- Hukum Talak
dalam Fiqih
Ditilik dari
kemashlahatan atau kemudharatannya, maka hukum talak ada lima:[1]
1.
Wajib
Apabila terjadi
perselisihan antara suami dan isteri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh,
kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya, jika
kedua orang hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka,
maka saat itulah talak menjadi wajib.
2.
Makruh
Talak yang
dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Sebagian ulama ada yang
mengatakan bahwa mengenai talak yang makruh ini ada dua pendapat. Pertama,
bahwa talak tersebut haram dilakukan karena dapat mendatangkan mudharat baginya
juga bagi isterinya. Hal ini berdasarkan sbada Rasulullah
لا ضرر ولا ضرار. (رواه ابن ماجه)
Tidak boleh
memberikan mudharat kedapa orang lain dan tidak boleh membalas kemudharatan
dengan kemudharatan lagi.
Kedua, bahwa talak
tersebut dibolehkan, ini didasarkan pada sabda Rasulullah yang diriwayatkan
dari Abu Dawud: “Sesuatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah
talak”.
3.
Mubah
Mubah yaitu talak
yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak isteri dan
kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan
mereka dari tujuan pernikahan.
4.
Sunnah
Sunah yaitu talak
yang dilakukan pada saat isteri mengabaikan hak-hak Allah yang telah diwajibkan
kepadanya, atau isterinya tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya
(berzina). Dan bisa jadi dalam kondisi seperti itu bersifat wajib. Hal itu
sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits dari Ibnu Abbas, ia bercerita, “ada
seorang laki-laki yang datang kedapa Nabi SAW dan mengatakan: ‘sesungguhnya
isteriku tidak melarang tangan orang yang menyentuhnya’, maka Nabi bersabda,
“ceraikanlah dia”, lalu orang itu berkata, ‘aku takut diriku akan mengikutinya,
kemudian beliau bersabda: “bersenang-senanglah dengannya”, (HR. Abu Dawud dan
Nasa’i).
5.
Mahzhur (terlarang)
Yaitu talak yang
dilakukan ketika isteri sedangkan haid. Para ulama di Mesir telah sepakat untuk
mengharamkannya. Talak ini disebut juga talak bid’ah.
- Orang yang
Berhak Menjatuhkan Talak
Hukum islam
menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang memegang kendali talak,
karena suami dipandang telah mampu memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami
diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah isteri dan anak-anaknya.
Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah isteri selam ia menjalani masa
iddah. Hal-hal tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk tidak menjatuhkan
talak dengan sesuka hati.
Pada umumnya,
suami denga pertimbangan akal dan bakat pembawaannya lebih tabah menghadapi apa
yang kurang menyenangkan ketimbang isteri. Biasanya suami tidak cepat-cepat
menjatuhkan talak karena sesuatu yang menimbulkan amarah emosinya, atau karena
sesuatu keburukan pada diri isteri yang memberatkan tanggung jawab suami. Hal
ini berbeda dengan isteri, biasanya wanita lebih menonjol sikap emosinya,
kurang menonjol sikap rohaninya, cepat marah, kurang tahan menderita, mudah
susah dan gelisah. Dan apabila bercerai bekas isteri tidak menanggung beban
materiil terhadap bekas suaminya, tidak membayar mahar. Sehingga seandainya hak
talak di tangan isteri, maka besar kemungkinan isteri aka lebih mudah
menjatuhkan talak karena sesuatu sebab yang kecil.
Al-Jurjawi mengemukakan
bahwa wanita itu biasanya lebih mudah goncang pendapatnya menghadapi uji coba
dan kesulitan hidup, kurang teguh dalam menghadapi hal-hal yang tidak
disenangi. Biasanya wanita lebih mudah gembira dan mudah menjadi susah.
Menjadikan hak talak di tangan suami lebih melestarikan hidup suami isteri
ketimbang hak talak itu di tangan isteri.
Meskipun
demikian, isteri tidak perlu berkecil hati dan khawatir akan
kesewenang-wenangan suami, karena hukum Islam memberi kesempatan kepada isteri
untuk meminta talak kepada suaminya dengan mengembalikan mahar atau menyerahkan
sejumlah harta tertentu kepada suami sebagai ganti rugi agar suami dapat
memperoleh isteri yang lain, kemudian atas dasar itu suami menjatuhkan talak.
Inilah yang nantinya disebut dengan istilah khulu’.
Juga hukum islam
tidak menutup kemungkinan bagi isteri untuk menyelamatkan diri dari penderitaan
yang menimpa dirinya sehingga menimbulkan madharat baginya bila perkawinan
dilanjutkan, seperti suami menderita penyakit yang wajib dijauhi, suami
berpengarai buruk, atau sebab-sebab yang lain semacam itu. Sehingga isteri
selalu merasa tersiksa hidup bersama suaminya, maka isteri boleh mengajukan
gugatan cerai kepada Pengadilan Agama, kemudian Hakim menceraikan antara
keduanya melalui keputusan pengadilan.[2]
Selengkapnya Baca:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar