- Definisi
Talak
Talak berasal
dari kata “إطلاق” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggal”.[1]
Dalam kitab Kifayat al-Akhyar dijelasknan bahwa kata talak adalah lafadz
jahiliah yang setelah islam datang menetapkan lafadz tersebut sebagai kata
untuk melepaskan nikah.[2]
Sedangkan menurut istilah sebagaimana yang didefinisikan Sayyid Sabiq, talak
yaitu:
Melepaskan tali
pernikahan dan mengakhiri hubungan suami isteri
Al-Jaziry mendefinisikan:
Talak adalah
menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan
menggunakan kata-kata tertentu.
Menurut Zakaria
al-Anshari, talak ialah:
Melepaskan tali
akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.
Sedangkan Syaikh Hasan
Ayyub memberikan definisi yang sangat singkat bahwa yang dimaksud dengan talak
adalah pemutusan tali pernikahan.[6]
Dari beberapa
definisi di atas, jadi talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga
setelah hilangnya ikatan perkawinan tersebut isteri tidak lagi halal baginya
dan ini terjadi dalam hal talak ba’in. Sedangkan arti mengurangi pelepasan
ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan
berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga manjadi dua, dari
dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu dalam hal
ini terjadi dalam talak raj’i.
- Rukun dan
Syarat Talak
Rukun talak ialah
unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada pada
kelengkapannya unsur-unsur dimaksud. Rukum talak ada empat[7],
sebagai berikut:
1.
Suami, adalah yang memiliki hak talak
dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya.
Karena hal tu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak
mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Untuk
sahnya talak, suami disyaratkan.
a.
Berakal, sehingga suami yang gila
tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud gila dalam hal ini adalah hilang
akal atau rusak akal karena sakit, termasuk sakit ingatan karena rusak syaraf
otak.
b.
Baligh, dalahm hal ini ulama Hanabilah
mengatakan bahwa talak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu
kurang dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui
akibatnya, talaknya dipandang jatuh.
c.
Atas kemauan sendiri, bukan dipaksa
orang lain.
2.
Isteri, maksudnya suami hanya berhak
menjatuhkan talak terhadap isteri sendiri. Bagi isteri yang dotalak
disyaratkan:
a.
Isteri tersebut masih berada dalam
perlindungan kekuasaan suami.
b.
Kedudukan isteri yang ditalak itu
harus berdasarkan atas akad pernikahan yang sah. Isteri yang menjalin masa
iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum islam masih dipandang berada dalam
kekuasaan suami, ini berbeda dengan talak ba’in.
3.
Sighat talak, ialah kata-kata yang
diucapkan oleh suami terhadap isterinya yang menunjukkan talak, baik sharih (jelas),
maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan, tulisan, isyarat bagi
suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain. Talak tidak dipandang
jatuh jika perbuatan suami terhadap isterinya yang menunjukkan kemarahan,
seperti suami memarahi isteri, memukulnya, mengantarkannya ke rumah orang
tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka
yang demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam
pikiran dan angan-angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak.
Pembicaran suami tentang talak tetapi tidak ditujukkan terhadap isterinya juga
tidak dipandang sebagai talak.
4.
Qashdu (sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang
dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh
karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh
talak.
Selengkapnya Baca:
[1] Abdur Rahman Ghazali, Fiqih
Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008), cet. III, hlm. 191.
[2] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fiqih UU no. 1/1974 samapi KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2006), cet ke-3, hlm. 207. Lihat pula Taqiyuddin, Kifahat al-Akhyar,
juz II, (Bandung: al Ma’arif. t.t), hlm
84.
[3] Sayyid sabid, Fiqh al-Sunnah,
jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), cet. ke-4, hlm. 206.
[4] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab
al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Qism Ahwal al-Syakhshiyyah, juz 4,
(Mesir: Dar al-Irsyad. t.t.), hlm. 249.
[5] Zakaria al-Anshariy, Fath
al-Wahhab, jilid 2, (Singapura: Sulaiman Mar’i. t.t.), hlm. 72.
[6] Syaikh Hasan Ayyub (ed), Fiqih
Keluarga, di terjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar dari “Fiqh al-Usrah
al-Musallamah”, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2006), cet. ke-5, hlm.207.
[7] Abdur Rahman Ghazali, op. cit. hlm.
201-205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar