Magnitudo atau kadang disebut skala kecerahan, skala magnitudo bermakna
semakin besar angka magnitudo maka kecerahan bintang tersebut akan semakin besar. Semakin kecil
nilai magnitudo maka tingkat energi yang diterima kita di Bumi akan semakin besar.
Sejarah munculnya magnitudo mulai sekitar tahun 150 SM, seorang
astronom Yunani bernama Hipparchus membuat sistem klasifikasi kecerlangan
bintang yang pertama. Saat itu, ia mengelompokkan kecerlangan bintang menjadi
enam kategori dalam bentuk yang kurang lebih seperti ini: paling terang,
terang, tidak begitu terang, tidak begitu redup, redup dan paling redup. Hal
tersebut dilakukannya dengan membuat katalog bintang yang pertama. Sistem
tersebut kemudian berkembang dengan penambahan angka sebagai penentu kecerlangan.
Yang paling terang memiliki nilai 1, berikutnya 2, 3, hingga yang paling redup
bernilai 6. Klasifikasi inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem magnitudo.
Skala dalam sistem magnitudo ini terbalik sejak pertama kali dibuat. Semakin
terang sebuah bintang, magnitudonya semakin kecil. Dan sebaliknya semakin redup
bintang, magnitudonya semakin besar.
Sistem tersebut kemudian semakin berkembang setelah Galileo dengan
teleskopnya menemukan bahwa ternyata terdapat lebih banyak bintang lagi yang
lebih redup daripada yang bermagnitudo 6. Skalanya pun berubah hingga muncul
magnitudo 7, 8 dan seterusnya. Namun penilaian kecerlangan bintang ini belumlah
dilakukan secara kuantitatif. Semuanya hanya berdasarkan penilaian visual
dengan mata telanjang saja.
Pada tahun 1856 berkembanglah perhitungan matematis untuk sistem
magnitudo. Norman Robert Pogson, seorang astronom Inggris, memberikan rumusan berbentuk
logaritmis yang masih digunakan hingga sekarang dengan aturan seperti berikut.
Secara umum, perbedaan sebesar 5 magnitudo menunjukkan perbandingan kecerlangan
sebesar 100 kali. Jadi, bintang dengan magnitudo 1 lebih terang 100 kali
daripada bintang dengan magnitudo 6, dan lebih terang 10000 kali daripada
bintang bermagnitudo 11, begitu seterusnya. sehingga
perbedaan lima magnitudo merupakan faktor yang tepat 100 dalam fluks cahaya.
Jadi rasio fluks cahaya untuk perbedaan satu magnitudo adalah 1001/5 atau 102/5 atau
2,512. Rasio fluks untuk perbedaan 2 magnitudo adalah (102/5)2,
perbedaan 3 magnitudo adalah (102/5)3 dan seterusnya.
Definisi ini sering disebut sebagai skala Pogson. Dengan rumusan
Pogson ini, perhitungan magnitudo bintang pun menjadi lebih teliti dan lebih
dapat dipercaya.
Seiring dengan semakin majunya teknologi teleskop, magnitudo untuk
bintang paling redup yang dapat kita amati semakin besar. Contohnya, Hubble
Space Telescope memiliki kemampuan untuk mengamati objek dengan magnitudo 31.
Tetapi walaupun bukan lagi nilai terbesar, magnitudo 6 tetap menjadi nilai
penting hingga kini karena inilah batas magnitudo bintang yang paling redup
yang dapat diamati dengan mata telanjang. Tentunya dengan syarat langit,
lingkungan, dan mata yang masih bagus.
Sama
seperti perkembangan yang terjadi pada magnitudo besar, magnitudo kecil juga
mengalami ekspansi seiring dengan semakin majunya teknologi detektor. Dalam
kelompok magnitudo 1 kemudian diketahui terdapat beberapa bintang tampak lebih
terang dari yang lainnya sehingga muncullah magnitudo 0. Bahkan magnitudo
negatif juga diperlukan untuk objek langit yang lebih terang lagi. Kini
diketahui bahwa bintang paling terang di langit malam adalah Sirius, dengan
magnitudo -1,47. Magnitudo Venus dapat mencapai -4,89, Bulan purnama -12,92,
dan magnitudo Matahari mencapai -26,74.
Magnitudo yang kita bicarakan di atas disebut juga dengan
magnitudo semu, karena menunjukkan kecerlangan bintang yang dilihat dari Bumi,
tidak peduli seberapa jauh jaraknya. Jadi, sebuah bintang bisa terlihat terang
karena jaraknya dekat atau jaraknya jauh tapi berukuran besar. Sebaliknya,
sebuah bintang bisa terlihat redup karena jaraknya jauh atau jaraknya dekat
tapi berukuran kecil. Sistem ini membuat kecerlangan bintang yang kita lihat
bukan kecerlangan bintang yang sesungguhnya. Untuk mengoreksinya, faktor jarak
itu harus dihilangkan. Maka muncullah sistem magnitudo mutlak.
Magnitudo mutlak adalah magnitudo bintang jika bintang tersebut
berada pada jarak 10 parsek. Nilainya dapat ditentukan apabila magnitudo semu
dan jarak bintang diketahui. Dengan “menempatkan” bintang-bintang pada jarak
yang sama, kita bisa tahu bintang mana yang benar-benar terang. Sebagai
perbandingan, Matahari, yang memiliki magnitudo semu -26,74, hanya memiliki
magnitudo mutlak 4,75. Jauh lebih redup daripada Betelgeuse yang memiliki
magnitudo semu 0,58 tetapi memiliki magnitudo mutlak -6,05 (135.000 kali lebih
terang dari Matahari).
Magnitudo
adalah besaran lain dalam menyatakan fluks pancaran, yang terhubungkan melalui
persamaan,
dimana m adalah
magnitudo semu dan E adalah fluks pancaran.
Skala Magnitudo Tampak
|
|
Magnitudo tampak
|
Benda langit
|
−26.8
|
Matahari
|
−12.6
|
Bulan purnama
|
−4.4
|
Kecerahan
maksimum Venus
|
−2.8
|
Kecerahan
maksimum Mars
|
−1.5
|
Bintang
tercerah: Sirius
|
−0.7
|
Bintang
tercerah kedua: Canopus
|
0
|
Titik nol berdasarkan definisi: Vega
|
+3.0
|
Bintang
teredup yang terlihat di daerah perkotaan
|
+6.0
|
Bintang teredup
yang terlihat dengan mata telanjang
|
+12.6
|
Kuasar tercerah
|
+30
|
Objek
teredup yang dapat diamati oleh Teleskop
Hubble
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar