan suatu alat, yaitu pengukur radiasi, yang digunakan
utuk mengukur kuantitas, energi, atau dosis radiasi.
Panca indera manusia secara langsung tidak dapat digunakan untuk menangkap
atau melihat ada tidaknya zarah radiasi nuklir, karena manusia memang tidak
mempunyai sensor biologis untuk zarah radiasi nuklir. Walaupun demikian, dengan
bantuan peralatan instrumentasi nuklir maka manusia dapat mendeteksi dan
mengukur radiasi nuklir. Jadi manusia sepenuhnya tergantung pada peralatan instrumentasi nuklir untuk mengetahui dan memanfaatkan zarah radiasi nuklir tersebut.
Detektor merupakan suatu bahan yang peka terhadap radiasi, yang bila
dikenai radiasi akan menghasilkan tanggapan mengikuti mekanisme yang telah
dibahas sebelumnya. Perlu diperhatikan bahwa suatu bahan yang sensitif terhadap
suatu jenis radiasi belum tentu sensitif terhadap jenis radiasi yang lain.
Sebagai contoh, detektor radiasi gamma belum tentu dapat mendeteksi radiasi
neutron.
Mata adalah
detektor alamiah yang sampai kini pun tetap digunakan dalam pengamatan
astronomi. Hasil pengamatannya bisa juga mempunyai nilai tinggi dalam
penelitian astronomi. Untuk mendapatkan data yang bisa diperbandingkan secara
internasional, hasil pengamatan mata yang bisa berbeda-beda tergantung
kemampuan teleskop dan kepekaan mata pengamat, ada faktor koreksi berdasarkan
suatu acuan yang disepakati. Selain data numerik jumlah objek yang diteliti,
pengamatan dengan mata menghasilkan sketsa.
Sebagaimana
dalam sketsa di atas bahwa dalam mata terdapat sebuah detektor cahaya yaitu
retina. Dimana retina ini menubah bayangan cahaya menjadi impuls listrik saraf yang dikirim ke otak. Penyerapan
suatu foton cahaya oleh sebuah fotoreseptor menimbulkan suatu reaksi fotokimia
di fotoreseptor yang melalui suatu cara akan memicu timbulnya sinyal listrik ke
otak, yang disebut suatu potensial aksi. Foton harus di atas energy minimum
untuk dapat menimbulkan reaksi.
Sejak
ditemukannya perangkat fotografi, hampir semua teleskop dilengkapi dengan
kamera fotografi. Dengan menggantikan lensa okuler (untuk pengamatan dengan
mata) dengan kamera fotografi, teleskop bisa digunakan untuk memotret
objek-objek langit bila teleskop dilengkapi dengan penyambung yang cocok untuk
pemasangan kamera tersebut. Beragam objek dapat direkam untuk analisis fisis
atau struktur (seperti dalam pengamatan awan antarbintang) atau sekedar mengumpulkan
bukti pengamatan (seperti pengamatan hilal, bulan sabit pertama).
Dalam
pemakaiannya untuk mendeteksi objek redup kamera fotografi perlu waktu
pencahayaan (exposure
time) yang lama. Ini dimaksudkan agar semakin banyak foton cahaya
yang terkumpul pada plat atau film fotografi. Namun, ada efek kejenuhan pada
batas tertentu sehingga semakin lama pencahayaanya kontras pada citra objek
terang makin hilang. Walaupun demikian, karena kemampuannya merekam objek
langit dengan medan luas menyebabkan detektor fotografi dipertahankan dalam
pengamatan astronomi. Teknik hipersensitisasi dikembangkan agar mampu
mendeteksi objek yang lebih redup. Teknik pemotretan dengan panduan komputer
juga digunakan untuk menghasilkan citra medan langit yang lebih luas dalam satu
plat potret.
Penemuan
teknologi yang memanfaatkan efek fotolistrik (efek pelepasan elektron bila
terkena foton cahaya) dimanfaatkan astronom untuk mendapatkan detektor
elektronik yang mampu menguatkan isyarat cahaya dari objek redup. Detektor
pengganda cahaya (photomultiplier)
sudah lama digunakan untuk mendeteksi objek-objek sangat redup, terutama untuk
pengukuran fotometri (kuat cahaya) bintang. Detektor penguat citra elektronik (electronic
image intensifier) yang bisa dipantau pada layar TV juga digunakan
astronom, terutama untuk pemandu teleskop dalam pemotretan objek redup secara
otomatik. Rendahnya akurasi detektor penguat citra dalam pengukuran kecerlangan
objek menyebabkan detektor ini tidak banyak digunakan dalam analisis fisis
citra objek langit.
C. Karakteristik
Detektor Teleskop Optik
Adapun yang
digunakan adalah detektor cahaya dimana alat ini adalah sebuah alat yang
menerima cahaya kemudian merubah variasi-variasi daya optik menjadi variasi
arus listrik. Atau dengan kata lain, alat yang digunakan untuk mengubah besaran
cahaya menjadi besaran listrik. Dimana prinsip kerja alat ini adalah mengubah
energi dari foton menjadi elektron. Sebagimana gambar di bawah ini:
Dari berbagai
macam photodetektor yang berbasis semikonduktor, maka yang paling baik digunakan
pada optik adalah photodiode. Photodiode digunakan karena karakteristiknya
yaitu ukurannya kecil, sensitifitasnya tinggi dan kecepatan respon terhadap
waktu yang tinggi.
Untuk
mendapatkan hasil yang lebih optimal penggunaan photodiode sebagai transducer,
secara khusus untuk aplikasi sistem komunikasi optik, maka detektor cahaya
harus memiliki fitur-fitur sebagai berikut ini:
1. Peranti
detektor cahaya harus sangat sensitif. Arus listrik yang dihasilkan harus
sebesar mungkin dalam merespon daya optik masuk. Karena detektor cahaya ini
selektif terhadap panjang gelombang (respon terbatasi oleh rentang panjang
gelombang), maka sensitifitas ini harus bernilai besar pada daerha panjang
gelombang operasi.
2. Waktu
respon terhadap sinyal optik masukan harus cepat. Detektor harus mampu
menghasilkan arus listrik meski pulsa optik masukan berlangsung dalam waktu
yang cepat. Hal ini akan memungkin untuk menerima data dengan laju bit tinggi.
3. Untuk
sistem penerimaan data analog, detektor cahaya harus memiliki hubungan masukan-keluaran
yang linier. Hal ini diperlukan untuk menghindari distorsi sinyal keluaran.
4. Derau
dalam (internal noise) yang dibangkitkan oleh peranti harus sekecil
mungkin agar peranti dapat mendetektsi sinyal optik masukan sekecil mungkin.
5. Selain
dipertimbangkan juga karakteristik penting lainnya, misalnya keandalan,
stabilitas, kekebalan terhadap pengaruh alam.
Adapun ukuran
gelombang elektronomagnetik, sebagaimana dalam gmabr berikut ini:
D. Pemasangan
CCD Pada Teleskop
Perkembangan
teknologi semikonduktor melahirkan detektor astronomi yang kini dianggap yang
paling membantu astronom dalam mengurai kegelapan alam semesta. Detektor itu
adalah CCD, Charge-Coupled Device. Dengan kemera CCD astronom dapat mendeteksi
objek sangat redup dengan ukuran teleskop yang lebih kecil. Kelebihan utama
kamera CCD adalah kemampuannya merekam setiap foton (partikel cahaya) yang
mengenainya dengan rentang panjang gelombang mulai dari sinar-X, sinar-UV,
cahaya tampak, sampai sinar inframerah. Artinya, dengan CCD akan dapat diamati
objek-objek yang sangat jauh, yang sangat redup, yang sangat panas, atau yang
sangat dingin. Lagi pula dengan kamera CCD astronom bisa mengolah citranya
secara lebih cepat, akurat, dan dalam format yang beragam dengan bantuan
perangkat lunak komputer.
CCD,
Charge-Coupled Device, bisa diterjemahkan sebagai alat perangkai muatan
listrik. CCD sendiri sebenarnya terdiri dari deretan bahan semikonduktor
berbentuk bujur sangkar sangat kecil yang sangat peka terhadap cahaya yang
biasa disebut sebagai piksel (pixel, picture element, elemen gambar). Karena sangat halusnya
ukuran piksel tersebut, sebuah CCD yang mempunyai ratusan ribu piksel berukuran
hanya sebesar kuku ibu jari tangan dan permukaannya tampak sangat rata.
Cahaya yang
jatuh pada piksel diubah menjadi muatan listrik kemudian dirangkai secara
berurutan dan dialirkan ke perangkat komputer untuk disimpan dan diolah lebih
lanjut. Secara mudahnya CCD dapat dibayangkan seperti susunan genteng di atap
rumah. Bila hujan turun dan jatuh pada genteng rumah (ibarat cahaya jatuh pada
CCD) aliran air hujan (ibarat muatan listrik) pada masing-masing deretan
genteng itu kemudian dialirkan ke talang dan selanjutnya dialirkan melalui pipa
saluran air di bawah.
Berbeda dengan
air hujan yang jatuh di atas genteng itu, muatan listrik pada CCD nantinya bisa
ditentukan asal pikselnya dengan perangkat lunak komputer. Dengan demikian
dapat ditentukan jumlah foton yang jatuh pada masing-masing piksel itu. Maka
bila disusun kembali dilayar komputer dengan menggunakan warna atau derajat
kehitaman berdasarkan jumlah foton yang jatuh pada tiap piksel, gambar objek
yang diamati akan tampak. Kontras citra dapat ditingkatkan dengan menentukan
gradasi warna atau tingkat kehitaman yang lebih tajam. Noktah yang diketahui
bukan berasal dari objek yang diamati (misalnya dari sinar kosmik) dapat
dihilangkan dari gambar sehingga citra yang diperoleh akan lebih bersih.
Banyak
keunggulan CCD dibandingkan detektor astronomi lainnya. Resolusinya sangat
tinggi sehingga bisa mengungkap detil dari objek yang diamati. Efisiensi
kuantumnya juga tinggi yang berarti radiasi apa pun yang jatuh pada CCD akan
terdeteksi. Respon spektrumnya lebar sehingga bisa digunakan untuk pengamatan
sinar-X sampai sinar inframerah, bukan hanya cahaya tampak. Noise-nya rendah sehingga citra objek akan tampak lebih
jelas. Rentang dinamiknya lebar, objek yang terang dan yang redup bisa
sama-sama ditampilkan secara jelas. Ini berbeda dengan fotografi yang terpaksa
harus mengorbankan salah satunya, yang terang atau yang redup. Kemampuan
pengukuran kuat cahaya objek sangat akurat sehingga suatu objek yang dua kali
lebih terang daripada objek alinnya akan secara tepat ditampilkan seperti itu.
Karena
keunggulannya itu, kamera CCD kini luas digunakan dalam pengamatan astronomi.
Pesawat antariksa yang mengamati komet Halley pada pertengahan tahun 1980-an
juga dilengkapi denga kamera CCD. Teleskop Hubble, teleskop yang ditempatkan di
luar angkasa yang saat ini menguak rahasia alam semesta secara lebih detil,
menggunakan kamera CCD sebagai detektor utamanya. Saat ini hampir semua
observatorium sudah memiliki teleskop yang dilengkapi dengan kamera CCD.
Astronom amatir pun kini banyak yang memilikinya.
Dengan
perkembangan teknologi detektor dan kontrol teleskop yang berbasis komputer,
astronom kini cukup duduk di depan komputer di ruang kontrol. Tidak perlu lagi
selalu berada di dekat teleskopnya.
E. Penutup
Demikianlah
pembahasan yang dapat kami sampaikan terntang detektor pada teleskop optik.
Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan bahan pertimbangan untuk kita semua
dalam melangkah ke depan. Dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi
pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dari berbagai segi. Oleh karena
itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk
kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar